Menuju konten utama

Merunut Twit Natalius Pigai soal Jokowi & Ganjar yang Tuai Polemik

Twit Pigai soal jangan percaya orang Jawa Tengah Jokowi dan Ganjar menuai polemik hingga ia dilaporkan ke polisi. Bagaimana duduk perkaranya?

Natalius Pigai saat masih menjadi Komisioner Komnas HAM memberikan keterengan kepada media terkait dugaan kriminalisasi ulama usai bertemu dengan Menkopolhukam di kantor Kemkopolhukam, Jakarta, Jumat (9/6). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - "Jgn percaya org Jawa Tengah Jokowi & Ganjar. Mrk merampok kekayaan kita, mereka bunuh rakyat papua, injak2 harga diri bangsa Papua dgn kata2 rendahan Rasis, monyet & sampah. Kami bukan rendahan. kita lawan ketidakadilan sampai titik darah penghabisan. Sy Penentang Ketidakadilan).”

Pernyataan itu diunggah oleh eks Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai di akun Twitter miliknya @NataliusPigai2, 1 Oktober 2021, pukul 16.43. Warganet pun merespons cuitan itu. Ada warganet yang mengatakan "Kenapa harus ada kata Jawa Tengahnya pace?. Cukup sebut namanya saja. Itu bisa menggiring opini orang untuk berpikir rasis.”

Pigai pun menjelaskan alasannya. "Saya katakan orang Jawa Tengah Jokowi, Ganjar. Mana rasis? Rasis itu suku. Jawa Tengah itu nama provinsi, wilayah administratif, bukan suku. Yang tinggal di Provinsi Jawa Tengah itu hampir semua suku termasuk Papua, Bali, Sumatera, dan lainnya. Sehingga tidak bisa katakan suku,” kata dia saat dikonfirmasi Tirto, Minggu (3/10/2021).

Alasan kedua, kata Pigai, antara kata ‘Jawa Tengah’, ‘Jokowi’, dan ‘Ganjar’ tidak ada tanda koma, artinya langsung kepada individu bernama Jokowi dan Ganjar. Ketiga, karena tidak sebut suku maka tidak masuk kategori rasis. “Sehingga mereka yang melaporkan saya tidak memiliki kedudukan hukum,” ujar Pigai.

Dalih selanjutnya, kata dia, bila Jokowi dan Ganjar merasa ada tuduhan, maka mereka sendiri yang mestinya melaporkan Pigai ke polisi. Pigai pun akan membuktikan tudingan tersebut. Terakhir, ia berencana melaporkan tokoh-tokoh nasional sebagai pelaku rasis kepada rakyat Papua dengan bukti autentik kepada polisi.

Ketua Umum Barisan Relawan Nusantara (Baranusa) Adi Kurniawan pun mengadukan perbuatan Pigai ke Bareskrim Polri, Senin, 4 Oktober 2021. Pelaporan itu terdaftar dengan Nomor: LP/B/0601/X/2021/SPKT/BARESKRIM POLRI, dengan Surat Tanda Terima Laporan Polisi Nomor: STTL/388/X/2021/BARESKRIM.

Adi melaporkan dugaan penghinaan/ujaran kebencian melalui media elektronik dan/atau kejahatan tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 156 KUHP dan/atau Pasal 16 juncto Pasal 4 huruf b ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.

"Menurut kami, yang sangat berbahaya ini mengandung unsur provokasi karena ada sebutan ‘jangan percaya orang Jawa Tengah’ lalu dia sebut ‘Jokowi’ dan ‘Ganjar’. Artinya dia mengajak masyarakat (untuk) jangan percaya orang Jawa Tengah,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (5/10/2021).

Ucapan Pigai bisa memancing konflik kalau dibiarkan begitu saja, kata Adi.

"Di Papua, konflik antara masyarakat Papua dan pendatang itu kencang. Jangan sampai konflik meluas. Kalau ini dibiarkan (konflik) bisa terjadi di Jawa Tengah pula. Mengkritik presiden atau siapa pun silakan saja, tapi bahasanya jangan melebar,” sambung dia.

Menurut Adi, Pigai juga sebaiknya tidak melempar fitnah kepada Jokowi dan Ganjar, kecuali dia mengkritik pemerintah dan tidak menyasar individu.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo merespons cuitan Pigai tersebut. "Saya doakan beliau sehat selalu dan tetap kritis," ujar Ganjar saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (5/10/2021).

Adakah Unsur Rasisme di Twit Pigai?

Adriana Elisabeth, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, publik mesti mengetahui ihwal teori rasisme. Misalnya dari aspek fungsionalisme, yang memperlihatkan ada kelompok dominan dan subordinat.

Dalam konteks cuitan Pigai, kata dia, Jokowi dan Ganjar merupakan presiden dan gubernur, sementara Pigai adalah rakyat. Pada situasi perselisihan semua cenderung prasangka, ada elemen konflik dalam urusan Papua. Maka mengkritik dalam kondisi Indonesia ‘normal’ dan harmonis sangat berbeda. Tidak bisa cuitan itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja dalam situasi cekcok.

Sebaliknya, dalam situasi konflik maka kelakar pun dapat jadi pemicu masalah. Kasus-kasus rasisme muncul karena ketidaksetaraan, bila sejajar kemungkinan tidak akan tersinggung. Perihal ‘Jawa Tengah’ itu merupakan unsur identitas berbasis lokasi, bukan bermakna daerah administratif saja; ada kecenderungan rasisme dalam cuitan itu.

Dalam situasi konflik, simbol-simbol identitas dan sosial bisa ‘dimainkan’ sebagai konflik terbuka. “Dia mau berkelit apa pun, jika kembali ke teori rasisme, itu [pernyataan Pigai] ada nuansa bisa diinterpretasi sebagai sesuatu terkait rasisme,” kata Adriana saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (5/10/2021).

Menurut dia, bila orang Jawa Tengah menganggap ocehan Pigai biasa saja, maka tidak ada masalah. Sebaliknya, jika ada yang terusik kemudian memobilisasi publik untuk melawan Pigai, maka lahirlah konflik baru.

“Konflik dimulai dari hal-hal sepele, tidak ada konflik tiba-tiba besar. Bahkan kita harus hati-hati memilih kata. Konflik terjadi karena hal sepele yang dianggap biasa, kata-kata bisa melukai orang," kata dia. Bila pernyataan kadung keluar kepada publik, interpretasi rakyat pun tak bisa dicegah.

Sementara itu, Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia Papua Gustaf Kawer menyatakan urusan rasisme tak kelar hingga hari ini lantaran masih ada ‘balas-membalas’, rasisme tidaklah elok dan mestinya masyarakat tetap saling menghormati.

Bertautan dengan cuitan Pigai, Gustaf berpendapat sebagai aktivis HAM dan bekas komisioner Komnas HAM, Pigai mesti berhati-hati menyatakan sesuatu. “(Cuitannya) bisa ditafsirkan rasis,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (5/10/2021).

Pada Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, menyebutkan: “Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:

1. Membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;

2. Berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;

3. Mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau

4. Melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.”

Sedangkan etnis, merujuk Pasal 3 ayat (1) adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.

“Dalam UU Nomor 40 Tahun 2008, (rasisme) bukan saja pribadi, tapi suku, golongan, agama, ada masuk di situ. Kalau golongan tersinggung, ada dampaknya. Pilihan kata harus hati-hati supaya tidak menyinggung orang lain,” jelas Gustaf.

Jika ada pernyataan yang menyinggung, kata dia, sebaiknya Pigai mengakui bahwa itu salah. Lebih baik Pigai bertemu langsung dengan pihak yang ia tuduh, untuk membahas keresahannya.

Selain rasisme, hal yang turut penting dikelarkan yakni pelanggaran HAM berat di Papua cum pengungsian. “Ketimbang berdebat di dunia maya, kemudian menyerang (individu atau golongan), tapi persoalan substansial tidak diselesaikan,” tutur dia.

Baca juga artikel terkait NATALIUS PIGAI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz