Menuju konten utama

Menaikkan Ambang Batas ala PDIP Hanya Langgengkan Oligarki Politik

Wacana menaikkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen seperti diusulkan PDIP dinilai sebagai upaya untuk melanggengkan status quo dan oligarki politik.

Menaikkan Ambang Batas ala PDIP Hanya Langgengkan Oligarki Politik
Sejumlah kader PDI Perjuangan mengibarkan bendera Merah Putih dan bendera partai saat pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I di Jakarta, Jumat (10/1/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - PDIP merumuskan 9 rekomendasi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 1 pada Minggu (12/1/2020). Salah satunya ialah meningkatkan ambang batas parlemen dari 4 persen menjadi 5 persen. Selain itu, ambang batas juga diharapkan berlaku di pemilihan legislator daerah.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto mengatakan partainya hendak mengembalikan pemilu Indonesia kembali menggunakan sistem proporsional daftar tertutup. Namun, sejumlah pihak menilai langkah ini hanya upaya untuk melanggengkan status quo dan oligarki politik.

“Jadi kalau dari logika yang mau didorong kelihatannya memang elite-elite parpol ini mau mendorong penyederhanaan partai-partai politik atau penyederhanaan parpol di parlemen. Tujuannya apa? Ya untuk memudahkan konsolidasi,” kata peneliti politik dari Perkumpulan Cakra Wikara Indonesia Dirga Ardiansa saat dihubungi reporter Tirto, pada Senin (13/1/2019).

Dirga menjelaskan ketika ambang batas parlemen ditingkatkan, maka dapat dipastikan jumlah partai politik yang berhasil masuk ke Senayan akan berkurang.

Selain dengan meningkatkan ambang batas, upaya mengurangi saingan juga dilakukan lewat berbagai jalan lain, yakni: memperberat syarat pendirian partai politik, memperberat syarat untuk menjadi peserta pemilu, dan pengaturan dana bantuan partai poltik.

Merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Peserta Pemilu ada berbagai syarat bagi parpol bila hendak berlaga pada Pemilu 2019 lalu.

Parpol harus berstatus badan hukum sesuai dengan UU Parpol, memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, memiliki kepengurusan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, dan memiliki kepengurusan paling sedikit di 50% jumlah kecamatan. Parpol juga wajib memiliki kantor untuk kepengurusan sampai tingkat kota.

Syarat lainnya, parpol wajib menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat, memiliki anggota paling sedikit 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk, mengajukan nama, lambang, dan tanda parpol ke KPU, menyerahkan nomor rekening atas nama partai.

Pemerintah juga menyalurkan dana bantuan politik bagi parpol. Namun, dana itu hanya diberikan ke partai yang lolos ke parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Untuk partai yang lolos parlemen mendapat dana Rp1.000 per suara sah, dan untuk partai yang lolos parlemen tingkat DPRD provinsi mendapat dana Rp1.200 per suara sah.

"Nah partai-partai ini akan mendapat bantuan keuangan sementara partai-partai baru belum dapat. Jadi kompetisinya memang akan selalu timpang dalam konteks pemilu sebagai kekuatan-kekuatan alternatif atau kekuatan politik yang mau dibangun masyarakat sipil lintas sektor itu akan sangat susah untuk masuk," kata Cakra.

Hal itu tak pelak berdampak pada proses demokrasi. Derajat representasi akan berkurang karena akan banyak partai yang tumbang. Pada Pemilu 2019 saja misal, terdapat 13,5 suara sah yang gugur karena partai yang dipilih tidak lolos ambang batas parlemen.

Selain itu, akan banyak suara masyarakat yang tidak sampai ke gedung parlemen karena representasi yang terbatas. Hal itu kemudian akan berdampak pada turunnya partisipasi publik.

Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Agus Jabo Priyono pun mengecam wacana peningkatan ambang batas parlemen yang diwacanakan PDIP ini. Syarat yang ada untuk sekadar ikut pemilu saat ini, kata dia, hampir mustahil untuk dipenuhi partai yang menyandarkan keuangan pada partisipasi anggota.

"Selama ini pembiayaan-pembiayaan partai politik di Indonesia cenderung dilakukan dari atas. Padahal parpol mestinya didirikan karena dia memperjuangkan aspirasi anggota, dana pun harus dari partisipasi anggota. Nah, oligarkinya kan sebetulnya di situ,” kata Agus saat dihubungi pada Senin (13/1/2019).

PRD pun, kata dia, telah bergerak secara ad hoc di sejumlah wilayah di Indonesia khususnya yang memiliki masalah seperti konflik agraria.

Sejauh ini, kata dia, PRD telah memiliki 31 kepengurusan daerah tingkat provinsi dengan jumlah kader 10 ribu orang. Saat ini, PRD tengah mengurus status badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM, tujuannya untuk mengikuti Pemilu 2024.

"Walaupun di depannya nanti jalannya sangat terjal dan sangat berat," kata dia.

Dalih PDI Perjuangan

Sementara itu, politikus PDIP Andreas Hugo Pareira mengakui peningkatan ambang batas parlemen akan mengakibatkan penurunan jumlah partai di parlemen. Namun, menurut dia, hal itu akan berdampak baik pada efektivitas kerja dan pengambilan keputusan di legislatif.

Andreas menilai, jika ambang batas parlemen diturunkan, maka memang akan banyak partai yang lolos ke Senayan. Namun di sisi lain, masing-masing partai hanya memiliki sedikit anggota.

Artinya, kata dia, masing-masing anggota bisa merangkap jabatan di berbagai komisi, badan, atau pansus dan berpotensi menjadi tidak efektif.

"Jadi di sini kami melihat mau memilih yang mana? Kalau saya melihat angka 5 sampai 7 bahkan 10 persen itu angka yang relatif ideal untuk parliamentary treshold di Indonesia. Kami cukup punya 5-6 partai menurut saya ideal," kata Andreas.

Andreas pun menampik jika peningkatan ambang batas mengancam demokrasi. Sebab, kata dia, partai bisa tetap berdiri dan ikut pemilu. Selain itu, partai-partai yang ada di parlemen juga bisa digunakan untuk menyalurkan aspirasi.

Menurut dia, justru ambang batas parlemen yang tinggi membuat partai wajib menunjukkan ideologinya sehingga tetap relevan di mata pemilih dan tidak terbit tenggelam di tiap pemilu.

Baca juga artikel terkait PDIP atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz