Menuju konten utama
Presidensi G20 Indonesia

Menakar Efektivitas Dana Pandemi Hasil KTT G20 Bali

Pengelolaan Dana Pandemi dan keberlanjutan kontribusi dari pendonor harus dipastikan berjalan efektif agar tepat guna atasi krisis pandemi di masa depan.

Menakar Efektivitas Dana Pandemi Hasil KTT G20 Bali
Presiden Joko Widodo menyampaikan hasil KTT G20 kepada wartawan di Media Center, BICC, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (16/11/2022). ANTARA FOTO/Media Center G20 Indonesia/Aditya Pradana Putra/nym.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya meresmikan Dana Pandemi (pandemic fund) dunia pada Minggu (13/11/2022). Ia kembali mengingatkan soal dampak pandemi COVID-19 yang mengganggu ekonomi dunia. Menurutnya, kasus COVID-19 harus jadi pelajaran agar tidak ada gangguan pada ekonomi.

Dalam sambutannya secara secara daring, Minggu (13/11/2022), Jokowi menyatakan, dunia tengah menghadapi disrupsi berat dalam 3 tahun terakhir. Oleh karena itu, pandemi di masa depan tidak boleh mengganggu dunia seperti COVID-19.

"Pandemi tidak boleh lagi memakan korban jiwa, pandemi tidak boleh lagi meruntuhkan sendi-sendi perekonomian global. Dengan semangat itu lah presidensi Indonesia di G20 terus mendorong penguatan arsitektur kesehatan global untuk mewujudkan sistem kesehatan global yang lebih handal terhadap krisis," ujarnya.

Urgensi Dana Pandemi

Co Chair The Pandemic Fund, Chatib Basri menuturkan, berbagai urgensi yang mendorong Indonesia mengambil langkah inisiatif dalam pembentukan Dana Pandemi. Salah satunya karena kondisi pembiayaan global belum sepenuhnya mampu memberikan keamanan dari pandemi.

"Dalam situasi ini, partisipasi pembiayaan masih sangat lemah. Itulah mengapa kita harus membuat seperti institusi untuk menangani masalah ini," ujarnya di Nusa Dua, Bali, dikutip Senin (14/11/2022).

"Itu alasan kenapa pengembangan Pandemic Fund ini dapat menjembatani isu keberlanjutan pembiayaan juga memperhatikan masalah pandemi di sisi lainnya," katanya.

Mantan Menteri Keuangan itu menjelaskan WHO berperan sangat penting dalam kesehatan global. Namun, organisasi kesehatan dunia tersebut bukan lembaga pembiayaan, karena itu perlu kolaborasi dengan institusi seperti World Bank dan lainnya.

Dalam media luncheon bertajuk "Communicating Global Health: Time for New Approaches" di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali pada Senin (14/11/2022), Executive Director & Co-Founder Pandemic Action Network Eliose Todd memaparkan bahwa pandemi terhubung dengan semua krisis. Untuk aspek iklim misalnya, 75 persen dampak penyakit menular berasal dari spesies liar akibat pembukaan lahan keanekaragaman hayati.

“Ancaman pandemi di masa depan menjadi sangat besar,” ujar Todd.

Sementara itu, Director for Global Health Diplomacy Joep Lange Institute Christoph Hermann Benn menambahkan ada banyak ancaman penyakit memengaruhi khususnya orang miskin di negara berpenghasilan rendah. Saat pandemi, orang miskin terdampak, pemerintah negara miskin punya kesulitan besar.

“Dengan Pandemic Fund, kami berharap tidak ada yang terlewat. Institusi kesehatan global pemerintah dan swasta bekerja sama untuk mendapatkan pelayanan terbaik,” lanjut Benn dalam kesempatan yang sama.

Mekanisme pendanaan pandemi ini juga dapat digunakan untuk menjangkau pembangunan laboratorium dan arsitektur kesehatan lain yang dibutuhkan negara.

Kalau berhasil, lanjut Benn, ini langkah tepat untuk menjadikan dunia ini lebih aman, terutama negara miskin.

Komitmen Panjang yang Harus Dijaga

Berdasarkan hasil studi organisasi kesehatan dunia (WHO), dunia membutuhkan setidaknya 31,1 miliar dolar AS setiap tahun untuk menjaga sistem ketahanan dunia termasuk di antaranya jika terjadi pandemi. Sementara komitmen Dana Pandemi yang baru terkumpul sejauh ini sebesar 1,4 miliar dolar AS atau hanya 10 persen dari target yang berasal dari 24 pendonor.

Ke-24 donatur, yaitu anggota G20, negara non G20, dan termasuk tiga lembaga filantropis dunia. 24 pendonor tersebut antara lain: Afrika Selatan, Australia, Arab Saudi, AS, Cina, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Komisi Eropa, Korea, Norwegia, Prancis, Selandia Baru, Singapura, Spanyol, Uni Emirat Arab (UEA), The BIll & Melinda Gates Foundation, The Rockefeller Foundation, dan Wellcome Trust.

Kendati terlihat ideal, Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) menilai masih banyak "pekerjaan rumah" (PR) yang harus diselesaikan G20 agar Dana Pandemi ini mampu menjamin ketahanan kesehatan bagi semua, bisa terjadi, dan tercapai.

CISDI menekankan peran publik serta masyarakat sipil adalah krusial dan dibutuhkan untuk memastikan pengawasan terhadap penggunaan Dana Pandemi dapat berjalan baik dan transparan.

"Pendanaan pandemi hingga saat ini masih bergantung pada kontributor tradisional. Hal ini mengakibatkan dana baru yang terkumpul sebesar 1,4 miliar dolar AS atau hanya 10 persen dari keseluruhan target yang dicanangkan dalam Pandemic Fund,” ujar CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih.

Kekhawatiran Diah beralasan, lantaran tidak semua kontributor menandatangani kerja sama jangka panjang, baik dalam siklus kontribusi tiga maupun lima tahunan. Sehingga keberlanjutan pendanaan ini dipertanyakan.

Kekhawatiran yang sama juga diungkapkan GPI Progamme Director Equal International Khalil Elouardighi. Ia berharap agar semua pihak, baik negara maju maupun miskin ikut berkontribusi.

“Semua orang setara, tidak ada lagi dana dari negara kaya atau miskin. Jadi semua berkontribusi, negara kaya memberi banyak dapat sedikit, negara miskin memberi sedikit dapat banyak,” kata Elouardighi, Senin (14/11/2022), di Bali.

Mirisnya, lanjut Elouardighi, banyak negara kaya yang tidak berkontribusi, padahal dunia butuh perlindungan dari semua negara. Hal ini tentunya berdampak pada semua dana yang dikumpulkan.

“Kami sangat senang Indonesia bangkit dan meluncurkannya di G20, kita harap ada leadership lebih besar,” tandasnya.

Indonesia sendiri memang berkomitmen menyumbang setidaknya 50 juta dolar AS atau Rp740 miliar dalam Dana Pandemi melalui sumber pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Menurut Diah, memberikan komitmen finansial tambahan untuk kesehatan global bukanlah sebuah langkah yang biasa diambil oleh Indonesia.

"Oleh karenanya perlu pelibatan masyarakat sipil untuk mengawal bagaimana kontribusi ini akan diterjemahkan ke depannya. Selain itu, peran masyarakat sipil diperlukan dalam proses pengambilan keputusan guna memastikan pandemic fund merefleksikan semangat inklusi dan kesetaraan agar pendanaan bisa bermanfaat dan mencapai negara-negara hingga komunitas-komunitas yang membutuhkannya," ucap Diah.

Namun menurut Herman Benn, kontribusi Indonesia dengan merogoh hingga Rp740 miliar tersebut justru dapat menguntungkan posisi Indonesia di kemudian hari jika menghadapi ancaman kesehatan.

“Jangan pikirkan pemerintah buang pajak. Indonesia bakal dapat manfaat, kalau memberi 10 juta dolar akan dapat dana global sekiranya 20 kali lipat.

“Indonesia akan dibantu isu kesehatan lainnya seperti malaria. Kalau Indonesia memberi 15 juta dolar untuk Pandemic Fund, Indonesia bakal dapat pertahanan dan manfaat. Indonesia bisa jadi teladan negara lain,” papar Benn.

Hanya Solusi Parsial

Dengan sederet urgensinya tersebut, namun bukan berarti Dana Pandemi lantas menjadi solusi komprehensif dalam mengatasi ancaman pandemi di masa depan.

Menurut CISDI, Dana Pandemi harus fokus pada pembangunan dan peningkatan kapasitas, serta resiliensi sistem kesehatan. Meskipun prioritas penggunaan dana di tahap pertama belum mencapai tercapai sesuai target yang diharapkan, rencana tata kelola dan operasional dari pendanaan ini tetap harus disiapkan.

"Belajar dari pandemi, transformasi layanan kesehatan primer, yang belum secara spesifik disebutkan dalam prioritas area untuk menerima pendanaan dari Pandemic Fund, serta masukan dari berbagai komunitas sesuai kebutuhan, harus menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan prioritas ranah pembiayaan yang akan ditetapkan," tutur Diah.

Belum lagi menyoal timpangnya kapasitas layanan kesehatan primer, yang merupakan catatan utama WHO, World Bank, dan GAVI sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya cakupan vaksinasi di negara-negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah terhadap negara berpenghasilan tinggi.

Oleh karena itu, penetapan prioritas Pandemic Fund membutuhkan konsultasi dan partisipasi penerima manfaat untuk dapat merepresentasikan kebutuhan mereka dan tidak berisiko mengulang kembali ketidakadilan struktural pembiayaan kesehatan global.

Diah menambahkan, belajar dari pengalaman global fund, saat ini sulit untuk bisa merujuk pada sebuah mekanisme pendanaan yang berasal dari tingkat global bisa terlaksana dan digunakan oleh negara hingga mencapai komunitas.

Oleh karena itu, dibutuhkan landasan prinsip nilai yang disepakati bersama dengan semangat inklusi dan kesetaraan agar pendanaan bisa bermanfaat dan mencapai negara-negara hingga komunitas-komunitas yang membutuhkannya.

Hal senada juga disampaikan Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono. Negara G20 perlu berkaca pada pengalaman global fund yang sudah bertahun-tahun mengatasi tuberkulosis, disentri dan malaria namun tak kunjung berjalan dengan pesat kendati memiliki anggaran yang luar biasa.

Dana Pandemi, menurut Pandu, merupakan solusi parsial yang tak serta merta menjawab kesiapsiagaan ancaman pandemi di masa depan. Perlu ada skema agar dana tersebut dapat dipakai secara efektif.

“Bisa saja dananya ada tapi tidak diserap efektif atau bisa saja dikorupsi. Problem negara-negara berkembang kan korupsi. Jadi perlu ada komitmen. Misal, kalau global fund itu kan punya audit internasional,” jelas Pandu, Kamis (17/11/2022).

Baca juga artikel terkait PANDEMIC FUND atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Gilang Ramadhan