tirto.id - Pernikahan di bawah umur atau usia anak mengalami lonjakan hingga 300 persen saat pandemi COVID-19 di Indonesia. Situasi ini dianggap menjadi tanda bahaya. Sebab meningkatkan potensi kekerasan seksual dan permasalahan sosial.
“Dispensasi pernikahan [di bawah umur] yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama [tahun 2020] dibandingkan tahun sebelumnya ini meningkat 300 persen,” kata Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati saat memaparkan laporan catatan tahunan (Catahu) 2021 melalui diskusi daring, Jumat (5/3/2021).
Komnas Perempuan menghimpun data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, dalam lima tahun terakhir. Temuannya, angka dispensasi pernikahan melonjak tajam terutama dalam dua tahun terakhir. Pada 2016 ada 6.488 dispensasi yang dikabulkan; 2017 ada 11.819; 2018 terdapat 12.504; pada 2019 ada 23.126; dan pada 2020 sebanyak 64.211.
Lonjakan dispensasi pernikahan ini disebabkan berbagai faktor, kata Retty. Pertama karena adanya peraturan yang menjadi celah, setelah adanya perubahan Undang-Undang tetang Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 yang mulai berlaku 15 Oktober 2019. UU ini memuat soal dispensasi pernikahan atau hak untuk menikah meskipun belum berusia 19 tahun.
Dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 16 Tahun 2019 menyebutkan, dispensasi pernikahan diberikan atas alasan yang mendesak, terpaksa, dan harus dikuatkan dengan bukti-bukti yang mendukung. Pengecualian pernikahan di bawah umur dengan syarat “kondisi yang mendesak” inilah celah hukum pernikahan di bawah 19 tahun.
“Tingginya angka dispensasi pernikahan ini berapa kemungkinan karena kondisi pandemi, anak-anak tidak dapat bersekolah tatap muka serta kesulitan ekonomi keluarga,” kata Retty. Kesulitan ekonomi inilah yang dijadikan salah satu alasan mendesak untuk menikahkan anak.
Salah satu kasus pernikahan anak di bawah umur yang menjadi sorotan Komnas Perempuan yaitu, pernikahan Syekh Puji dengan anak usia 7 tahun terjadi tahun 2016 dan baru dilaporkan ke Polda Jateng pada tahun 2020. Kemudian kasus lainnya pernikahan dua pasangan remaja, MG (14) dan FN (16), di Sulawesi Tenggara menjadi viral di media sosial. Pernikahan kedua remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) itu diketahui akan digelar pada Sabtu (6/3/2021) di Kelurahan Laompo, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan.
Pada awal tahun 2021 juga Indonesia diramaikan dengan sebuah kehadiran Aishah Wedding yang menawarkan promosi pernikahan di bawah umur.
Jadi Tanda Bahaya
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, selama pandemi COVID-19 banyak anak putus sekolah. Penyebabnya, mereka menikah dan harus bekerja membantu ekonomi keluarga.
Berdasarkan data Januari-Februari 2021 saja, jumlah siswa yang berhenti sekolah karena menikah mencapai 33 peserta didik dari kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima.
Di sisi lain, lonjakan dispensasi pernikahan ini, kata Retno, lantaran syarat umur pernikahan laki-laki dan perempuan 19 tahun. Itu lebih tinggi dari UU sebelumnya yang hanya mensyaratkan perempuan 16 tahun.
"Makanya dispensasi pernikahan juga melonjak. Dulu anak perempuan usia 16 tahun ke bawah yang izin mendapat dispensasi, sekarang 19 tahun ke bawah. Tapi memang di masa pandemi perkawinan anak bisa jadi meningkat," kata Retno kepada reporter Tirto, Jumat (5/3/2021).
Komisioner Komnas Perempuan lainnya Siti Aminah Tardi mengatakan, tingginya angka dispensasi pernikahan ini menjadi tanda bahaya. Perkawinan anak akan menyebabkan penurunan kualitas SDM Indonesia karena berarti anak anak perempuan terhenti pendidikannya. Selain itu berpotensi melahirkan anak stunting, meningkatkan angka kematian ibu, juga kekerasan dalam rumah tangga.
"Ini bahaya, karena berarti tujuan SDGs untuk menghentikan perkawinan anak dan RPJMN untuk peningkatan SDM tidak tercapai," kata Siti kepda reporter Tirto, Jumat (5/3/2021).
Oleh sebab itu, pemerintah harus memastikan akses pendidikan yang setara dan mencegah anak perempuan putus sekolah, meningkatkan pendidikan publik mengenai bahaya perkawinan anak. Kemudian mempromosikan tafsir agama moderat bahwa perkawinan anak bukanlah sunah nabi.
Dan yang tak kalah penting adalah "mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yg mengategorikan perkawinan anak sebagai pemaksaan perkawinan," katanya.
Pemerintah Klaim Telah Preventif
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengklaim, telah melakukan sejumlah langkah agar tidak terjadi perkawinan anak di bawah umur.
Misalnya seperti memberikan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat mengenai risiko menikah di bawah umur. Sebab anak masih membutuhkan akses pendidikan. Selain itu dikhawatirkan risiko kesehatan kepada ibu dan anaknya apabila melahirkan pada usia muda.
"Kami juga memberikan pelatihan kepada paralegal agar dapat mendampingi warga apabila ingin mengajukan dispensasi perkawinan ke Pengadilan, sehingga menjadi batal," kata Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin kepada reporter Tirto, Jumat (5/3/2021).
Kemudian berkoordinasi dengan Badilag agar dapat mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
"[Perma 5/2019] itu agar bisa diberikan pemahaman kepada hakim di seluruh Indonesia," ucapnya.
Namun apabila terpaksa telah terjadi perkawinan anak di bawah umur, Kementerian PPPA mengedukasi mereka agar tetap melanjutkan sekolah, menjaga kesehatan reproduksi, dan sebagainya.
Kementerian PPPA berjanji akan menurun angka perkawinan anak pada tahun 2024 menjadi 8,74 persen dari tahun 2011 sekitar 11 persen. "Kami harus menurunkan dari tahun sebelumnya. Kita harus turun sesuai RPJM 2024," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Dieqy Hasbi Widhana