tirto.id - Pada beberapa bulan terakhir, ada tiga nama kandidat calon presiden yang semakin menguat. Tiga kandidat kuat tersebut, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kerap muncul dalam tiga posisi teratas hasil lembaga survei.
Hasil survei terbaru Indikator Politik mengungkapkan temuan menarik bahwa suara Prabowo Subianto dengan Anies memiliki kesamaan karakteristik basis pemilih. Pada survei kali ini melibatkan 1.220 responden selama jangka waktu 30 Oktober hingga 2 November 2022 dengan angka margin of error 2,9 persen, Indikator mencatat bahwa suara Anies mengalami kenaikan signifikan daripada dua bulan lalu.
"Dibanding dua bulan sebelumnya, Anies Baswedan mengalami peningkatan cukup besar, sekitar 6 persen, Prabowo Subianto menurun cukup tajam sekitar 5 persen, dan Ganjar Pranowo sedikit melemah sekitar 2 persen," kata Burhanuddin dalam konferensi pers secara daring pada Kamis (1/12/2022).
Burhanuddin menjabarkan dalam simulasi tiga nama antara Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Ganjar Pranowo (33,9 persen) unggul tipis dari Anies Baswedan (32,2 persen), sementara Prabowo Subianto (23,9 persen) di urutan ketiga dan berjarak cukup jauh dengan dua pesaingnya.
Menurut Burhanuddin, salah satu penyebab nama Anies menguat adalah efek deklarasi capres yang dilakukan oleh Partai Nasdem. Dia bilang waktu penetapan Anies sebagai capres pada 3 Oktober 2022 menjadi titik penguatan suara elektabilitas Anies. Selain itu, suara Anies dan Prabowo yang dinilai memiliki karakteristik basis massa yang hampir mirip sehingga suara eks Danjen Kopassus itu tergerus.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad mengakui bahwa suara pendukung Prabowo memang tidak mengalami perubahan signifikan akibat kinerja Jokowi. Ia mengakui bahwa ada persepsi bahwa Ganjar diasosiasikan sebagai Jokowi dan Anies sebagai antitesis Jokowi.
"Pendukung Prabowo sekarang relatif tidak terpengaruh dengan apakah penilaian positif atau negatif pada kinerja Jokowi. Ini berbeda dengan Ganjar dan Anies. Publik yang mengapresiasi kinerja pemerintah atau bersikap positif pada kondisi ekonomi cenderung memilih Ganjar, sementara yang sebaliknya cenderung memilih Anies," kata Saidiman saat dihubungi Tirto, Jumat (2/12/2022).
Saidiman mengatakan, suara Prabowo cenderung stagnan dalam satu setengah tahun terakhir. Ia beralasan, posisi Prabowo sudah dikenal publik, tetapi tidak memiliki tingkat penerimaan tinggi selain dari Ganjar maupun Anies.
Ia beralasan, publik mulai melihat Anies sebagai tokoh baru yang menampung aspirasi anti-Jokowi. "Sebagian pemilih Prabowo yang sebelumnya memilih karena menolak Jokowi sekarang cenderung menemukan tokoh baru yang bisa menampung aspirasi mereka, yaitu Anies Baswedan. Sekarang kecenderungannya Prabowo mulai tergeser oleh Anies sebagai tokoh yang menampung aspirasi anti-pemerintah," kata Saidiman.
Namun, angka penolak Jokowi masih hanya 30 persenan. Dengan kata lain, suara Anies masih belum bisa mengalahkan kandidat yang mendukung pemerintah.
"Enggak juga karena yang resisten pada Jokowi kan hanya sekitar 30-an persen. Artinya ceruk anti-Jokowi jauh lebih sedikit dibanding yang mengapresiasi. Namun, juga perlu diingat bahwa soal capres tidak satu faktor. Faktor kualitas personal juga sangat penting," tegas Saidiman.
"Dua kali Prabowo gagal membuktikan bahwa di publik, ada resistensi yang cukup kuat pada Prabowo. Mengubah yang resisten menjadi suka ini bukan pekerjaan mudah," lanjut Saidiman.
Bagaimana Prabowo Bisa Memperluas Basis Pemilihnya?
Menurut Saidiman, Prabowo masih bisa meningkatkan angka keterpilihan meski diklaim mentok. Menteri Pertahanan itu bisa mulai mengejar penerimaan suara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia menilai dua daerah itu penting untuk dikuasai, apalagi Prabowo sudah menjadi bagian pemerintah.
Ia juga mengingatkan, basis suara Prabowo banyak dari perdesaan dan pendidikan rendah daripada masyarakat perkotaan dan pendidikan tinggi. Eks Danjen Kopassus ini perlu mengemukakan gagasan yang lebih menarik di kalangan perkotaan yang kritis.
"Kualitas kharismatik sebagai sosok yang tegas perlu diperluas menjadi sosok yang cerdas dan memberi solusi praktis atas kondisi yang ada. Narasi yang sifatnya slogan perlu diterjemahkan dalam platform yang lebih practical," kata Saidiman.
Di sisi lain, suara Prabowo sulit naik jika mengandalkan dukungan Jokowi. Ia menilai, pemilih Indonesia lebih memilih sosok berbasis keinginan sendiri daripada endorsement tokoh. Opsi lain yang justru bisa menaikkan suara Prabowo adalah dengan mencarikan cawapres yang pas.
"Untuk Prabowo, tokoh-tokoh dari massa NU mungkin bisa membantu dia masuk ke wilayah yang selama ini resisten," kata Saidiman.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Power Ikhwan Arif menilai Prabowo memang berada di peringkat tiga besar, tetapi posisi Prabowo berbeda dengan Ganjar maupun Anies. Dalam perbandingan antara Prabowo dengan Ganjar, maka Ganjar dinilai lebih punya keuntungan atau benefit karena satu partai politik dengan Jokowi.
"Kalau dilihat dari kedekatannya dengan Pak Jokowi, Ganjar lebih diuntungkan sebagai bakal capres, karena faktor partai politik, antara Ganjar Pranowo dan Pak Jokowi memiliki kedekatan psikologis kepartaian, kemudian sebagai tokoh populer dan memiliki basis pemilih di Jawa Tengah," kata Ikhwan, Jumat (2/12/2022).
"Apalagi Pak Jokowi kerap kali memberikan kode atau endorse politik ke Ganjar Pranowo seperti kriteria rambut putih yang kemarin dilontarkan kepada relawan politik, itupun tidak pernah ditegur secara langsung oleh Partai PDIP," tambahnya.
Ikhwan meyakini, PDIP berpotensi mengusung Ganjar yang notabene tokoh potensial, populer dan didukung Jokowi. Dukungan Jokowi dapat terlihat dari sinyal "rambut putih" yang dilontarkan saat acara relawan Nusantara Bersatu beberapa waktu lalu. Selain itu, PDIP tidak akan melepaskan kesempatan lantaran Ganjar menjadi incaran partai lain.
Di sisi lain, isu Prabowo-Ganjar juga menjadi hal penting lantaran kedua kandidat tersebut didukung Jokowi. Hal itu lantas mengganggu komposisi koalisi Gerindra saat ini, yakni Koalisi Indonesia Raya antara PKB dan Gerindra. Ia mengingatkan, Prabowo berpotensi mencari pasangan di luar koalisi demi mencari kekuatan politik lebih.
"Jika komposisi koalisi bertambah, kekuatan politik juga bertambah, peluang menang semakin besar. Sehingga PKB memang berada pada pilihan sulit jika terus menyuarakan posisi tawar sebagai capres. Seharusnya PKB merelakan posisi capres atau tetap bertahan di koalisi untuk meningkatkan suara partai politik, karena pertimbangan efek ekor jas (coat tail effect)," kata Ikhwan.
Sementara itu, posisi Anies yang berada di luar pemerintahan membuat eks Gubernur DKI Jakarta itu direpresentasikan sebagai antitesa Jokowi. Simbol itu muncul karena kelompok anti-Anies kerap menarasikan bahwa kebijakan Jokowi akan berakhir jika eks Mendikbud itu jadi presiden. Selain itu, Anies kerap dinarasikan sebagai bagian dari kelompok intoleran.
"Jadi narasi seperti ini yang kemudian terus dibangun oleh lawan politiknya Anies, jika terus-menerus digaungkan maka akan memperjelas perbedaan antara kelompok yang pro dan kontra terhadap Pak Jokowi, makanya Anis kerap dijadikan sebagai bakal capres antitesanya Pak Jokowi," kata Ikhwan.
Ikhwan lantas melihat bahwa suara Prabowo akan tergerus karena Anies fokus bertarung di suara Prabowo pada Pemilu 2019 lalu.
Di sisi lain, Ganjar akan semakin kuat karena narasi sebagai penerus Jokowi akibat kesamaan faktor pemilih, kedaerahan dan satu partai. Suara Ganjar akan semakin sulit terebut jika Jokowi terbuka dukung Ganjar di Pemilu 2024.
"Nah, ini yang kemudian menjadi rayuan terbesar Prabowo untuk disandingkan dengan Ganjar karena kalau disandingkan dengan Muhaimin Iskandar kecil kemungkinan Prabowo untuk mengeruk suara di wilayah Jawa, ini skema duet Prabowo dan Ganjar," kata Ikhwan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri