tirto.id - Konstelasi politik nasional kembali menunjukkan sinyal-sinyal tantangan berat. Sejumlah koalisi terlihat masih belum mampu mengusung paket bakal calon presiden dan wakil presiden dalam menghadapi Pemilu 2024 meski sudah membentuk poros koalisi.
Di kubu Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang digawangi Partai Golkar, PPP dan PAN misal, masih belum menentukan nama kandidat mereka, meski sudah mendeklarasikan maju bersama sejak 13 Mei 2022. Di KIB, setiap partai masih meyakini langkah mereka masing-masing dalam mengusung nama bacapres.
Misalnya, Golkar masih kukuh dengan upaya mendorong Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto sebagai bakal capres mereka hingga saat ini. Sementara mitra koalisinya, yakni PPP justru menyuarakan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo atau eks Gubernur DKI, Anies Baswedan sebagai bakal calon.
Plt Ketua Umum DPP PPP, Mardiono mengaku, parpol berlambang ka’bah itu belum menentukan, termasuk keputusan resmi daerah dalam penentuan bakal capres, meski ada beberapa daerah menyuarakan Anies atau Ganjar sebagai bakal capres mereka.
“Sampai saat ini tidak ada DPW PPP, yang berada dalam struktur itu, yang mengusulkan nama-nama sebagaimana yang sudah terkemuka di media secara resmi,” kata Mardiono usai dilantik sebagai utusan khusus di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (23/11/2022).
Mardiono mengaku, beberapa wilayah memang sudah mengusulkan agar Ganjar menjadi kandidat capres yang diusung PPP. Namun, Mardiono menegaskan, pengurus pusat akan mengumpulkan aspirasi dari berbagai lapisan kader PPP. Ia pun mengaku akan membahas dengan KIB setelah mendengar aspirasi dari daerah.
“Jadi ada beberapa wilayah, kalau tidak salah ada 14 wilayah mengusulkan [ke] DPP untuk bisa mencalonkan Pak Ganjar. […..] Sekali lagi kami akan bawa ke KIB, nanti harapan saya, ya kalau itu sama calonnya, ya sudah menjadi keputusan nanti,” pungkas Mardiono.
Lain halnya dengan Koalisi Indonesia Raya yang digawani Gerindra dan PKB. Teranyar, PKB mengancam akan memutuskan koalisi karena beredar kabar Prabowo Subianto akan maju bersama Ganjar Pranowo yang notabene kader PDIP.
Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar sebut, Koalisi Indonesia Raya akan bubar bila Prabowo memilih pasangan lain dalam proses pencalonan presiden di Pemilu 2024. Hal itu sebagai bentuk tanggapan atas hasil sejumlah survei yang memasangkan Prabowo dengan Ganjar.
“Saya akan bikin komposisi lain,” kata Muhaimin di Gedung DPP PKB, Jakarta Pusat pada Senin (21/11/2022).
Pria yang karib disapa Cak Imin itu mengakui bahwa masih ada tantangan dalam membangun komunikasi deklarasi. Salah satu alasan adalah kedua ketua umum partai, baik Prabowo dan Cak Imin yang sama-sama ingin menjadi bakal capres 2024.
Saat disinggung soal siasat dan rencana politik PKB bila batal berkoalisi, Muhaimin masih menutup rapat. Ia tidak mau menjawab apakah masih bertahan dalam Koalisi Indonesia Raya atau mencari koalisi lain.
“Kita lihat nanti,” kata pria yang juga Wakil Ketua DPR itu.
Sikap PKB langsung direspons Sekjen DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Ia sebut Prabowo dan Cak Imin sama-sama menghendaki maju menjadi calon presiden. Oleh karenanya belum ada keputusan final terkait koalisi tersebut soal nama bakal capres atau cawapres yang akan maju di Pemilu 2024.
“Sampai sekarang keduanya belum berunding untuk memutuskan calon presiden apalagi calon wakil presiden,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada 21 November 2022.
Meski demikian, Muzani menjamin tidak ada keretakan di antara mereka. Karena kedua partai sudah diikat dalam piagam deklarasi yang ditandatangani pada 13 Agustus 2022.
“Kedua partai ini mengikatkan diri satu sama lain dalam kerja sama politik di Pilpres 2024 untuk menentukan pasangan capres dan cawapres,” kata dia.
Selain itu, Prabowo saat ini dianggap meraih dukungan dari Presiden Joko Widodo. Menyikapi hal itu, Muzani menyebut dukungan Jokowi kepada Prabowo sebagai bentuk dorongan agar koalisi Gerindra dan PKB segera mendeklarasikan nama capres dan cawapres.
“Ya saya kira antara akhir atau awal tahun, antara itu, saya kira itu batas yang baik,” ujarnya.
Di faksi lain, poros Partai Nasdem, PKS dan Demokrat juga mengalami masalah. Meski sama-sama satu sikap mendukung Anies Baswedan sebagai bakal capres, tapi masih belum satu suara. Hal itu tidak terlepas dari tarik-menarik internal koalisi dalam penentuan cawapres untuk Anies.
Sebagai contoh, kader Partai Demokrat, Andi Arief meminta Nasdem konsisten dengan hubungan serta pergerakan di dalam Koalisi Perubahan bersama Demokrat dan PKS. Andi menuding Nasdem kerap mengumbar harapan kepada banyak pihak untuk menjadi cawapres Anies.
“Jangan setiap bertemu figur di luar PKS dan Demokrat, Nasdem menawarkan sana-sini,” kata Andi.
Andi meminta Nasdem agar berdisiplin dalam berkoalisi, tidak terpengaruh oleh pihak lain terutama dari Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Presiden Jokowi. “Sebaiknya konsentrasi saja pada apa yang sudah dibicarakan di koalisi. Bulatkan saja tekad bahwa Nasdem bergabung bersama PKS dan Demokrat di jalur perubahan,” kata dia.
Pernyataan Andi lantas dijawab Wakil Ketua Umum Partai Nasdem, Ahmad Ali. Ia sebut pihaknya merasa belum perlu melaksanakan disiplin koalisi dengan Partai Demokrat dan PKS. Karena ketiga partai tersebut belum melakukan deklarasi secara resmi.
“Memangnya Demokrat sudah berkoalisi sama Nasdem? Memangnya Demokrat sudah secara resmi mendukung untuk mengusung Anies?" kata Ali saat dihubungi awak media pada Jumat (18/11/2022).
Ali meminta Demokrat untuk tidak membuat aturan koalisi yang terlalu kaku dan ketat. Nasdem tidak ingin diatur-atur dalam proses demokrasi.
Anies pun sampai turun tangan untuk menenangkan tensi koalisi. Anies mengumumkan kriteria cawapresnya dalam Pemilu 2024. Dalam keterangan itu, Anies mengaku akan berupaya membantu pemenangan partai. Sementara itu, dari sisi cawapres, Anies sebut tidak ingin buru-buru. Ia bahkan menyinggung bagaimana momen last minute menjadi hal yang lazim dalam penentuan cawapres.
“Dalam sejarah pemilu penentuan pasangan tidak pernah dilakukan 1,5 tahun sebelumnya. Pasti dilakukan mepet sebelum pendaftaran KPU,” kata Anies.
Anies menambahkan, “Karena pada saat itulah kita sudah tahu siapa yang dalam koalisi. Kedua kita tahu siapa kompetitor dan dengan siapa akan berkompetisi, dari situ kita menemukan kombinasi yang tepat."
Koalisi yang Ada Kenapa Sulit Deklarasi Capres-Cawapres?
Direktur Eksekutif Lembaga Riset Median, Rico Marbun menilai, situasi koalisi yang terbentuk lama tetapi belum ada pengumuman capres tidak lepas dari dua efek utama. Pertama adalah efek presidential threshold (PT) yang tinggi. Kedua adalah waktu pendaftaran yang masih lama mencapai 1 tahun yakni Oktober atau November 2023.
“Akibat PT ketinggian, partai dan kandidat harus bersusah payah membentuk koalisi banyak partai untuk maju dan karena terdiri atas banyak partai, negosiasi pun makin alot (seperti) posisi capres-cawapres, hak dan kewajiban dan lain-lain,” kata Rico kepada Tirto.
Menurut Rico, situasi itu membuat banyak koalisi memunculkan status 'pincang' seperti ada capres, tapi belum ada cawapres atau ada koalisi, tapi kandidat masih 'goib'.
“Kedua karena waktu masih panjang dan juga tidak ada elektabilitas yang dominan, akhirnya semua yakin bahwa suara bisa berubah anytime dan bisa rugi untuk deklarasi cepat-cepat,” kata Rico.
Rico menambahkan, kondisi saat ini bukan capres yang memanfaatkan koalisi partai, tetapi partai yang ingin mencari coattail effect dari bakal capres.
Rico juga mengatakan, tidak menutup kemungkinan koalisi saat ini berubah. Ia menduga, koalisi dengan anggota partai lebih dari satu partai akan rentan berubah karena pengelolaan kepentingan menjadi kompleks. Hal ini akan berimbas pada banyaknya kandidat paslon yang bisa diajukan.
Jika terjadi perubahan kandidat, ia menilai rakyat akan merugi karena mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapat kandidat yang beragam untuk calon pemimpin. Kemudian, partai juga merugi karena mereka membuang kesempatan politik yang dinilai baik.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Power, Ikhwan Arif mengakui, permasalahan kesulitan koalisi menentukan capres-cawapres tidak lepas dari masalah internal maupun eksternal koalisi.
“Dari internal koalisi ada proses distribusi kepentingan politik yang belum mencapai porses pengambilan keputusan, ini disebabkan oleh banyaknya nama-nama yang akan diusung masing-masing partai,” kata dia kepada reporter Tirto.
Menurut dia, kalua tidak ada yang mengalah dan tidak mencapai kesepakatan, maka koalisi terancam bubar. “Ada deal-deal politik yang belum tuntas dari internal partai koalisi,” kata Arif.
Sedangkan dari sisi eksternal, kata Arif, faktor tersebut terjadi karena sebagian partai koalisi bergabung dalam koalisi pemerintahan. Partai koalisi yang terbentuk tidak berani mendeklarasi capres-cawapres demi menjaga sikap dalam koalisi pemerintah.
Di sisi lain, dari faktor elektabilitas, koalisi yang tergantung lebih bergantung pada elektabilitas figur. Oleh karena itu, deklarasi akan tergantung pada elektabilitas kandidat yang akan mereka usung.
“Jadi ketergantungan koalisi pada nilai elektabilitas calon menjadi hambatan untuk mendeklarasikan calon, apalagi tokoh atau figur koalisi yang nilai elektabilitasnya lebih rendah dari figur yang sering menduduki posisi teratas dari beberapa lembaga survey,” kata dia.
Arif melihat, sejumlah koalisi rentan mengalami perubahan komposisi koalisi. Misal, kata Arif, KIB bisa berubah karena Gerindra berpotensi tergoda untuk mengikat figur lain, seperti Ganjar atau Erick Tohir yang notabene dekat dengan Jokowi.
Ia juga melihat KIB rentan untuk berubah jika anggota mendeklarasikan nama-nama di luar koalisi mereka, meski Airlangga adalah salah satu kandidat terkuat di KIB.
Lagi-Lagi Koalisi dan Capres akan Terbentuk Last Minute?
Selain itu, Arif juga melihat potensi perubahan bakal capres. Menurut dia, ada potensi komposisi koalisi serta capres-cawares pada menit terakhir. Ia beralasan, sistem multipartai yang dianut Indonesia menyulitkan dalam upaya konsolidasi untuk penentuan pasangan kandidat.
Saat ini, kata Arif, ada pergeseran karena koalisi terbentuk leih dulu sehingga narasi politik membuat ruang baru dalam kontestasi Pemilu 2024.
Lalu, siapa yang mungkin jadi capres last minute dan ada berapa poros? Arif memprediksi ada partai yang akan memainkan kondisi last minute demi kepentingan maju. Ia pun melihat setidaknya ada 3 poros meski ada potensi 4 poros.
“Akan ada capres last minute, Ganjar Pranowo akan menjadi capres alternatif karena jadi rebutan elektabilitasnya tinggi, peta koalisi yang akan terbentuk, Prabowo-Puan, Aneis-AHY dan Ganjar-Airlangga,” kata Arif.
“Kalau seandainya 4 poros, koalisi pertama Prabowo- Muhaimin Iskandar, koalisi kedua Airlangga-Ridwan Kamil, koalisi ketiga Anies-AHY dan koalisi keempat Puan-Ganjar,” tutur Arif.
Hal senada diungkapkan Rico. Ia juga melihat bahwa ada potensi pendaftaran dengan konsep last minute. Ia menilai, pendaftaran last minute bisa sebagai salah satu upaya untuk mengalahkan salah satu kandidat secara dini.
Dalam pandangan Rico, berdasarkan data survei Median, setidaknya ada 3+ 1 capres tambahan, yakni Prabowo lawan Anies dan Ganjar ditambah Puan bersama pasangannya. Ia menilai, tiga kandidat, Prabowo, Ganjar dan Anies memiliki elektabilitas tidak jauh sehingga masih saling bersaing.
Sementara itu, kata Rico, Puan berpotensi maju karena punya tiket penuh dari PDIP. Namun, kata dia, Puan harus menggandeng figur potensial seperti Sandiaga Uno maupun Andika Perkasa.
Lantas siapa yang paling rawan? Rico menduga koalisi perubahan paling rentan untuk berubah di last minute.
“Yang lebih rawan dan terbuka, kan, sekarang ini pasangan yang katanya akan didukung oleh Nasdem, Demokrat dan PKS. Salah satu antara Demokrat atau PKS bisa tidak jadi mendukung Anies bila negosiasi dan komunikasi tentang pendamping menemui jalan buntu," kata Rico.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz