Menuju konten utama

Darurat Perkawinan Anak di Malang, Tak Cukup Hanya Imbauan Saja

Mata rantai perkawinan anak harus diputus hingga ke akarnya demi mencegah bencana multisektor.

Darurat Perkawinan Anak di Malang, Tak Cukup Hanya Imbauan Saja
Sejumlah siswi menunjukkan poster kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak di Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, Senin (20/11/2017). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

tirto.id - Indonesia dibayangi tingginya angka perkawinan anak. Fenomena tersebut masih menjadi momok dan mengancam visi pembangunan sumber daya manusia (SDM) di periode kedua pemerintahan Joko Widodo.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, sekitar 1.220.900 perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah sebelum berumur 18 tahun. Indonesia bahkan menempati peringkat ke-8 perkawinan anak tertinggi di dunia, serta peringkat ke-2 di ASEAN.

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 disebutkan, laki-laki dan perempuan harus berusia minimum 19 tahun untuk bisa melangsungkan perkawinan. Namun, aturan hukum memungkinkan pemberian dispensasi dengan syarat ketat dan dalam kondisi tertentu.

Dispensasi adalah pemberian hak bagi seseorang untuk menikah meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Pengajuan dispensasi dilakukan oleh orang tua sang anak ke pengadilan. Ketentuan teknis ini telah diatur secara rinci dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019.

Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung per 18 Desember 2022 menunjukkan Kabupaten Malang, Jawa Timur, adalah yang tertinggi di Indonesia terkait permohonan dispensasi perkawinan. Permohonan yang masuk mencapai 1.412 dengan rincian 1.358 sudah diputuskan, 17 dicabut dan sisanya 37.

Kemudian Jember menempati urutan kedua setelah Kabupaten Malang. Permohonan yang masuk mencapai 1.365 dengan rincian 1.324 sudah diputuskan, 5 dicabut dan sisanya 36.

Bergeser ke Jawa Tengah, daerah dengan pengajuan dispensasi perkawinan tertinggi ada di Purwodadi. Total permohonan yang masuk mencapai 861 dengan rincian 823 sudah diputus, 12 dicabut dan sisanya 26.

Di Jawa Barat, daerah dengan pengajuan dispensasi perkwinan tertinggi ada di Garut. Total permohonan yang masuk mencapai 861 dengan rincian 556 sudah diputus, 11 dicabut dan sisanya 17.

Lalu di Sulawesi Selatan daerah dengan pengajuan dispensasi tertinggi ada di Kabupaten Sidenreng Rappang. Total permohonan yang masuk mencapai 531 dengan rincian 510 sudah diputus, 10 dicabut dan sisanya 11.

Di Sumatra Selatan daerah dengan pengajuan dispensasi tertinggi ada di Lubuklinggau. Total permohonan yang masuk mencapai 513 dengan rincian 475 sudah diputus, 16 dicabut dan sisanya 22.

Angka dispensasi perkawinan di daerah lain relatif tidak terlalu besar, termasuk DKI Jakarta. Dengan demikian Kabupaten Malang, Jawa Timur, adalah yang tertinggi berdasarkan data Badilag MA. Data ini bersifat dinamis.

Bencana Multisektor

Asisten I Pemerintah Kabupaten Malang, Suwadji mengakui perkawinan anak di daerahnya sudah terjadi sejak lama. Ia menyebut data itu terus naik secara signifikan. Meski demikian, dia mengklaim selalu menyosialisasikan pencegahan pernikahan dini.

Di Malang, kata dia, anak yang melangsungkan perkawinan berusia di bawah 17 tahun. Dalih yang lazim ditemui adalah hamil di luar nikah, menghindari zina, serta faktor ekonomi dan kebiasaan tertentu.

"Mohon maaf ada kejadian lebih dulu (kehamilan)," kata Suwadji saat ditemui Tirto di Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat 16 Desember 2022.

Ia memahami perkawinan anak membawa bencana multisektor seperti putus sekolah, keluarga yang rentan, dampak psikologis atau kesehatan mental, risiko kematian ibu dan bayi, stunting, ketidaksetaraan gender, kemiskinan, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Ia kembali menegaskan sudah berupaya melakukan sosialisasi hingga ke berbagai lapisan masyarakat meski belum berhasil menurunkan angka perkawinan anak. "Kami makanya menggandeng sekolah, pesantren untuk sosialisasi pencegahan penundaan perkawinan usia dini, terutama melibatkan perhatian orang tua," tutur dia.

Tren kenaikan perkawinan anak di Kabupaten Malang berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian. Hal itu, kata Suwadji, disebabkan pasangan suami istri belum matang secara kedewasaan. Rumah tangga yang diharapkan berjalan sesuai visi akhirnya kandas karena pertikaian.

"Rumah tangga itu butuh kematangan, bukan cinta saja, tapi kasih sayang. Padahal bentuk rumah tangga senang bukan sekadar senang secara fisik saja. Makanya harus ada persiapan," jelasnya.

Kesulitan Membendung

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy turut menyoroti tingginya angka perkawinan anak di Kabupaten Malang. Ia mengaku kesulitan mencegah fenomena tersebut karena ini berkaitan dengan masalah kebudayaan dan kelaziman kelompok masyarakat tertentu.

"Perkawinan anak agak sulit ya kalau kita lakukan secara ketat karena bersinggungan dengan masalah kultur, kemudian juga ada kebiasaan yang berlaku di tempat itu," ucap Muhadjir di acara Media Gathering Kemenko PMK, Rayz UMM Hotel, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (16/12/2022).

Namun demikian, Muhadjir meminta kepada pemerintah daerah hingga desa untuk terus memberikan imbauan secara bijaksana. Kalaupun pernikahan tetap terjadi, dia meminta agar menunda dulu kehamilannya. Ia khawatir perempuan yang masih di bawah umur belum siap untuk bereproduksi: hamil, melahirkan dan memiliki anak.

"Paling tidak diminta untuk menunda kehamilannya. (Kalau yang menikah karena hamil duluan) lain masalah itu. Intinya perlu ada penyuluhan, ada persuasi dari aparat jangan sampai terus mengalami kenaikan pernikahan dini," terangnya.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK, Femmy Eka Kartika Putri menyebut perkawinan anak di Kabupaten Malang sudah sangat mengkhawatirkan.

Ia meminta perangkat daerah di Kabupaten Malang beserta pranata sosial di dalamnya turut serta meminimalisir angka perkawinan anak. Apalagi perkawinan anak dapat menyebabkan bencana multisektor.

"Diawasi anaknya, jangan sampai mereka ini pergi berdua-duaan terus berhubungan badan. Nanti hamil terus minta dispensasi nikah," tandasnya.

Norma yang Hilang

Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Nia Elvina menyebut perkawinan anak disebabkan oleh liberalisasi pergaulan. Menurut dia pola pergaulan yang dijalani saat ini cenderung terbuka terhadap hal-hal yang bersifat intim.

"Sebelumnya dalam masyarakat kita dikenal konsep tabu jika berbicara tentang nilai keintiman," kata Nia saat dihubungi Tirto, Minggu 18 Desember 2022.

Konsep tabu yang sejak dahulu diterapkan masyarakat Indonesia kini terkikis seiring menguatnya paham liberal. Karena itu, dia menyebut peran pemuka agama amat dibutuhkan untuk menegasi kecenderungan saat ini. Nilai keagamaan yang dipahami secara moderat dapat menjadi benteng untuk tidak masuk dalam pusaran pergaulan bebas.

"Saya kira di sinilah peran para ulama di negara kita. Mereka bisa memperkuat kembali norma agama mengenai relasi antar-lawan jenis," ucapnya.

Nia menyebut secara teoritis perkawinan anak terjadi di masyarakat kelas menengah ke bawah. Akan tetapi saat ini hal itu sudah tidak terkategorisasi lagi seiring dengan menguatnya liberalisasi. "Hampir tidak mengenal kelas sosial," imbuhnya.

Memutus Mata Rantai

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menegaskan semua pihak harus menerapkan asas kepentingan terbaik bagi anak. Menurut dia seorang anak memiliki hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk hidup dan tumbuh kembang, keseteraan gender, nondiskriminasi, dan lain sebagainya.

Pengajuan dispensasi kawin umumnya didasarkan pada alasan darurat seperti telah terjadi kehamilan yang tidak direncanakan, mengaku sudah melakukan hubungan seksual hingga takut berbuat zina.

"Hal ini menunjukkan ada permasalahan belum optimalnya pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif termasuk risiko melakukan hubungan seksual sebelum waktunya," ucap Ami, sapaan akrabnya, saat dihubungi Tirto, Sabtu 17 Desember 2022.

Dia berujar, negara yang memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada warganya bisa meminimalisir perkawinan anak. Dengan adanya edukasi, masyarakat khususnya perempuan bisa memahami secara kritis hak atas tubuh, kesehatan reproduksi, dan risiko-risiko lainnya.

Ami juga menyinggung perbuatan pidana dalam konteks pemaksaan perkawinan anak. Hal itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU TPKS mengatur larangan pemaksaan perkawinan kepada seseorang, termasuk anak. Bila itu dilanggar maka dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.

"Dengan tingginya angka perkawinan anak dan dampak fisik, psikis, seksual, ekonomi termasuk pendidikannya, maka di UU Nomor 12 Tahun 2022, perkawinan anak menjadi salah satu bentuk tindak pidana pemaksaan perkawinan. Ini artinya sejak 9 Mei 2022 perkawinan anak adalah tindak pidana," jelas Ami.

Kendati demikian, ia menyadari bahwa perkawinan anak tidak serta merta bisa dihapus dengan menjadikannya tindak pidana. "Namun perlu diimbangi dengan kebijakan sosial lainnya seperti pendidikan, kesehatan reproduksi, perbaikan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Juga, perubahan cara pandang melalui tafsir keagamaan yang moderat, dan perubahan nilai budaya terkait peran anak perempuan," terang Ami.

Ia pun berpesan kepada Pemkab Malang dan pemda lainnya untuk terus membangun program secara berkelanjutan demi meminimalisir perkawinan anak. Kombinasi antara edukasi dan pemberdayaan ekonomi harus berjalan beriringan untuk menyukseskan misi tersebut.

Baca juga artikel terkait PERKAWINAN ANAK atau tulisan lainnya dari Fahreza Rizky

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fahreza Rizky
Penulis: Fahreza Rizky
Editor: Abdul Aziz