Menuju konten utama

Usaha Indonesia Lepas dari Predikat Surga Perokok Anak

Perokok anak masih banyak di Indonesia. Kini Indonesia serius ingin meredamnya dengan wacana pelarangan penjualan rokok ketengan.

Usaha Indonesia Lepas dari Predikat Surga Perokok Anak
Pedagang menata rokok di kiosnya, Jakarta, Selasa (14/12/2021). Pemerintah menetapkan, kenaikan tarif rata-rata cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2022 sebesar 12%. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Umur bocah laki-laki itu baru dua tahun pada 2010 lalu namun sudah akrab dengan produk olahan tembakau: rokok. Sebatang, dua batang, tiga batang, hingga akhirnya pada satu hari menghabiskan sampai 40 batang. Orang-orang dekat hanya tertawa melihat “kepiawaian” bocah itu mengisap.

Nama bocah itu Ardi Rizal dan Indonesia adalah negara tempatnya tinggal. Fenomena ini membuat Indonesia dikenal orang sebagai surga rokok dunia. Bukan hanya untuk orang dewasa, tapi juga anak-anak.

Tentu Ardi tidak sendiri. Malah tren perokok anak pada masa itu cenderung naik tinggi. Kementerian Kesehatan (Kemkes) mencatat anak usia 10-14 yang merokok sebanyak 71.126 tahun 1995, lalu meningkat menjadi 426.214 di tahun 2007 atau hingga enam kali lipat dalam waktu 12 tahun. Ketika kasus Ardi ramai diberitakan, diprediksi 19 persen remaja merokok.

Penelitian lain menyatakan hal serupa. Perokok anak dan remaja (11-20) yang awalnya hanya di angka 1,79% bertambah jadi 7,73% di 2014. Secara jumlah, sampai tahun 2012 saja, jumlah perokok anak dan remaja--di bawah 18 tahun--sudah berada di angka 28 juta.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Kemkes menemukan prevalensi perokok anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Riskesdas tahun 2013 mencatat prevalensinya sebesar 7,2%, kemudian di tahun 2016 naik jadi 8,8%, terakhir di 2018 naik sedikit jadi 9,1%.

Di antara sekian banyak sumber dengan hasil serupa, terselip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan sebaliknya: bahwa jumlah perokok anak secara keseluruhan terus menurun. Di tahun 2020, jumlah perokok di bawah usia 18 sebesar 3,81%, kemudian jadi 3,69% di 2021, dan jadi 3,44% di 2022.

Larangan Rokok Ketengan

Video dokumenter berjudul Vagabond Sneak Peek: Sex, Lies, and Cigarettes (2012) merekam remaja SMA berusia 16 tahun sedang asyik mengisap rokok pabrikan Philip Morris International (PMI). Ketika ditanya kenapa memilih merek itu, si remaja enteng menjawab: karena dia adalah koboi. Semua terpingkal, kecuali sang jurnalis Christof Putzel.

Baginya, remaja tersebut--bersama kawan-kawannya--adalah korban iklan rokok (saat itu iklan PMI memang lelaki dengan dandanan seperti koboi).

Sekarang di Indonesia ada sekitar 69,1 juta perokok. Angkanya naik sebanyak 8,8 juta dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2016, Tobacco Control Atlas ASEAN mencatat sebanyak 20 juta orang memulai aktivitas merokok sebelum 10 tahun. Perusahaan rokok tahu persis tentang itu dan karenanya membuat iklan semenarik mungkin.

“Hari ini remaja, di kemudian hari mereka akan jadi calon pelanggan,” ucap peneliti dari Philip Morris, Myron Johnston, tahun 1981 lalu.

Dalam laporan terbaru tahun 2021, Tobacco Control Atlas ASEAN mencatat anak-anak muda, terutama dari negara yang berpenghasilan menengah ke bawah, adalah “potensi besar”. Mereka disebut “perokok pengganti”. Artinya, ya, yang bakal menggantikan orang tua yang mungkin berhenti merokok, atau meninggal akibat mengisap rokok, atau umur tua. “Perokok muda tetap garda terdepan epidemi tembakau,” catat TCA ASEAN.

Tak heran pelbagai cara digunakan untuk bisa merangkul anak muda. Selain lewat iklan, juga dengan rokok berbagai rasa. Kemudian ada juga rokok yang dibuat lebih ekonomis dengan isi 12. Dengan begini, meski harga rokok melonjak, ada pilihan lebih terjangkau.

Satu hal lain yang sebenarnya menguntungkan perusahaan tapi tidak dirancang langsung oleh mereka adalah penjualan rokok batangan, satuan, atau awam mengenalnya dengan ketengan. Siapa pun sudah bisa menikmati rokok dengan modal Rp2 ribu.

Toko ritel mungkin tidak menyediakan, tapi berbagai warung kelontong tak keberatan menjualnya. Toh menjual rokok batangan memang lebih menguntungkan. Harga rokok yang misalnya hanya Rp28.500 untuk isi 16 bisa menjadi Rp32 ribu jika dijual satuan.

Menurut data TCA ASEAN, kemudahan akses ini sukses membuat perokok muda tetap merokok. Mereka mencatat bahwa pada 2019 lalu sebanyak 76,6% anak muda Indonesia mengaku sumber utama rokok dari warung kelontong. Sebanyak 71,3% di antara mereka mengaku membeli rokok secara satuan.

Pemuda Indonesia hanya “kalah” dari Filipina. Di sana 77,1% pemuda mengaku dapat rokok dari warung.

Sebanyak 60,6 persen pemuda Indonesia juga mengaku tidak dilarang membeli rokok dari warung kelontong meski umur mereka masih di bawah 18 atau 21.

Kebiasaan menahun ini mungkin berhenti tahun ini. Pemerintah berencana melarang penjualan rokok batangan pada 2023, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022--ditandatangani pada 23 Desember lalu.

Tentu ada yang setuju, ada pula yang sebaliknya. Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) misalnya, khawatir omzet mereka bisa menurun sampai 30%. Jika ketengandilarang--yang mana pembelinya tak hanya anak-anak--otomatis penjualan rokok akan turun juga.

Wajar penjualan rokok dianggap menjanjikan. Selain menjadi satu di antara dua negara yang belum melarang penjualan kemasan ekonomis, Indonesia juga sangat permisif pada perusahaan rokok. Sebanyak 65,2% iklan rokok di Indonesia dilihat oleh anak muda. Bahkan Myanmar yang ada di peringkat dua persentasenya tak sampai setengah, yaitu 42,3%. Negara lain memang sudah membatasi iklan rokok agar minim atau bahkan tak terlihat oleh anak muda.

Di Indonesia, jumlah orang yang meninggal tahunan akibat rokok diperkirakan mencapai 261.599 orang. Di negara lain, angkanya bahkan tak mencapai 100 ribu.

Meski sudah menggalakkan program Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan ada imbauan untuk tidak menjual rokok ke anak di bawah 18 tahun, masih saja sering ditemui pelanggaran. Hal ini masuk akal karena TCA ASEAN memperkirakan hanya ada 1 pengawas setiap 5 juta perokok di Indonesia.

Singkatnya, pelarangan penjualan rokok ketengan bakal menjadi salah satu solusi, tapi apa yang membuatnya tak akan bernasib sama dengan “dilarang menjual rokok ke anak di bawah 18 tahun”?

Kenaikan Cukai Belum Jadi Solusi

Pelarangan penjualan rokok ketenganagar tak mudah didapat kalangan muda memang sulit. Pengawasan selama ini tidak berhasil terbukti dengan masih banyak warung yang menjualnya kepada anak-anak. Kebijakan menaikkan harga rokok juga tak membuat mereka patah arang.

Infografik Riwayat Cukai Produk Tembakau

Infografik Riwayat Cukai Produk Tembakau. tirto.id/Sabit

Menurut bunga rampai berjudul Menuju Optimalisasi Pengendalian Konsumsi Tembakau di Indonesia (2021) yang ditulis oleh Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Universitas Indonesia, dan Komnas Pengendalian Tembakau, kebijakan untuk meningkatkan tarif cukai per tahun memang upaya baik untuk mengendalikan konsumsi rokok. Namun harga rokok di Indonesia terbilang masih rendah dan karenanya tak menurunkan tingkat prevalensi merokok.

Dalam prevalensi tertentu, angka perokok justru meningkat, termasuk di kalangan remaja. Merujuk kembali dalam laporan TCA ASEAN, perkiraan harga agar perokok muda kapok adalah di angka 5 dolar AS atau sekitar Rp75 ribu per bungkus.

“Selain itu, efektivitas pengendalian konsumsi rokok dari sisi kenaikan harga minimum yang diterapkan pada kebijakan tarif cukai tidak akan optimal apabila penjualan maupun promosi rokok secara batangan masih diperbolehkan,” catat laporan tersebut.

Jika mau kebijakan kenaikan cukai maksimal, CISDI dkk merekomendasikan angka yang tinggi, yaitu minimal 20%.

Kendati kenaikan cukai bisa jadi memicu maraknya peredaran rokok ilegal, CISDI beranggapan jumlahnya tak bakal banyak. Dari 2016 hingga 2020, peredaran rokok ilegal terus menurun kecuali dari tahun 2019-2020. “Tidak terdapat korelasi yang signifikan secara statistik antara kenaikan cukai rokok dengan proporsi peredaran rokok ilegal pada 2016 hingga 2020,” tegas CISDI dkk.

CISDI dkk mengatakan pemerintah harus lebih berani menaikkan cukai hasil tembakau (CHT). Namun, masalahnya, kenaikan harga CHT tidak pernah menjadi keputusan mudah. Selain industri tembakau dan pedagang, banyak perokok juga merasa keberatan karena mereka belum mau atau tidak bisa langsung berhenti. Pilihan lain, mereka berpindah ke rokok elektronik--yang tentu saja juga tidak berdampak baik bagi tubuh.

Baca juga artikel terkait ROKOK atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino