tirto.id - “Pada saat ini Partai Nasdem menawarkan kenaikkan parliamentary threshold dari apa yang kita miliki sebesar 4,5 persen, untuk dinaikkan menjadi 7 persen.”
Ucapan itu keluar dari mulut Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh saat memberikan pidato dalam agenda ulang tahun partainya yang ke-9, Rabu (11/11/2020) lalu. Ia mengatakan bahwa parliamentary threshold (PT)—atau ambang batas parlemen—perlu dinaikkan agar penyederhanaan partai-partai politik di Indonesia bisa segera terlaksana.
Ia bercerita sejak Partai Nasdem dibentuk 2011 lalu, partainya sudah berupaya untuk melakukan penyederhanaan partai lewat mekanisme kenaikan PT di setiap pemilu. Paloh menyadari usulannya tersebut dicemooh banyak orang. Namun, ia mengaku usulannya tersebut tidak main-main dan dengan kesadaran penuh sebagai ketua umum partai.
“Nasdem boleh tidak lolos PT, tapi kehidupan politik di negeri ini harus lebih baik,” kata dia.
Usulan yang diajukan Paloh sebenarnya adalah wacana usang yang kerap bergulir setiap tahun. Mekanisme kenaikkan ambang batas parlemen memang berpotensi menggusur partai-partai kecil untuk bisa bertahan di DPR RI.
Gambaran umumnya: DPR RI periode 1999-2004 terdapat 20 partai, periode 2004-2009 terdapat 16 partai, periode 2009-2014 menurun drastis menjadi 9 partai, periode berikutnya sempat naik satu partai, dan periode saat ini—di bawah kepemimpinan Puan Maharani—kembali menjadi 9 partai.
Partai Nasdem tidak sendirian. Januari lalu, partai penguasa PDIP mengusulkan ambang batas parlemen untuk dinaikkan menjadi 5 persen saat Rakernas lalu—di mana Harun Masiku mulai menjadi buron. Partai Gerindra dan Partai Golkar pun sepakah dengan angka yang diusulkan oleh Partai Nasdem: naik menjadi 7 persen.
Berbeda dengan partai-partai besar di atas yang notabene sedang berkuasa, partai-partai yang tak sebesar mereka menolak keras. Ada yang menginginkan agar ambang batas parlemen dipertahankan di angka 4 persen, bahkan ada yang meminta diturunkan.
Partai Demokrat sendiri mengaku tak khawatir jika memang ada ketentuan penaikkan ambang batas parlemen di Indonesia menjadi 7 persen. Pasalnya, Kepala Bakomstra DPP Partai Demokrat Ossy Dermawan, sejak Pemilihan Legislastif pada 2004, perolehan suara terendah partai selalu berada di 7 persen.
Namun, kepada wartawan Tirto, ia mengaku melihat hal lain: akan ada banyak kerugian yang terjadi jika ambang batas dinaikkan. Pertama, kata dia, akan banyak suara yang terbuang jika ambang batas dinaikkan.
“Besarnya bisa mencapai 29 juta atau setara seperlima dari suara sah jika berkaca pada Pileg 2019. Kita melihat dengan ambang batas parlemen 4% saja pada Pileg 2019, ada 13,5 juta suara yang hilang dan menjadi tidak terwakili,” kata Ossy kepada wartawan Tirto, Jumat malam.
Tak hanya itu, Ossy menilai naiknya ambang batas parlemen akan memperburuk kualitas demokrasi keberagaman partai di parlemen. ”Berpotensi menurunkan kualitas demokrasi dan mengancam keberagaman serta kemajemukan Indonesia,” katanya.
Suburkan Otoriter dan Oligarki
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, mengatakan bahwa bahwa impian Surya Paloh ingin menyederhanakan partai dengan menaikkan ambang batas parlemen menjadi masuk akal jika dibarengi dengan sistem kaderisasi di internal partai yang ditingkatkan kualitasnya.
Ia mendesak agar para parpol di Indonesia mulai mengedepankan kualitas kader dan pendidikan politik yang jika ingin membangun kehidupan politik yang berkualitas. Kita tentu ingat bagaimana kehidupan partai politik kita hari ini masih diisi oleh kader-kader korup.
“Berapapun jumlah parpol yang masuk parlemen sebagai imbas dari PT, jika semuanya pragmatis, maka tak ada soal sedikit atau banyak, akan sama-sama buruk,” kata Lucius saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat (13/11/2020) siang.
Kata dia, partai politik harus membangun sistem pendidikan yang bisa menghasilkan kader-kader yang lebih jujur dan manusiawi, daripada hanya sekadar gerombolan manusia berjumlah banyak yang punya kekuatan menekan.
“Jangan apa-apa ubah threshold, sementara kualitas kaderisasi dibiarkan tak terurus,” katanya.
“Capaian Nasdem sendiri dengan PT yang hanya 4% baru menghasilkan sekitar 50 kursi. Kalau capaian ini jadi acuan tentu saja angka 7% juga bukan angka yang realistis bagi NasDem,” sindirnya.
Di sisi lain, lanjut Lucius, menaikkan ambang batas parlemen semakin tinggi justru akan membikin sistem politik di Indonesia semakin terpusat dan oligarkis, dan akhirnya DPR RI hanya bisa diakses orang-orang berkuasa saja.
“Kalau sudah makin sedikit, mudah berkompromi dan sewenang-wenang. Saya kira, kenaikkan ambang batas parlemen berpotensi menyuburkan otoritarianisme jika mempertimbangkan corak partai politik kita yang oligarkis seperti ini,” katanya.
Penulis: Haris Prabowo & Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri