tirto.id - Gempa bumi di Sulawesi Tengah 2018 lalu membawa perubahan bagi hidup Siti Marwiya. Perempuan berusia 42 tahun itu adalah seorang guru madrasah di kampungnya, Desa Pombewe, Sulawesi Tengah.
Desa ini berada di Kabupaten Sigi, sekitar satu jam perjalanan berkendara dari ibu kota provinsi, Palu. Gempa berkekuatan 7,4 skala richter yang berpusat di Donggala 2018 lalu, turut mengguncang wilayah ini.
Seperti warga lainnya yang terdampak gempa, Marwiya dan keluarganya sempat tinggal di pengungsian sebelum pindah ke hunian sementara atau yang biasa disebut warga dengan “huntara”.
Gempa yang menelan korban 4.340 jiwa ini menarik perhatian banyak pihak. Misi kemanusiaan, baik dari Indonesia maupun dunia internasional, juga berbagai lembaga pemberdayaan turun ke lapangan untuk membantu pemulihan.
Di momen itu, Marwiya yang sedang mencari penguatan diri, berkenalan dengan perkumpulan perempuan, Lingkar Belajar Untuk Perempuan (Libu Perempuan). Komunitas ini sekarang beranggotakan 30 relawan, dan sejumlah paralegal, dan fokus melakukan upaya pencegahan anak.
“Ada kebutuhan saya di dalam situ, saya membutuhkan penguatan untuk diri saya sendiri, bisa ke anak-anak juga,” kata Marwiya.
Tak hanya mendapat bantuan untuk menguatkan diri, Marwiya juga mendapat edukasi isu perempuan dan anak-anak. Salah satunya perkara pernikahan dini, yang memang menjadi masalah lama di wilayah Sulawesi Tengah.
Sulawesi Tengah memang salah satu wilayah dengan kasus pernikahan anak tertinggi di Indonesia. Pada 2015 menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Sulawesi Tengah berada di posisi ketiga secara nasional dengan rata-rata usia menikah 15-19 tahun.
Berbekal pemahaman soal isu perempuan dan anak, Marwiya mendapat pengetahuan bagaimana harus bertindak ketika menemukan kasus pernikahan anak.
Marwiya harus menghadapi masalah ini dari lingkar terdekatnya. Pada 2019, sanak saudaranya hendak menikahkan anak perempuan mereka yang berusia 14 tahun.
Pernikahan itu direncanakan karena video yang mengandung konten privat keponakannya tersebar di tengah warga. Keluarga menganggap pernikahan adalah jalan pintas terbaik. Melihat hal itu, Marwiya mencoba membujuk agar saudaranya membatalkan rencana pernikahan itu.
Marwiya menjelaskan bahwa pernikahan anak akan punya banyak dampak buruk. Mulai dari belum siapnya reproduksi calon pengantin, potensi jatuh dalam lubang kemiskinan karena belum ada pekerjaan, hingga kemungkinan cerai karena kondisi psikologis yang belum matang.
Penjelasan itu dibalas dengan penolakan.
“Saya cegah, saya kasih tau mamanya, tidak boleh seperti itu. Saya dimusuhi. Cuma saya yang dimarahi,” kata Marwiya, kepada Tirto.id di Sigi, Oktober 2022 lalu.
Pengalaman pahit itu memberikan banyak pelajaran untuk Marwiya.
“Jadi di situ saya baru tahu, baru memahami. Ternyata begini. Sebelumnya memang kan ada kasus-kasus seperti itu (pernikahan dini), cuma saya tidak pahami ke mana jalur-jalur pelapornya saya tidak paham,” kata Marwiya.
Mudharat Pernikahan Anak
Sosiolog Universitas Tadulako, Ritha Safithri menjelaskan ada sejumlah hal yang menyebabkan menjamurnya pernikahan anak di Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah putus sekolah yang disebabkan masalah ekonomi.
Selain itu juga pernikahan dini disebabkan kekhawatiran orang tua yang tidak mau anak-anaknya terjerumus pergaulan bebas.
"Kalau anaknya sudah mulai kelihatan menyukai lawan jenis ya daripada terjadi hal-hal yg tidak diinginkan lebih baik dinikahkan," kata Ritha.
Fasilitator Pembentukan Kota Layak Anak dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Tengah, Metty Lataha menjelaskan fenomena ini berdampak pada banyak hal, termasuk pendidikan.
Berkaca dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, rata-rata masa sekolah di Sulawesi Tengah hanya selama 8,75 tahun atau setara sampai pada tingkat SMP.
“Salah satu penyumbang terbesarnya itu pernikahan dini. Kalau mereka menikah mereka stop sekolah,” kata Metty.
Di sisi lain, fenomena pernikahan anak juga memiliki mudharat di sisi kesehatan. Rosmala Nur, Ketua Pusat Penelitian Kesehatan, Keluarga Berencana, dan Stunting Universitas Tadulako, mengungkapkan pernikahan dini berkorelasi dengan munculnya kasus stunting.
Pada Juni 2022 lalu, Rosmala mengungkapkan prevalensi kasus stunting tertinggi Sulawesi Tengah ada di Kabupaten Sigi dan Parigi Moutong.
"Di Sulteng, yang paling tinggi prevalensi kasus stuntingnya di Kabupaten Sigi, yakni mencapai 40,7 persen dan di Parigi Moutong 31,8 persen dari total penduduk. Setelah saya teliti, yang paling berkontribusi terhadap kasus stunting di dua daerah itu adalah pernikahan dini," ujar Rosmala, seperti diberitakan Antara.
Di tempat pengungsian, pernikahan anak juga tetap terjadi. Menurut Libu Perempuan, ada setidaknya 33 kasus pernikahan anak di sejumlah pengungsian yakni, Sigi, Palu, dan Donggala. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengatur batas minimal pernikahan di usia 19 tahun tak bertaji di sana.
“Mereka dikawinkan, karena sudah tidak punya keluarga lagi,” kata Direktur Libu Perempuan Dewi Rana Amir.
Ikhtiar Mencegah Pernikahan Anak
Maya, salah seorang anggota Libu Perempuan, mengatakan sebelum melakukan mendapat laporan keluarga yang hendak menikahkan anak usia dini, mereka akan menganalisis kasus. Bila persiapan sudah matang, mereka akan menemui pihak keluarga yang akan menikahkan anaknya.
Dalam keadaan tertentu, anggota Libu Perempuan pergi bersama perangkat pemerintah daerah untuk menemui keluarga. Bila tidak ada yang menemani, mereka terpaksa pergi sendiri.
Tak jarang mereka pergi menjelajahi wilayah Sigi yang berbukit. Untuk masuk wilayah pelosok bisa memakan waktu tiga sampai empat jam perjalanan dengan berkendara.
"Kalau kampung tersebut bisa dijangkau oleh mobil, kami naik mobil. Kalau tidak bisa dijangkau mobil, cuma motor, ya kami naik motor," kata Maya.
Tak hanya pihak keluarga, Libu Perempuan juga akan menemui lembaga adat di kampung keluarga tersebut.
Dewi mengatakan faktor kultural merupakan salah satu yang memungkinkan terjadinya pernikahan anak. Oleh karenanya, tetua lembaga adat pun menjadi target audiensi untuk pencegahan pernikahan anak.
"Di sini lembaga adatnya kuat. Mereka (para tetua lembaga adat) adalah orang yang didengar di kampung, jadi tidak bisa disepelekan, harus dirangkul, terutama untuk melakukan penyadaran. Itu yang kita lakukan," kata Dewi.
Tak hanya pencegahan, para perempuan ini juga memantau kondisi anak-anak yang terlanjur dinikahkan oleh keluarganya. Utamanya, mereka yang sudah dalam kondisi hamil.
“Kami pantau itu bagaimana supaya kelahiran berjalan baik. Jadi fokusnya kita di situ. Kalau memang sudah kawin anaknya ketika kami datang, berarti kami akan memastikan bahwa proses persalinan itu berjalan baik,” kata Dewi.
Upaya mencegah pernikahan anak ini juga dilakukan oleh beberapa anak muda yang berinisiatif mendirikan Posyandu Remaja. Inisiatifnya berangkat dari anak-anak dan remaja korban bencana membutuhkan ruang aman untuk beraktifitas.
Maka berdirilah beberapa Posyandu Remaja di sejumlah wilayah yang terdampak gempa. Salah satunya berdiri tak jauh dari Gunung Gawalise, Sigi.
Di sini para relawan muda mengadakan kegiatan edukasi kesehatan reproduksi, kesenian, dan juga pengecekan kesehatan secara berkala kepada puluhan anak yang tinggal di wilayah sekitar Gawalise.
Rezaldi, koordinator Posyandu Remaja Gawalise, mengatakan kegiatan mereka bertujuan menjadi ruang bebas anak dan remaja untuk mengekspresikan diri.
“Di sini, kami bisa mengeluarkan apa saja. Uneg-uneg apa saja yang kami rasakan, permasalahan-permasalahan yang kami rasakan, bisa kami limpahkan di tempat ini,” kata Rezaldi.
Menurut Rezaldi inisiatif ini penting, sebagi salah satu upaya pencegahan pernikahan dini.
Di satu sisi, jumlah pernikahan anak di Sulawesi Tengah perlahan menurun. Berkaca pada data BPS tahun 2020, proporsi anak perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau tinggal bersama sebelum umur 18 tahun berada pada angka 14,89 persen, dan kembali turun menjadi 12,51 persen pada 2021.
Dari data BPS yang diolah tim riset Tirto.id, terdapat kecenderungan penurunan persentase pernikahan sebelum usia 18 tahun di Sulawesi Tengah. Berturut-turut peringkat Sulawesi Tengah secara nasional (34 provinsi ) dalam 3 tahun terakhir:
2019: peringkat 6
2020: peringkat 9
2021: peringkat 11
Sejalan dengan temuan tersebut, Data SUSENAS 2018 yang dirangkum Bappenas menunjukkan prevalensi perkawinan anak di Sulawesi Tengah mencapai 15,8 persen. Ini menempatkan Sulawesi Tengah di peringkat 6 dari 34 provinsi (laporan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak terlampir, halaman 25).
Berdasar laporan yang sama, angka perkawinan anak di Sulawesi Tengah pada 2018 diperkirakan mencapai 19.700. Posisi Sulawesi Tengah di peringkat 16 jika melihat angka absolut. Sementara total perkawinan usia anak nasional mencapai 1.220.900 kasus. (halaman 26)
Meski kondisi dianggap perlahan membaik, bukan berarti upaya pencegahan pernikahan anak berakhir atau berkurang.
Nazwa, salah seorang anak berusia 14 tahun yang kerap berpartisipasi secara rutin di Posyandu Remaja itu menyebut dia masih melihat kawan-kawan sebayanya dinikahkan oleh orangtuanya. Meski begitu ia tak mau mengikuti jalan yang sama. Ia berharap masa muda dan cita-citanya tidak hilang lantaran menikah di masa belia.
“Kan perjalanan masih panjan. Bukan sampai di sini saja. Sekarang saya masih bisa kumpul bareng-bareng, nanti (kalau nikah) sudah tidak bisa,” kata Nazwa.
Editor: Nuran Wibisono