Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Elektabilitas Ganjar di Atas Prabowo, Akan Mengulang Pilpres 2014?

Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo disebut kandidat kuat capres 2024 versi survei Poltracking. Akan mengulang Pilpres 2014?

Elektabilitas Ganjar di Atas Prabowo, Akan Mengulang Pilpres 2014?
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kanan) berbincang dengan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini (kiri) saat berkunjung di kawasan Makam Presiden Soekarno, Kota Blitar, Jawa Timur, Minggu (24/10/2021). ANTARA FOTO/Irfan Anshori/foc.

tirto.id - Bakal calon presiden (capres) untuk Pilpres 2024 mulai terlihat. Saat ini, setidaknya ada 3 nama kandidat capres yang akan menjadi suksesi Presiden Jokowi periode 2024-2029. Ketiga nama tersebut adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Nama Prabowo, Anies, dan Ganjar sebagai kandidat kuat terungkap dalam hasil survei Poltracking Institute. Dalam survei nasional periode 3-10 Oktober 2021 dengan 1.220 responden dan margin error 2,8 persen, Poltracking mencatat nama Ganjar dan Prabowo bersaing tipis dalam soal elektabilitas.

Ganjar berada pada angka 18,2 persen, sementara Prabowo berada di angka 17,1 persen. Peringkat ketiga ditempati Anies Baswedan dengan angka 10,2 persen. Setelah nama Anies, elektabilitas kandidat lain terpaut jauh seperti Ridwan Kamil (2,4 persen), Khofifah Indar Parawansa (2,1 persen), Sandiaga Uno (1,7 persen), Puan Maharani (1,5 persen), Agus Harimurti Yudhoyono (1,3 persen) dan Airlangga Hartarto (0,5 persen).

Nama Ganjar pun lebih terpilih daripada Prabowo bila responden ditanya dengan simulasi hanya 15 kandidat. Ganjar berada di atas Prabowo dengan angka 22,9 persen, sementara Prabowo hanya 20 persen. Anies berada di peringkat ketiga dengan 13,5 persen. Selebihnya? tidak ada yang sampai 2 digit seperti Ridwan Kamil (4,1 persen), AHY (3,3 persen) maupun Airlangga (1 persen).

Direktur Eksekutif Poltracking Institute Hanta Yudha mengatakan, ada sejumlah faktor yang membuat Ganjar, Prabowo maupun Anies kuat. Ganjar mendapatkan efek politik karena paling merepresentasikan pemilih Jawa dan mayoritas.

“Ditambah saat ini, Ganjar mendapat sorotan besar di mata publik karena ‘konflik’ internal di PDI Perjuangan. Terakhir, publik masih belum beranjak dari gaya kepemimpinan yang memenangkan Pilpres 2014 dan 2019, yakni merakyat dan sederhana, dan itu tergambarkan pada Ganjar,” kata Hanta kepada reporter Tirto, Rabu (27/10/2021).

Prabowo, di sisi lain, kata Hanta, tidak lepas dari dampak Pilpres 2019. Prabowo juga memiliki panggung baru sebagai menteri pertahanan selain panggung ketua umum Partai Gerindra. Mesin Gerindra, kata Hanta, juga sudah berpengalaman dalam polemik pilpres dalam 3 kali pemilu.

“Pemilih yang masih suka dengan gaya kepemimpinan Prabowo pastinya masih setia mendukung," kata Hanta.

Sementara itu, Anies memiliki panggung politik sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kursi ini, kata Hanta, pernah ditempati Jokowi sebelum menjadi presiden. “Ditambah Anies juga bisa dikatakan representasi pemilih kanan yang mungkin kecewa dengan sikap politik Prabowo. Sehingga Anies menjadi idola baru, yang jumlahnya juga tidak dapat diremehkan, terutama bagi mereka yang kecewa dengan pemerintah saat ini,” kata Hanta.

Hanta menilai, Ganjar lebih unggul daripada Prabowo karena berhasil mengelola panggung politik sebagai Gubernur Jawa Tengah. Gaya Jawa yang lebih unggul serta mewakili pemilih dengan spektrum ideologi kiri dan tengah. Di sisi lain, Prabowo yang terlalu main di spektrum kanan mulai ditinggalkan pemilih.

Sementara itu, dosen politik Universitas Al Azhar Ujang Komarudin tidak memungkiri bahwa ketiga kandidat, yaitu Anies, Ganjar dan Prabowo masih tetap perkasa sebagai calon capres yang diunggulkan. Ia menduga mereka tetap berada di benak publik karena peran media sosial.

“Maksudnya bisa saja pembangunan pencitraan untuk memanen elektabilitas dilakukan melalui media sosial dengan cari mempublikasi prestasi-prestasinya atau pun pendekatan-pendekatan ke rakyat melalui medsos," kata Ujang kepada reporter Tirto.

Ujang pun memandang, kenaikan elektabilitas Ganjar terjadi diduga karena banyak relawan mantan anggota DPR itu yang sudah bergerak. Ia mencontohkan bagaimana gerakan Sahabat Ganjar di daerah Bogor, Cianjur, Sukabumi yang mulai membagi sembako.

“Besar kecilnya pasti akan terbantu kepada masyarakat, publik dibantu dengan sembako-sembako itu di saat yang sama Prabowo belum bergerak, Prabowo masih bergerak dalam konteks membangun Komcad," kata Ujang.

Ujang menambahkan, “Secara umum, Ganjar sudah jalan dalam konteks membangun konstituen.”

Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengakui bahwa ketiga nama (Prabowo, Anies maupun Ganjar) adalah kandidat kuat Pilpres 2024. Ia mengingatkan, persoalan kelayakan keterpilihan berkaitan dengan performa kekuasaan daripada popularitas.

Ketiga tokoh ini, dalam pandangan Wasisto kuat karena sorotan media yang berkelanjutan, residu dari bekas kontestasi Pilpres 2019 dan aktivitas personal medsos.

“Artinya persepsi ‘kuat’ ini kuat menonjol karena mereka menjadi media darling semenjak awal 2021 di mana wacana pemimpin alternatif itu muncul di tengah pandemi," kata Wasisto kepada reporter Tirto, Rabu (27/10/2021).

Wasisto memandang, Prabowo merupakan kandidat terkuat daripada dua calon lain jika dilihat berbasis teori. Prabowo punya sumber materi (wealth), kendaraan politik sendiri, yaitu Partai Gerindra, dan karisma selama menjabat plus latar belakang militer. Situasi ini membuat Prabowo seharusnya 'lebih kuat' daripada Anies maupun Ganjar meski keduanya memiliki karisma.

Akan tetapi, Wasisto menilai wajar bila hasil survei menempatkan Ganjar berada di atas Prabowo. Ia beralasan, Ganjar berada di atas Prabowo karena statusnya sebagai kepala daerah. Ganjar adalah seorang decision maker yang berimplikasi luas kepada publik, apalagi di tengah pandemi. Hal tersebut berbeda dengan Prabowo yang tidak berposisi sebagai pengambil keputusan.

“Dengan kata lain, Ganjar seperti mendapat cap orang baik ("halo effect") seiring dengan semakin baik persepsi publik soal pemerintahan terutama penanganan pandemi," kata Wasisto.

Insiden 2014 Akan Terulang?

Wasisto tidak memungkiri persaingan elektabilitas antara Ganjar dan Prabowo bisa mengulang kejadian 2014 saat Jokowi berhadapan dengan Prabowo. Namun kondisi tersebut mungkin tidak akan sepenuhnya sama.

“Sejarah itu bisa jadi terulang kembali dengan rivalitas Ganjar vs Prabowo. Hanya saja, Jokowi saat itu sangat terbantu dengan narasi ‘harapan baru’ yang itu bisa dikontraskan dengan Prabowo yang notabene pernah menjadi bagian dari elite lama. Rivalitas Ganjar vs Prabowo ini sekarang belum dibalut narasi demikian," kata Wasisto.

Sebagai catatan, nama Jokowi sebelum menjadi presiden tidak sepenuhnya mulus. Setelah Pilpres 2009, tidak sedikit kader PDIP masih ingin Megawati Soekarnoputri maju sebagai calon presiden. PDIP pun berkoalisi dengan Partai Gerindra dengan mengusung Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dalam Pilkada 2012.

Setelah Jokowi menjadi gubernur, nama mantan Wali kota Solo itu pun mulai dielu-elukan sebagai kandidat calon presiden. Mengacu pada hasil riset Poltracking juga di masa lalu, Jokowi memiliki tingkat keterpilihan 37,46 persen atau jauh meninggalkan Prabowo di angka 11,72 persen. Pada akhirnya, Jokowi maju sebagai capres melawan Prabowo dan menang Pilpres 2014. Ia pun menang dua kali karena berhasil memenangkan Pilpres 2019.

Wasisto pun tidak memungkiri bahwa skenario Ganjar vs Prabowo bisa terulang karena dinamika politik Indonesia masih cair. Kemungkinan tersebut masih terjadi meski ada polemik internal PDIP yang masih ingin mengusung Puan Maharani sebagai capres, hubungan chemistry Gerindra-PDIP yang berlahan membaik maupun kondisi Ganjar yang tidak lagi akan menjadi kepala daerah pada 5 September 2023. Wasisto tidak memungkiri tiket capres di PDIP bisa direbut Ganjar seperti kisah Jokowi di masa lalu.

“Bisa jadi skenario akan seperti itu, hanya saja Ganjar juga perlu bersilaturahmi politik ke elite lain untuk memperkuat daya tawar politik," kata Wasisto.

Hal senada diungkapkan Hanta. Ia tidak memungkiri fenomena Ganjar akan seperti kejadian Jokowi pada Pilpres 2014. Namun hal tersebut masih berbasis data hari ini dan belum tentu terjadi di masa depan.

“Semua kemungkinan terbuka ya karena pemilu masih tahun 2024. Dan data hari ini, menggambarkan itu, sekali lagi data hari ini ya. Untuk ke depannya tergantung nanti strategi dari masing-masing figur ini untuk bisa meraih simpati pemilih," kata Hanta.

Sementara itu, Ujang pesimistis Ganjar akan bisa seperti Jokowi yang berhasil mendapatkan tiket capres pada 2014. Ia menilai, PDIP sudah paham karakter Ganjar dan mengambil pelajaran dalam pencapresan Jokowi pada 2014. Saat ini, Ujang yakin PDIP akan berupaya untuk mendorong Puan menjadi kandidat capres atau cawapres layak di 2024.

Di sisi lain, situasi Ganjar berbeda dengan Jokowi. Hal tersebut terlihat dari bagaimana upaya PDIP yang resisten terhadap tindakan Ganjar. Ia mencontohkan konflik antara Ganjar dengan DPD PDIP Jawa Tengah maupun konflik internal lain antara kader PDIP dengan Ganjar. Oleh karena itu, Ujang yakin Ganjar sulit mendapat tiket dari PDIP.

“Sekarang itu, PDIP tahu persoalan Ganjar dan sama-sama tahu lah pastinya. PDIP saya punya keyakinan walaupun Ganjar nanti masih tinggi (elektabilitasnya) tidak akan mendorong Ganjar," kata Ujang.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz