tirto.id - Aturan ambang batas calon presiden kembali digugat. Kali ini, eks Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo yang menggugat Pasal 222 Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ia meminta agar pasal tersebut batal dan dinyatakan tidak berlaku.
“Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petitum gugatan dengan nomor 63/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021 sebagaimana diakses Tirto di laman MK, Selasa (14/12/2021).
Gatot menggandeng Refly Harun sebagai kuasa hukumnya. Dalam berkas permohonan tersebut, Refly mengutip berbagai hal sebagai dalil permohonan. Mulai dari putusan uji materi pasal yang sama oleh eks Menko Kemaritiman Rizal Ramli [PDF] serta mengutip isi Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi sebagai alas hukum untuk menguji lagi pasal tersebut karena sudah diuji hingga 13 kali.
Ia juga mengutip pendapat sejumlah tokoh publik seperti pernyataan Rizal Ramli yang ditawari parpol dengan harga Rp1 triliun, mengutip pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri soal presidential threshold perlu dihapus. Refly juga mengutip pernyataan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Hamdan Zoelva, anggota DPR Fadli Zon, Wakil Ketua MPR Syarief Hasan, dosen hukum UGM Zainal Arifin, dosen hukum Universitas Andalas Fery Amsari hingga pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro serta Hendri Satrio dari KedaiKOPI, dan pengamat pemilu Titi Anggraeni.
Uji materi soal presidential threshold memang sudah beberapa kali dilakukan sebagaimana pernyataan Refly. Terkini, selain Gatot, dua orang lain mengajukan gugatan serupa pada pasal yang sama, yakni Bustamin Zainuddin dan Fachrul Razi yang merupakan anggota DPD RI, serta Ferry Juliantono (kader Partai Gerindra).
Pada gugatan Bustamin dan Fachrul [PDF], mereka menyoalkan Pasal 222 dengan dasar dalil adalah pemberlakuan presidential threshold berpotensi menghilangkan kesempatan putra-putri terbaik daerah untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden (hlm 6). Mereka menilai Pasal 222 UU 7/2017 melanggar pasal 6 ayat 2, pasal 6A ayat 2 dan pasal 6A ayat 5 UUD 1945.
Mereka juga mengutip pernyataan Ketua DPD RI 2019-2024 La Nyalla Mahmud Mattaliti bahwa presidential threshold lebih banyak mudarat dengan mengutip 4 argumentasi La Nyalla. Kedua pemohon yang juga menunjuk Refly Harun sebagai kuasa hukum juga mendalilkan soal perubahan pandangan Mahkamah Konstitusi soal Pasal 222.
Di sisi lain, Ferry menggunakan batu uji permohonan sebagaimana Pasal 28J ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 [PDF]. Ia memfokuskan pada dalil bahwa pemberlakuan presidential threshold tidak hanya bertentangan UUD 1945, tetapi juga menjadi ajang demokrasi kriminal (atau demokrasi berbayar) dan pangkal perpecahan anak bangsa.
Ferry, yang juga menunjuk Refly Harun sebagai kuasa hukum, menggunakan acuan perbedaan pandangan (dissenting opinion), daftar putusan berkaitan dengan Pasal 222, serta pasal-pasal di UUD 1945 (yaitu Pasal 6 ayat 2, Pasal 6A ayat 2, Pasal 6A ayat 3, Pasal 6A ayat 4, Pasal 6A ayat 5, Pasal 22E ayat 1, Pasal 28D ayat 1, Pasal 28D ayat 3, Pasal 28J ayat 1 dan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945). Ia pun merujuk pandangan lembaga survei, ahli hukum, pimpinan maupun anggota lembaga serta organisasi kemasyarakatan soal ambang batas presidensial.
Aturan Presidential Threshold Memang Bermasalah?
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengakui bahwa presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU 7 tahun 2017 bermasalah. Ia sebut, Perludem sudah dua kali menguji pasal tersebut sejak 2017. Mereka beralasan, aturan itu tidak sesuai dengan pemilu Indonesia.
“Tujuannya (menguji materi sejak 2017) memang kami menganggap ketentuan ambang batas ini tidak sesuai dengan norma yang ada di konstitusi soal pencalonan presiden. Lebih taktis lagi, ini tidak penting lagi, karena akan menghambat munculnya lebih banyak alternetif calon presiden di dalam pemilu,” kata Fadli kepada reporter Tirto, Selasa (14/12/2021).
Menurut Fadli, ambang batas presiden harus dihapus dan diganti dengan ambang batas maksimal partai yang bisa mengajukan kandidat capres-cawapres. Ia beralasan, konsep ambang batas maksimal partai penting untuk menghindari praktik borong dukungan partai dan menghindari calon tunggal.
Konsep ambang batas maksimal partai akan membuat koalisi partai akan lebih mengarah kepada isu program daripada masalah transaksional. Ia mencontohkan, jumlah parpol yang boleh mengusung paslon hanya 2 atau 3 parpol.
Ia menuturkan, konsep Indonesia dalam pencalonan presiden hampir tidak diusung di berbagai negara. Di negara-negara lain justru mengatur soal ambang batas keterpilihan atau kemenangan. Hal itu sendiri sudah diatur sesuai Pasal 6A Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa paslon bisa dilantik sebagai presiden, jika meraih suara 50% plus 1, dan suara itu tersebar di setengah jumlah provinsi, dengan suara minimal 20%. Jika itu tidak dipenuhi, maka dilaksanakan pemilihan putaran 2 oleh pemenang pertama dan kedua.
Kini, tantangan pengajuan uji materi presidential threshold tidak terbatas pada soal pasal, tetapi pada arugmen yang dibawa ke MK karena MK sudah berkali-kali memutus permohonan atas pasal tersebut.
Oleh karena itu, Fadli berharap pada permohonan uji materi kali ini, MK memperhatikan kondisi publik dan mau memberikan putusan penting soal ambang batas yang tidak dibutuhkan Indonesia.
“Kita masih berharap, MK betul-betul melihat ketentuan ambang batas ini menimbulkan mudaratnya. Semisal keterbelahan dan polarisasi di masyarakat sebagai akibat dibatasinya pencalonan presiden oleh partai. Makanya, kita berharap, ketentuan ini bisa dibatalkan oleh MK," kata Fadli.
Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri memandang presiden threshold tidak diperlukan di sistem politik Indonesia. Ia beralasan, sistem presidensial threshold justru memperkuat sistem presidensil.
“Dalam konteks pemilu serentak di mana pileg dijalankan bersamaan dengan pilpres, maka presidential threshold menjadi tidak relevan dan justru berisiko untuk upaya penguatan presidensialisme," kata Putri saat dihubungi reporter Tirto.
Putri mencontohkan, presidential threshold pada Pilpres 2024 menggunakan hasil Pileg 2019. Pemilihan tidak masuk akal karena hasil pileg 2019 dipakai sebagai preferensi Pilpres 2024 yang notabene karakter pemilih berubah dalam 5 tahun.
“Misalnya, konteks politik 2019, seoarang pemilih memilih partai A, kemudian lima tahun kemudian merasa kecewa dengan partai A atau merasa partai lain performanya lebih baik, maka kemudian mengganti pilihannya, tetapi kemudian presidential threshold malah tetap memaksakan pakai hasil riset yang lalu, jelas tidak logis," kata perempuan yang juga kandidat Phd Kyoto University ini.
Contoh lain adalah tidak adanya efek ekor jas atau harapan kekuatan parlemen cukup positif. Namun situasi publik yang berbeda bisa memicu gangguan pada politik pemerintah. Di sisi lain, kata dia, parpol yang justru dapat untung dari sistem presidential threshold.
“Dampak dari presidential threshold ini tentunya kondisi di mana partai besar yang menang dalam pemilu sebelumnya punya keleluasaan lebih besar membawa nama calon dalam pilpres," kata Putri.
Putri mendorong agar presidential threshold dihapus. Ia mengatakan, "Seharusnya presidential threshold ditiadakan. Pencalonan berbasis hasil pileg sebelumnya tidak relevan dan patut ditiadakan.”
Opsi lain, kata dia, adalah penetapan calon berbasis platform koalisi partai dan capres sebagai satu paket. Dengan demikian, beberapa partai dapat mengusung capres berbasis kesamaan program yang ingin diusung sebagai kebijakan, dan koalisi ini beserta calon presiden akan terus terikat hingga kebijakan yang menjadi platform bersama hingga selesai.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz