Menuju konten utama

Kontroversi Pemberian Pangkat Letkol Tituler Deddy Corbuzier

Fahmi sebut argumen Kemenhan soal gelar tituler malah mengerdilkan makna kesemestaan dalam sistem pertahanan semesta.

Kontroversi Pemberian Pangkat Letkol Tituler Deddy Corbuzier
Deddy Corbuzier. Instagram/mastercorbuzier

tirto.id - Pesohor Deddy Corbuzier (DC) menjadi perhatian publik belakangan ini. Hal ini tidak lepas dari pemberian titel letnan kolonel tituler kepada ayah dari Azka Corbuzier itu. Pemberian gelar tituler terungkap saat Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto menyerahkan dokumen letkol tituler kepada Deddy yang diunggah dalam akun @mastercorbuzier.

Dahnil Anzar Simanjuntak, Juru Bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menuturkan, pemberian gelar tituler dilakukan Prabowo setelah melihat sepak terjang Deddy dalam komunikasi publik dan tugas menyebarkan semangat kebangsaan.

“DC diberikan kepangkatan itu dengan pertimbangan kemampuan khusus yang dibutuhkan TNI yakni, kapasitas komunikasi di sosial media, kemampuan dan performance DC tersebut akan membantu TNI untuk menyebarkan pesan-pesan kebangsaan dan sosialisasi tugas-tugas TNI dalam rangka menjaga pertahanan RI,” kata Dahnil kepada Tirto pada Minggu kemarin.

Dahnil mengatakan, Dedi diangkat berdasarkan PP No. 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit yakni Pasal 5 ayat 2, Pasal 29 beserta penjelasannya. Ia juga diangkat berdasarkan Peraturan Panglima TNI No. 40 tahun 2018 tentang kepangkatan prajurit TNI Pasal 35.

Dahnil sebut, keputusan dikeluarkan dan disahkan KSAD dan Panglima TNI. Selama aktif sebagai letkol tituler, Dedi akan terikat dengan ketentuan militer, termasuk kehilangan hak pilih.

Namun, pemberian gelar tituler tersebut menuai kritik, salah satunya dari Direktur Eksekutif ISESS, Khairul Fahmi. Ia tidak menyoalkan kecakapan dan kepiawaian Dedy dalam mengelola ruang digital sebagai sarana pembentukan dan penggalangan opini publik. Ia juga tidak memungkiri upaya Deddy dalam penyebarluasan pesan kebangsaan.

Fahmi pun mendukung pemerintah menyiapkan program pembinaan kesadaran bela negara yang berkarakter milenial, kekinian, visioner, menarik, segar dan substansial. Akan tetapi, ia menyoalkan pada inkonsistensi dalam penerapan aturan.

“Pemberian pangkat tituler itu inkonsisten dengan konstitusi yang mengatur bahwa setiap warga negara berhak dan wajib untuk ikut serta dalam usaha bela negara, yang mengandung makna inklusivitas dan mengedepankan kesukarelaan,” kata Fahmi, Kamis (15/12/2022).

Fahmi mengingatkan bahwa upaya membela negara tidak serta-merta harus menjadi bagian tentara. “Militer bukanlah satu-satunya jalur untuk bisa berpartisipasi dan berperan secara optimal dalam narasi kebangsaan maupun bela negara,” kata Fahmi.

Fahmi juga menilai, argumentasi Kementerian Pertahanan dalam memberikan perangkat tituler malah mengerdilkan makna kesemestaan dalam sistem pertahanan semesta sesuai UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

PENETAPAN KOMPONEN CADANGAN

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Komandan Upacara Brigjen TNI Yusuf Ragainaga mengecek kesiapan pasukan pada upacara penetapan Komponen Cadangan Tahun Anggaran 2021 di Pusdiklatpassus, Batujajar, Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (7/10/2021). ANTARA FOTO/HO/Indonesia Defense Magz/pras/rwa.

Ia mengingatkan bahwa pelibatan warga negara, wilayah dan sumber daya nasional dalam pertahanan terbagi atas tiga komponen, yakni komponen utama lewat TNI dalam menjalankan tugas pertahanan; komponen cadangan yang disiapkan untuk dikerahkan lewat mobilisasi demi mendukung komponen utama; dan komponen pendukung yang digunakan untuk membantu komponen utama dan komponen pendukung.

Fahmi mengatakan, pemberian gelar tituler menjadikan Deddy sebagai bagian dari komponen utama. Hal itu, kata Fahmi, tidak memiliki urgensi. Fahmi menerangkan bahwa pemberian gelar tituler kepada Deddy tidak serta-merta menyelesaikan masalah kesenjangan dan keterbatasan kemampuan Deddy. Ia menilai, aksi pemberian gelar tituler mengabaikan semangat UU Nomor 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

“Pelibatan dan kontribusi Deddy dapat difasilitasi tanpa harus menjadi bagian dari komponen utama sesuai hal-hal yang diatur dalam UU tersebut. Antara lain melalui pengabdian sesuai profesi, di mana pemerintah memiliki kewajiban untuk membinanya," kata Fahmi.

Fahmi menambahkan, hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan dan disusun berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai.

Ia menuturkan, penyelenggaraan pertahanan negara tidak bertumpu pada kekuatan militer semata melainkan juga pada kekuatan nonmiliter. Peran dan kontribusi Deddy Corbuzier sebagaimana penjelasan Kemenhan, masih dimungkinkan untuk berada dalam ruang lingkup nonmiliter.

Selain itu, Fahmi menilai bahwa pengangkatan Deddy akan memicu potensi penguatan nuansa militeristik di Indonesia. Ia tidak ingin pemberian titel tituler kepada Deddy justru menjadi ajang membawa nuansa militer dalam kampanye kebangsaan dan bela negara di masa depan.

“Kekhawatiran publik bahwa bangsa ini akan makin militeristik di masa depan, juga tidak boleh diabaikan. Kampanye kebangsaan dan bela negara, bukanlah sekadar kampanye militerisme, sehingga mestinya yang ditonjolkan justru adalah simbolisasi inklusivitas dan kesukarelaan warga negara untuk ikut serta dalam usaha bela negara melalui sosok Deddy Corbuzier tanpa harus memberikan pangkat militer, tituler sekalipun," kata Fahmi.

Sementara itu, pemerhati komunikasi politik Universitas Jember, M. Iqbal tidak memungkiri ada unsur politis dalam upaya pengangkatan tituler Deddy. Setidaknya ada 3 poin yang akan menjadi persoalan. Pertama, soal problematis. Iqbal menilai, Deddy harus mengikuti ketentuan militer karena berstatus letkol tituler. Deddy harus mengubah perilaku, sikap dan mengikuti segala ketentuan militer sehingga tidak bisa seperti Deddy yang dikenal publik.

“Tentu potensi problematis ketika selebritas DC sudah masyhur sebagai pebisnis di platform media sosial yang potensial menimbulkan konflik kepentingan," kata Iqbal kepada Tirto, Kamis (15/12/2022).

Kedua, pemberian gelar Deddy juga dilematis. Deddy memang piawai dalam berkomunikasi sosial. Hal itu memang dibutuhkan Kementerian Pertahanan maupun TNI dalam upaya komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) soal pesan-pesan nasional.

Di sisi lain, kata Iqbal, publik paham konten Deddy sebagai influencer kerap membahas soal isu-isu realitas sosial yang mungkin sensitif dan menimbulkan sensasi. “Maka bisa berpotensi menimbulkan situasi dilematik ketika DC secara simultan juga dituntut membawa pesan KIE mengenai pertahanan nasional," tutur Iqbal.

Ketiga, pemberian gelar bernuansa politis. Ia mengingatkan bahwa pemberian gelar tituler umumnya dilakukan oleh orang yang punya jasa seperti Idris Sardi di dunia seni atau kepemimpinan yang mumpuni seperti Paku Alam VI, VII, dan VIII; Mangkunegara VII dan VIII; Pakubuwono X dan XII; atau Hamengkubuwono VIII dan IX. Mereka menerima gelar karena kepiawaian dalam menjaga stabilitas dan pertahanan semesta secara langsung dan militer. Oleh karena itu, wajar jika gelar tituler diberikan berdasarkan aktivitas kesehariannya.

“Sedangkan sosok DC, memang sangat piawai dan layak diapresiasi sebagai influencer atau tokoh pemengaruh. Justru karena sosoknya sebagai pemengaruh dengan puluhan juta ‘jemaah medsosiyah’ inilah cukup terbaca kepentingan politis di balik anugerah Letkol (tituler) itu," kata Iqbal.

Iqbal mengingatkan bahwa dominasi pemilih saat ini adalah generasi milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024. Deddy bisa saja dibidik demi menyajikan konten KIE untuk target pemilih milenial dan Gen Z, tetapi bisa saja ditunggangi kelompok politik dengan mengemas kinerja Kementerian Pertahanan/TNI sebagai pencapaian kesuksesan TNI atau Kementerian Pertahanan.

Di lain pihak, secara simultan Menhan Prabowo yang juga politisi beserta tim partai politiknya sangat mungkin menimpali atau mengemas ulang produksi konten dari DC tentang Kemenhan/TNI. Tujuannya, tentu semata meraup engagement dari netizen pemilih muda.

“Bukankah di era digital masyarakat jejaring ini yang dinilai signifikan adalah berbasis community engagement? Maka memilih influencer DC hampir mustahil tanpa pertimbangan politis semacam ini," kata Iqbal.

Karena itu, kata Iqbal, pemberian pangkat tituler kepada Deddy perlu dicabut. Sebab, pemberian pangkat, apalagi pangkat tinggi menandakan bahwa TNI tidak mampu menciptakan tokoh sekuat Deddy dari sisi mempengaruhi publik. Ia juga tidak ingin pemberian tituler mengecilkan pandangan urgensi pemberian gelar tituler.

Di sisi lain, pemberian status tituler akan memicu masyarakat untuk berpikir pendek jika ingin menjadi tentara. Dengan demikian, ada potensi ketidakadilan bagi seseorang untuk menjadi anggota militer dan ada persepsi bahwa menjadi anggota militer cukup lewat media sosial.

Ia juga berharap agar pemberian gelar tituler tidak menjadi seperti pemberian gelar kehormatan atau gelar honoris kausa yang saat ini terdistorsi dengan kepentingan politik.

“Intinya jangan sampai pemberian gelar letkol tituler kepada seorang Deddy Corbuzier mengulang hal yang sama seperti semacam obral pemberian gelar honoris kausa atau guru besar yang tidak layak harusnya menerim karena pertimbangan sangat politis,” kata Iqbal.

KUNJUNGAN MENHAN DI UGM

Mehan RI Prabowo Subianto (kedua kanan) didampingi Rektor UGM Panut Mulyono (kanan) mengamati pesawat tanpa awak yang dipamerkan saat melakukan kunjungan di Universitas Gajah Mada (UGM), Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (4/2/2022). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/foc.

Respons Kemenhan & Deddy

Dahnil mengapresiasi kritik publik atas pemberian gelar tersebut. Ia mengatakan, segala pro-kontra sebagai hal yang wajar.

“Kritik itu biasa, yang namanya kebijakan pasti ada yang suka dan ada yang tidak, ada yang setuju dan ada yang tidak. Yang jelas pemberian pangkat sementara tituler tersebut sah secara konstitusional," kata Dahnil, Kamis (15/12/2022).

Dahnil menegaskan bahwa gelar tituler akan tetap berlaku hingga dinonaktifkan. “Sesuai kebutuhan tugas yang bersangkutan ketika dianggap cukup maka dinon-aktifkan,” kata Dahnil.

Deddy pun angkat bicara soal polemik pangkat titulernya. Ia mengingatkan bahwa tituler bukan pangkat kehormatan dan bisa dicabut usai pekerjaan berakhir.

"Kalau tituler itu artinya dikasih kerjaan dan bisa dicopot nanti ketika pekerjaannya sudah selesai, ya udah selesai masa jabatannya," kata Deddy dalam videonya.

Deddy mengakui bahwa Prabowo melobinya untuk menjadi letkol tituler. Deddy mengaku bertugas untuk menyampaikan pesan kebangsaan ke Gen Z dan milenial.

Ia juga mengambil peran tersebut karena hal kehormatan dengan tanggung jawab luar biasa. Ia sudah memulai dengan sejumlah proyek.

Eks mentalist ini juga menegaskan bahwa keputusannya tidak memiliki motif di luar membantu publik. Ia mengaku akan mengeluarkan semua untuk bangsa agar tidak terpecah. Ia juga meminta maaf jika ada kekurangan.

"Tujuan saya pure, tujuan saya adalah positif. Saya nggak nyari exposure, saya nggak nyari uang, nggak nyari apa pun tujuannya adalah pure dari hati saya untuk bantu negara kita republik Indonesia supaya tidak terjadi perpecahan dengan semua yang saya miliki," Kata Dedi.

Baca juga artikel terkait LETKOL TITULER atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz