tirto.id - Presiden Joko Widodo berencana mengeluarkan aturan terkait larangan penjualan rokok batangan atau secara ketengan. Hal itu tertuang dalam lampiran Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang ditandatangani pada 23 Desember 2022.
Dalam peraturan itu dijelaskan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Hal itu sesuai amanat Pasal 116 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dalam rancangan tersebut terdapat tujuh poin yang menjadi materi muatan. Salah satunya yaitu pelarangan penjualan rokok batangan dan ketentuan rokok elektronik.
Tidak hanya itu, materi muatan tersebut juga terdapat penambahan luar persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau. Kemudian dalam aturan itu juga dijelaskan terkait pengawasan iklan, promosi, sponsorship, dalam dan luar ruangan serta media teknologi informasi.
Jokowi menjelaskan, alasan pemerintah berencana melarang penjualan rokok batangan bukan tanpa dasar. Kepala negara itu ingin menjaga pola kesehatan masyarakat. Sebab saat ini jumlah prevelensi perokok di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan dari hasil survei Global Adult Tobacco Survey-GATS menunjukan, jumlah perokok aktif pada 2011 sebanyak 60,3 juta orang. Selanjutnya meningkat di 2021 menjadi 69,1 juta perokok.
Selain itu, hasil survei GATS memperlihatkan adanya kenaikan prevalensi perokok elektronik hingga 10 kali lipat, dari 0,3 persen (2011) menjadi 3 persen (2021). Sementara itu, prevalensi perokok pasif juga tercatat naik menjadi 120 juta orang.
Hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa Global Adult Tobacco Survey-GATS dilaksanakan pada 2011 dan diulang pada 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden. Dari hasil survei tersebut, dalam kurun waktu 10 tahun terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa aktif sebanyak 8,8 juta orang.
Lebih mengkhawatirkan lagi jumlah perokok anak ikut meningkat. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada tiga dari empat orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.
Prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya. Pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20 persen, kemudian naik menjadi 8,80 persen di 2016, lalu 9,10 persen di 2018, dan 10,70 persen di 2019. Jika tidak dikendalikan, maka prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16 persen di 2030.
“[Larangan rokok ketengan] itu kan untuk menjaga kesehatan masyarakat kita semuanya," kata Jokowi di Pasar Pujasera, Subang, Jawa Barat beberapa waktu lalu.
Jokowi mengklaim, aksi pelarangan jual rokok sudah mulai dilakukan di negara-negara lain. Pemerintah membolehkan, tetapi tidak untuk rokok batangan. “Di beberapa negara justru sudah dilarang, tidak boleh. Kita kan masih, tapi untuk yang batangan tidak,” kata Jokowi.
Dalam laporan Report Sale of Single Sticks in Africa yang diterbitkan oleh Africa Tobacco Control Alliance, beberapa negara yang telah melarang penjualan rokok batangan itu berada di benua Afrika. Negara itu di antaranya: Burkina Faso, Ghana, Kenya, Niger, Nigeria, Togo, dan Uganda.
Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan, bahwa langkah untuk melarang penjualan rokok batangan ini menjadi salah satu amanat dari UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Oleh karena itu, langkah ini harus dijalankan.
“Merupakan turunan dari undang-undang, sehingga masalahnya sudah menjadi undang-undang, sehingga harus dilaksanakan,” ujarnya dalam keterangan persnya.
Dia menyampaikan, pemberlakuan larangan penjualan rokok batangan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat, baik individu dewasa maupun anak-anak.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, larangan penjualan rokok secara ketengan merupakan salah satu instrumen dari intervensi lainnya sudah ada. Mulai dari pelarangan iklan, sponsor ship dan media luar ruangan terkait rokok dan produk tembakau lainnya.
“Usulan pengaturan tentang rokok elektrik, terkait ukuran kesehatan bergambar dikemasan rokok untuk diperbesar, termasuk juga edukasi terus menerus dilakukan,” kata dia kepada Tirto, Rabu (28/12/2022).
Efektif Kendalikan Konsumsi Rokok?
Tim Peneliti Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Lara Rizka menilai, larangan pembelian rokok secara ketengan itu memang bisa mengurangi tingkat keterjangkauan anak dari rokok. Sebab, selama ini efektivitas dari penerapan cukai rokok yang tujuan utamanya untuk mengurangi keterjangkauan tidak efektif. Karena di Indonesia rokok masih bisa dibeli ketengan.
“Ketika affordability-nya sudah berkurang, nantinya yang akan terdampak adalah kelompok perokok yang daya belinya lebih lemah, salah satunya kelompok anak-anak yang bergantung pada uang jajan," jelasnya kepada Tirto.
Berdasarkan beberapa penelitian, penjualan rokok batangan menambah jumlah anak di bawah umur untuk merokok. Selain itu, penjualan rokok ketengan biasa dilakukan oleh orang yang memiliki keuangan terbatas, seperti anak-anak sekolah, remaja, hingga kelompok masyarakat miskin. Makanya, untuk menekan pecandu rokok di bawah umur larangan itu perlu dikampanyekan.
Walaupun demikian, dia tidak bisa memastikan bahwa kebijakan ini nantinya dapat benar-benar efektif untuk menekan prevelensi rokok terhadap anak atau tidak. Karena kebijakannya sendiri belum berjalan dan hanya sebatas rencana.
“Kalau ditanya seberapa efektif, agak susah jawabnya karena kita belum punya datanya. Hingga saat ini, kita masih bisa berasumsi kalau aturan ini akan jadi komplemen bagi kebijakan cukai tembakau," jelasnya.
Tim Riset Pusat Kajian Jamian Sosial Universitas Indonesia (PJKS-UI), Risky Kusuma Hartono menambahkan, selama ini pengendalian konsumsi rokok seperti Kawasan Tanpa Rokok (KTR), kenaikan cukai rokok, dan evaluasi monitoring kurang efektif untuk menekan jumlah perokok, terutama anak. Sebab di wilayah-wilayah sekolah banyak warung-warung menjual rokok ketengan dan bahkan bisa diutangin.
“Semuanya tidak akan efektif atau kurang efektif kalau rokoknya dijual ketengan. Itu semakin affordability buat anak-anak," ujarnya dihubungi terpisah.
Menurutnya, sudah waktunya kebijakan tersebut diimplementasikan. Karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 salah satu targetnya adalah menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024.
Dalam kurun sepuluh tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, bahkan dapat dikategorikan kondisi darurat perokok anak.
“Jadi 2024 sedikit lagi, maka ini momentum pas untuk rencana pelarangan rokok ketengan itu bisa terwujudkan di 2023," jelas dia.
Data terbaru dilansi dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan jumlah prevalensi perokok pada usia sama atau lebih dari 15 tahun pada 2022 sebesar 28,26 persen. Jumlah ini turun 70 bps dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 28,96 persen.
Sementara prevalensi perokok anak, atau usia sama atau di bawah 18 tahun, sebesar 3,44 persen. Angka ini menurun 25 bps dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 3,69 persen. Angka ini juga memperkuat tren penurunan prevalensi perokok anak yang telah terjadi sejak 2018 yaitu sebesar 9,65 persen, kemudian 2019 sebesar 3,87 persen, dan 2020 sebesar 3,81 persen.
Perlu Ada Pengawasan dan Sanksi
Untuk mendukung rencana pelarangan rokok ketengan, Risky menilai, perlu dibarengi dengan pemberian sanksi. Risky mengatakan, selama ini pemerintah hanya memberikan imbauan saja seperti halnya PP Nomor 102/2012. Dalam belied itu, pemerintah melarang menjual rokok pada anak dan ibu hamil.
“Tapi tidak ada sanksinya, berupa larangan saja. Kalau di luar negeri itu ada sanksinya. Diharapkan peraturan nanti ada sanksinya,” kata Rsiky.
Dia mencontohkan, seperti halnya di Singapura. Setiap warga negara ketahuan merokok melalui CCTV, ketika ia pulang ke negaranya otoritas setempat akan menahannya terlebih dahulu akibat ketahuan merokok.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menekankan, selain adanya sanksi, pengawasan di lapangan ketika kebijakan ini bergulir juga menjadi hal penting. Karena jika tidak ada pengawasan dan sanksi, ketentuan ini berpotensi sama dengan ketentuan larangan merokok di area publik, tidak akan efektif.
“Kecuali jika pemerintah memang serius dan membuat sistem pengawasan yang benar-benar dilaksanakan secara konsisten. Kalau seperti itu baru akan efektif," ujarnya kepada Tirto.
Kemenkes sendiri mengakui sistem pengawasan di lapangan akan menjadi sulit dilakukan karena sebaran penjual rokok di warung-warung cukup luas. Namun, itu bisa diatasi dengan menggandeng beberapa sektor dan kementerian atau lembaga terkait dalam hal pengawasan.
“Ini juga peranan berbagai sektor mulai dari pemda, kementerian lain yang terkait juga penegak hukum. Yang penting aturannya ada dulu," pungkas Siti Nadia Tarmizi.
Bikin Omzet Pedagang Turun
Di sisi lain, terlepas dari upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok ada pengusaha yang menjerit. Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) bahkan menolak wacana pemerintah untuk melarang penjualan rokok secara eceran.
“Pembatasan akses untuk mendapatkan rokok pasti akan berdampak kepada penjualan. Kami memperkirakan, jika aturan ini diberlakukan, omzet kami bisa menurun lebih dari 30 persen,” ungkap Sekretaris Jenderal APPSI Mujiburrohman.
Penurunan omzet yang cukup besar ini lantaran penjualan rokok merupakan kontributor pendapatan warung terbesar setelah penjualan bahan-bahan pokok. Komposisinya bisa mencapai 30 persen dari total omzet yang biasa didapatkan para pedagang.
Dia menjelaskan bahwa margin keuntungan dari penjualan rokok sejatinya kecil. Misalnya untuk warung atau toko yang menjual per bungkus, kisaran omzetnya mungkin 5-10 persen dari harga jual, sementara untuk yang biasa menjual grosir biasanya mengambil margin hanya 1-3 persen.
“Belanja rokok ini membutuhkan modal yang besar, namun marginnya tipis," jelasnya.
Meski marginnya tipis, namun penjualan rokok memang memiliki perputaran yang cepat. Oleh karenanya, pembatasan akses terhadap pembelian rokok pasti akan memperlambat perputaran penjualan, sehingga omzet pun pasti akan ikut berkurang.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur juga mengamini pelarangan penjualan rokok eceran akan mematikan pedagang kecil. Karena omzet pedagang pasti akan berkurang karena keuntungan yang didapat dari penjualan rokok berkontribusi signifikan terhadap pemasukan mereka.
“Kalau rokok eceran dilarang, ini kasihan pedagang kecil yang jualan rokok. Yang akan terdampak justru yang kecil. Pendapatan mereka lumayan dari (penjualan) rokok untuk bisa bertahan hidup sehari-hari,” ungkap Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto dalam pernyatannya.
Adik menilai hal yang sudah baik diterapkan adalah untuk pedagang tidak menjual rokok di lingkungan dekat sekolah dan tidak menjual kepada anak di bawah umur. Hal ini yang perlu dioptimalkan dan diawasi penegakannya.
“Kios kecil ini sudah ada aturan jarak jualannya, tidak boleh beberapa meter dari sekolah dan tidak boleh menjual kepada anak di bawah umur. Seharusnya ini sudah cukup, tidak usah sampai mengatur terkait tidak boleh jual rokok eceran, karena belum terbukti efektivitasnya, tapi dampaknya terhadap pedagang kecil sudah pasti” ujarnya.
Adik meminta agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat, apalagi di tengah isu krisis dan situasi ekonomi global yang tidak menentu. Jawa Timur sendiri, lanjut Adik, telah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Alih-alih menjaga pertumbuhan ekonomi, kebijakan pelarangan penjualan rokok eceran justru akan berdampak pada stabilitas ekonomi, termasuk di Jawa Timur.
Pelarangan penjualan rokok eceran ini tertuang sebagai usulan dalam rencana revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012). Adik menjelaskan bahwa ia tidak setuju atas rencana revisi PP tersebut. Dia melihat PP 109/2012 telah mengatur secara komprehensif dan mengakomodir keseimbangan antara ekosistem pertembakauan dengan kesehatan.
“Aturannya sudah sangat komprehensif, mari fokus pada optimalisasi implementasi peraturan yang ada dan sudah sangat baik sekali. Aturan-aturan ini kalau direvisi tetap dampaknya akan ke pihak-pihak yang kondisinya tengah berusaha untuk bertahan dan pulih. Mereka adalah tulang punggung ekonomi kita,” kata dia.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi juga menyatakan penolakan terhadap usulan revisi PP 109/2012 karena aturan yang berlaku saat ini sudah tegas melarang jual beli rokok kepada anak dibawah 18 tahun.
Sementara khusus terkait isu pelarangan penjualan rokok eceran, menurut Benny, aturan ini akan semakin menekan industri hasil tembakau di tengah regulasi yang masif dan eksesif. Benny juga menilai pelarangan ini tidak akan efektif untuk menekan prevalensi perokok anak.
“Rasanya tidak akan efektif karena beberapa anak dapat bergabung untuk membeli sebungkus rokok. Seharusnya yang diperkuat adalah komitmen, pengawasan, dan sanksi,” ujar Benny.
Tak hanya itu, Benny juga melihat aturan ini justru akan memaksa orang dewasa untuk merokok lebih banyak. Padahal beberapa perokok dewasa biasanya hanya menghabiskan 2-3 batang perhari.
“Ini justru akan memaksa orang dewasa yang hanya merokok sehabis makan atau mau ke kamar mandi untuk membeli sebungkus rokok. Padahal mereka biasanya hanya menghabiskan 2-3 batang saja per hari,” jelas Benny.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz