tirto.id - Pemerintah terus mematangkan rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu. Terbaru, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengatakan, Perppu Pemilu mulanya dihadirkan untuk mengakomodasi pemekaran 4 daerah otonomi baru (DOB), tapi terdapat usulan terkait nomor urut parpol agar tak diundi.
“Iya bukan substantif, tapi kalau memang disepakati KPU, Bawaslu, DKPP dan Komisi II DPR, kenapa pemerintah enggak sepakat? Pendapat saya itu baik juga,” kata Tito di Gedung DPR RI pada Kamis (17/11/2022).
Sebagai catatan, permintaan agar nomor urut parpol tidak perlu diundi itu sempat diusulkan oleh Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri. Kemudian, usulan itu dilanjutkan dan disebut akan diakomodir dalam Perppu Pemilu yang disiapkan pemerintah.
Mantan Kapolri itu mengaku, pembicaraan mengenai usulan lain dalam Perppu Pemilu masih dalam level teknis. Tito mendorong ada pembicaraan lebih lanjut baik dalam level penyelenggara pemilu, Komisi II DPR dan pemerintah.
“Itu masih di tingkat teknis, tapi saya harus bicarakan di tingkat pemerintah," ujarnya.
Pembentukan Perppu Pemilu dihadirkan karena ada sejumlah perubahan dalam Pemilu 2024. Seperti jumlah anggota DPR dan DPD RI yang bertambah karena mengakomodasi keterwakilan dari 4 Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua. Tito menambahkan opsi Perppu dipilih agar pembahasan tidak melebar pada isu lainnya.
“Kalau revisi [UU Pemilu] bisa melebar ke mana-mana karena dibahas secara lebih terbuka. Tapi kalau Perppu itu pemerintah yang mengajukan poin-poinnya yang berkaitan dengan DOB dan tidak melebar ke yang lain,” ungkapnya.
Tito mengungkapkan dengan adanya Perppu Pemilu, maka kewenangan DPR akan semakin berkurang karena hanya memiliki dua pilihan menerima atau menolak.
Tidak Menyentuh Kebutuhan Rakyat
Pemerhati pemilu dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, Perppu Pemilu sebaiknya dikeluarkan ketika kebutuhan mendesak. Alasan mengakomodasi DOB Papua maupun nomor pemilu masih belum urgen, apalagi tahapan pemilu sudah berjalan.
“Perppu itu memang diperuntukkan pada hal yang sifatnya mendesak saja, dan menyelesaikan kebuntuan hukum. Untuk hal itu, sebetulnya, kan, hanya untuk menyelesaikan persoalan DOB saja. Soal nomor urut, itu sudah menjadi bagian tahapan yang sedang berjalan, dan dipersiapkan oleh KPU. Tidak perlu diubah sekarang. Kalau mau diubah, pemilu nanti saja karena tahapannya sudah berjalan,” kata Fadli kepada reporter Tirto, Jumat (18/11/2022).
Fadli beranggapan, Perppu dengan penetapan nomor urut sesuai pemilu sebelumnya tidak ada urgensinya. Ia menilai hal itu justru memicu ketidakadilan kepada para peserta pemilu baru karena unsur eksistensi partai yang sudah terbentuk.
Di sisi lain, Fadli mengakui bahwa UU Pemilu saat ini memiliki banyak kelemahan. Akan tetapi, ia mengingatkan tahapan pemilu sudah dimulai sehingga idealnya adalah pemilu tetap berjalan dengan sistem yang sudah berjalan. Ia khawatir kehadiran Perppu malah mengganggu pelaksanaan pemilu demi mengakomodir DOB dan soal nomor urut.
“Kalau kelemahannya banyak. Tapi, kan pilihan politik pembentuk UU melepas kesempatan mengubahnya. Sekarang pemilunya sudah berjalan. Kalau untuk kepastian hukum pelaksanaan pemilu, UU sekarang bisa berjalan,” kata Fadli.
Fadli menambahkan, “Kalau saya, dalam konteks yang sangat ideal, DOB baru tidak perlu melaksanakan pemilu dulu. Karena ini tahapan pemilu sudah berjalan, dan ada persiapan yang tidak mudah bagi DOB baru. Tapi jika memang akan melaksanakan pemilu di DOB baru, ya mau tidak mau, memang perlu perubahan UU Pemilu, terutama soal dapil dan alokasi kursi,” kata Fadli.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari. Ia mengatakan Perppu tidak dibutuhkan jika alasan yang digunakan hanya mengakomodir DOB dan nomor urut. Sebab hal itu tidak memenuhi kriteria untuk dikeluarkannya sebuah Perppu.
Feri mengatakan, ketentuan Perppu setidaknya harus memenuhi 3 syarat. Pertama, Perppu harus mengisi kekosongan hukum. Kedua, Perppu dikeluarkan karena hukum yang ada tidak menyelesaikan masalah. Ketiga, Perppu dikeluarkan karena ada kebutuhan kecepatan undang-undang.
“Nah, dalam konteks ini tidak terpenuhi tiga syarat itu. Satu, ketika dinyatakan kekosongan hukum bagaimana mungkin ada kekosongan hukum jika sebenarnya pembentuk undang-undang punya kesempatan, ya memenuhi kekosongan itu ketika membahas Undang-Undang DOB. Kan, harusnya sudah selesai,” kata Feri kepada Tirto.
Sementara itu, unsur tidak ada kekosongan hukum tidak diperlukan karena undang-undang mengenai otonomi baru dibentuk. Syarat ketiga, kata Feri, juga tidak terpenuhi karena pembahasan DOB memakan waktu lama dan sempat ditunda.
Menurut Feri, seharusnya pemerintah tidak memaksakan penerapan DOB masuk pada Pemilu 2024. Ia mengingatkan, dulu Kalimantan Utara baru melaksanakan pemilu di momen selanjutnya. Feri tidak memungkiri bahwa penerbitan Perppu hanya untuk menguntungkan elite dan tidak mengakomodir kepentingan publik.
Hal tersebut, kata dia, justru mengarah pada kejahatan pemilu dan masalah perebutan kursi. “Kan DOB akan otomatis jumlah kursi bertambah untuk mengakomodasi terbentuknya daerah. Partai-partai akan menghitung berapa kursi mereka bertambah yang berkorelasi dengan syarat pencalonan presiden di masa depan. Fraud dalam pemilu juga berkaitan dengan rekayasa daerah pemilihan,” kata dia.
Feri menambahkan, Perppu tidak mengakomodir urgensi kepentingan publik dalam isu yang menjadi atensi publik. Sebagai catatan tidak sedikit masyarakat dan partai politik berupaya menggugat UU Pemilu. Salah satu poin yang dibahas adalah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
“Ya berkaitan, tapi untuk Pemilu 2029 sebab hasil Pileg 2024, kan, dihitung untuk PT 2029," kata Feri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz