Menuju konten utama
Undang-Undang Pers

Potensi Pidana di Balik Kasus Umbaran yang Nyamar jadi Jurnalis

Direktur LBH Pers mendorong agar ada pengusutan lebih lanjut dalam kasus Umbaran yang nyamar jadi jurnalis belasan tahun.

Potensi Pidana di Balik Kasus Umbaran yang Nyamar jadi Jurnalis
Iptu Umbaran Wibowo. (Twitter/@paltiwest)

tirto.id - Pelantikan Iptu Umbaran Wibowo sebagai salah satu kapolsek di Kabupaten Blora menghebohkan publik. Sebab, Umbaran dalam sehari-harinya dikenal sebagai jurnalis, bukan anggota kepolisian. Pria yang diangkat sebagai Kapolsek Kradenan itu selama 14 tahun terakhir tercatat sebagai kontributor TVRI Jawa Tengah cabang Pati.

Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Polisi M Iqbal Al-Qudussy membenarkan bahwa Kapolsek Kradenan Iptu Umbaran adalah eks kontributor TVRI Jawa Tengah. Namun, Iqbal membantah bahwa Umbaran adalah karyawan tetap dari TVRI.

“Dia bukan pegawai tetap TVRI,” kata Iqbal dalam rilis tertulis pada Rabu (14/12/2022).

Iqbal menjelaskan, keberadaan Umbaran di TVRI dalam rangka melaksanakan tugas sebagai seorang intel dalam kesatuannya. Menurutnya hal itu tidak melanggar kode etik profesi seorang Polri walau merangkap pekerjaan sebagai wartawan.

“Dia pernah ditugaskan melaksanakan tugas intelijen di wilayah Blora,” kata dia.

TVRI Kecolongan?

Direktur Utama TVRI, Iman Brotoseno buka suara terkait kasus Iptu Umbaran yang menyamar sebagai kontributor medianya. Ia menegaskan pihak TVRI tidak tahu bahwa Umbaran adalah anggota Polri.

“TVRI Jawa Tengah benar-benar tidak tahu kalau saudara Umbaran adalah anggota intel. Selama menjadi kontributor memang tidak ada kewajiban untuk hadir setiap hari di kantor. Dia bisa mengirim berita dari mana saja,” kata Iman dalam keterangan, Jumat (16/12/2022).

Iman sebut Umbaran adalah kontributor TVRI Jawa Tengah yang ditugaskan di Blora. Ia menjadi kontributor sejak 2012. Menurut dia, Umbaran bekerja tanpa masalah selama 12 tahun terakhir. Segala berita dari Blora ke TVRI Jawa Tengah berjalan lancar.

“Dalam menjalankan profesinya sebagai kontributor selama sekitar 12 tahun tidak ada permasalahan, segala sesuatunya berjalan dengan sangat baik, aliran berita dari Blora ke TVRI Jawa Tengah juga berjalan dengan baik,” kata Iman bercerita.

Pada Oktober 2022, Umbaran mengajukan pengunduran diri karena akan mendapatkan jabatan terbuka, yang kelak di kemudian hari Umbaran Wibowo berpangkat Iptu dan diangkat menjadi Kapolsek Kradenan, Blora.

Ia menegaskan bahwa posisi kontributor berbeda dengan pegawai tetap karena tidak ada keterikatan dan kontrak lepas. Ia juga tidak terikat seperti pegawai tetap lain. Status kontributor itu juga berkaitan dengan proses rekrutmen yang tidak seketat pegawai tetap. Imam menegaskan bahwa TVRI pusat tidak terlibat dalam proses rekrutmen.

“Poses menjadi kontributor tidak seketat ketika jadi pegawai tetap, di samping kita tidak melalukan cek background segala. Itu memang kewenangan TVRI daerah dalam rekrutmen. Pusat tidak terlibat,” kata Iman.

Imam menambahkan, “Setahu saya, sepanjang dia punya kemampuan untuk menyumbang berita sesuai tugas lapangan, ya bisa saja masuk jadi kontributor. Mereka juga tidak hadir setiap hari di kantor. Umumnya kontributor itu freelance dan pekerja lepas. Ada yang juga punya pekerjaan lain. Tapi ini memang jadi catatan kami agar ke depan jauh lebih berhati-hati.”

UJI KOMPETENSI JURNALIS

Sejumlah jurnalis dari berbagai media mengikuti Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) oleh Dewan Pers di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (29/9/2021). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/foc.

Polri Dinilai Gunakan Cara Kotor

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam keras aksi aparat yang menempatkan anggotanya sebagai jurnalis. Polri menggunakan cara kotor dalam memperhatikan kepentingan publik, kata Ketua Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung.

Penyusupan anggota Polri ke dalam institusi pers menyalahi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 6 UU Pers menyebutkan, pers nasional memiliki peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

“Kepolisian jelas telah menempuh cara-cara kotor dan tidak memperhatikan kepentingan umum dan mengabaikan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar,” kata Erick dalam keterangan tertulis, Kamis, 15 Desember 2022.

AJI menekankan bahwa pers memiliki imunitas dan hak atas kemerdekaan dalam melakukan kerja-kerjanya. Polri dianggap telah mengabaikan hak atas kemerdekaan pers dengan menempatkan anggotanya di unsur pers.

Erick menambahkan, penyusupan ini juga bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”

“Dalam kasus ini, Iptu Umbaran dan Polri telah menyalahgunakan profesi wartawan untuk mengambil keuntungan atas informasi yang diperoleh saat bertugas menjadi jurnalis,” terang Erick.

Menurut dia, organisasi pers dan media dapat berperan aktif menelusuri latar belakang wartawan. Hal ini akan berdampak pada kredibilitas organisasi maupun media yang bersangkutan dalam mengemban tugasnya sebagai wadah pers karena tak mampu menjamin profesi pers yang terbebas dari potensi intervensi aktor-aktor negara.

Oleh karena itu, kata Erick, AJI Indonesia meminta Polri setop upaya kotor seperti menyusupkan anggota intelijen ke institusi media yang dapat mengganggu kinerja pers.

Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD enggan berkomentar soal polisi menyamar menjadi wartawan. Ia menilai hal tersebut akan dijawab oleh satuan intel kepolisian.

“Itu nanti yang bisa menjelaskan intelkam ya [...] Itu bagian dari intelijen. Kan kita tidak tahu juga dan supaya diingat, intelijen itu mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu demi menyelamatkan negara,” kata Mahfud pada Kamis kemarin.

“Mungkin itu ada alasan itu, tapi saya nggak berkomentar, saya juga enggak tahu namanya," lanjut Mahfud.

Dalam kasus ini, Mabes Polri tengah berkomunikasi dengan Polda Jawa Tengah dan jajarannya, kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Polisi Dedi Prasetyo. Namun, Ia tidak menjawab soal kemungkinan pencopotan karena masih dalam tahap penilaian.

“Semuanya masih dikomunikasikan terlebih dahulu karena dalam sistem kepolisian, rotasi jabatan setiap anggota Polri harus melalui proses asesmen,” kata Dedi sebagaimana dilansir Antara.

“Asesmennya itu akan dilihat dahulu oleh wakapolda karena wakapolda, kan, sebagai pimpinan yang mengendalikan penggunaan karier di lingkungan internal Polri. Nanti apabila sudah ada hasilnya, Kabid Humas yang akan menyampaikan informasinya,” kata Dedi.

Dewan Pers Lakukan Investigasi

Dewan Pers pun bersikap. Mereka langsung melakukan investigasi terhadap Umbaran. Wakil Ketua Dewan Pers, Agung Dharmajaya mengatakan, pihaknya telah meminta keterangan kepada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai wadah organisasi Umbaran. Hal ini tidak lepas dari status Umbaran yang terdaftar sebagai anggota yang memegang sertifikat pers wartawan madya dari PWI dengan nomor 8953-PWI/WDya/DP/I/2018/19/10/84.

“Begitu mendapatkan informasi tersebut, Dewan Pers langsung berkomunikasi dengan lembaga uji (yang diikuti Umbaran) Persatuan Wartawan Indonesia, meminta penjelasan terkait dokumen," ucap dia kepada Tirto, Rabu, 14 Desember 2022.

Mekanisme seseorang menyampaikan permohonan uji kompetensi, yang dilakukan oleh lembaga uji ialah mengasesmen proses seleksi dan administrasi. Jika yang bersangkutan lulus uji kompetensi, maka lembaga uji akan meminta Dewan Pers menerbitkan sertifikat uji kompetensi.

Dewan Pers juga bersurat kepada TVRI perihal tahu atau tidak Umbaran merupakan seorang polisi aktif. Bila hasil investigasi menyimpulkan bahwa Umbaran betul anggota Polri, maka sertifikasi kompetensinya bakal dicabut.

“Sesuai dengan mekanisme bahwa peserta uji kompetensi wartawan tidak boleh anggota TNI dan Polri," terang Agung.

Apabila dalam daftar isian lembaga uji terdapat klausul "pemalsuan data atau identitas" maka sanksi tak hanya berupa pencabutan sertifikasi, tapi juga bisa berpotensi terkena ranah pidana. "Karena dianggap memalsukan dokumen," kata Agung.

Terbaru, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Arif Zulkifli telah meminta PWI untuk mengevaluasi. PWI sudah menindaktegas dengan mencabut kompetensi keanggotaan Umbaran.

“Dewan Pers telah meminta PWI untuk mengevaluasi uji kompetensi yang dilakukan yang bersangkutan. PWI sudah membatalkan dan telah memberhentikan dari keanggotaan PWI," kata pria yang karib disapa Azul kepada Tirto, Jumat (16/12/2022).

LBH Pers Nilai Perlu Diusut Lebih Lanjut

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin menilai penempatan anggota Polri di tubuh pers sudah melanggar esensi dasar dari jurnalistik. Ia mengatakan publik yang masuk menjadi jurnalis akan memegang teguh UU Pers dan patuh pada ketentuannya yang pro pada kepentingan publik. Sementara anggota Polri yang menjadi bagian pers justru patuh pada aturan dan UU Polri.

“Artinya bukan lagi murni menjalankan mandat Undang-Undang Pers karena dia adalah anggota yang memang di bawah Undang-Undang Polri. Dari situ saja saya pikir pesannya sudah sangat jelas terkait dengan bagaimana misi si anggota ini bukan untuk kerja jurnalistik, tapi memang untuk menjadi intelijen saja,” kata Ade kepada Tirto, Jumat (16/12/2022).

Ade mendorong agar ada pengusutan lebih lanjut dalam kasus Umbaran. Sebab, pengurusan sertifikasi wartawan, sebagaimana ketentuan Dewan Pers, menyatakan agar anggota harus menandatangani surat pernyataan bahwa mereka bukan bagian TNI-Polri, humas pemerintah, hingga bagian partai politik.

Jika ada dokumen tersebut, kata Ade, maka anggota bisa dikenakan pasal pemalsuan. Namun ia mendorong ada pemeriksaan di internal Polri sebelum ada sanksi pidana.

“Ini bukan sekadar etik lagi, ini sudah masuk ke soal pemalsuan dokumen. Makanya ini perlu ditelusuri lebih lanjut,” kata Ade.

“Tapi untuk masuk ke sana mungkin bisa diawali etik atau di Propam terkait dengan prosedur terkait dengan pengutusan intelijen di perusahaan pers hingga kemudian dia diduga melakukan pelanggaran tadi, uji kompetensi itu,” tutur Ade.

Ade mendorong agar pengusutan hingga proses hukum lebih serius. Hal itu penting agar pers bisa terbebas dari kasus seperti kisah Umbaran.

“Kalau misalkan ditemukan ada indikasi dugaan pelanggaran pidana, ya harus diusut. Kenapa? Ini untuk ke depannya supaya pers kita benar-benar memang berwibawa, tidak kemudian anggota yang berdasarkan undang-undang kepolisian ataupun undang-undang lain, dia bisa kemudian mengacak-acak UU Pers yang secara keberlakuan seharusnya standarnya sama," kata Ade.

Ade juga menegaskan bahwa Dewan Pers dan asosiasi juga harus mengevaluasi diri. Mereka harus mengecek asal-muasal masalah kebocoran sertifikasi jurnalis agar kasus Umbaran lain tidak terulang.

“Ini harus, kalau memungkinkan dibuat sebuah satgas apa ada kelalaian atau memang nggak ada kelalaian dari si pemberi sertifikat. Kalau ada kelalaian yang ternyata problem di penyelenggara karena dia nggak minta buat surat pernyataan dll, artinya prosedur problem penyelenggara,” kata Ade.

Ade menambahkan, “Artinya evaluasi harus ke sana sehingga penelusuran ini harus dilakukan oleh Dewan Pers supaya kita bisa melihat ini titik kelemahannya ada di mana, apakah titik kelemahan ada di Dewan Pers? Apakah ada di asosiasi atau memang si calon wartawan yang kemudian berusaha masuk menerobos meski syarat cukup ketat. Ini harus dibuktikan dulu, diproses dulu sebelum ke rekomendasi.”

Baca juga artikel terkait IPTU UMBARAN WIBOWO atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz