tirto.id - Sebanyak 16 partai politik nasional yang menjadi peserta Pemilu 2019 akan berebut suara pemilih agar bisa bertengger di parlemen. Sebab, mereka harus memenuhi syarat ambang batas parlemen (parliamantery threshold) sebesar 4 persen bila ingin lolos ke Senayan.
Hal itu menjadi tantangan berat bagi partai lama maupun yang baru. Sebab, memenuhi target ambang batas parlemen sebesar 4 persen bukan perkara mudah. Apalagi berdasarkan survei sejumlah lembaga persaingan pada Pemilu 2019 ini cukup sengit mengingat bersamaan dengan Pilpres.
Berdasarkan survei yang dirilis Litbang Kompas, CSIS, dan Alvara Research Centre, misalnya, hanya lima partai yang masuk wilayah aman. Lima partai ini antara lain: PDIP, Gerindra, Golkar, Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sementara sisanya, termasuk parpol yang saat ini berada di parlemen harus bersaing ketat dengan partai baru untuk bisa lolos ambang batas.
Meski demikian, hasil survei tersebut ternyata tak sepenuhnya dipercaya oleh pengurus partai-partai menengah ke bawah yang diprediksi tak mampu mencapai ambang batas 4 persen. Mereka justru yakin hasil survei bukan patokan bahwa parpol-parpol itu akan mengalami kekalahan atau gagal masuk parlemen.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Daulay mengatakan sudah biasa melihat hasil survei yang menyatakan partainya tak akan lolos ke parlemen. Tak hanya pada Pemilu 2019 ini, kata dia, survei-survei pada pemilu sebelumnya juga sudah menyatakan hal yang sama.
Namun, kata Saleh, hasil survei yang dilakukan sejumlah lembaga itu akan berbeda dengan hasil pemilu sebenarnya. “Faktanya, hasil pemilu sesungguhnya jauh dari yang disebutkan dari survei tersebut," kata Saleh saat dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (29/3/2019).
Pada survei yang dilakukan Litbang Kompas, misalnya, PAN hanya meraih 2,9 persen. Angka ini masih lebih baik ketimbang survei yang dilakukan CSIS yakni 2,5 persen, dan Alvara yang hanya 2,1 persen.
Akan tetapi, Saleh Daulay optimistis partai berlambang matahari itu tetap lolos ke parlemen. Keyakinan Saleh cukup beralasan bila berkaca pada hasil Pemilu 2014 yang berhasil menyabet 7,59 persen, padahal berdasarkan survei hanya sekitar 2 persen.
"Pemilu yang lalu, survei memprediksi PAN hanya dapat sekitar 2 persen. Hasil pemilu sesungguhnya jauh berbeda. Terbukti PAN mendapatkan 7,59 persen," ucap Saleh.
Saleh menilai hasil survei merupakan cambuk agar lebih bekerja keras demi bisa bertengger di parlemen.
Hal itu pula yang diyakini Wasekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi. Ia menilai hasil survei adalah pelecut semangat bagi kader-kader agar partai berlambang kakbah ini bisa menang, paling tidak lolos ambang batas parlemen yang dipatok 4 persen.
Apalagi, satu bulan jelang pencoblosan, Ketua Umum PPP Romahurmuziy ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat kasus praktik jual beli jabatan di Kementerian Agama.
Namun, Baidowi menilai kasus yang menjerat Romahurmuziy itu tak akan mempengaruhi masyarakat untuk memilih PPP di Pemilu 2019. "Enggak ngaruh, karena itu kasus pribadi, bukan kasus PPP dan kami tegas langsung mengganti beliau,” kata Baidowi kepada reporter Tirto.
Pileg Kalah Pamor dari Pilpres
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai, fenomena partai menengah yang sulit menembus ambang batas parlemen versi hasil survei karena mereka kurang memamerkan kinerjanya selama menjadi wakil rakyat di parlemen.
Meski begitu, kata Adi, melihat hasil pemilu-pemilu sebelumnya, biasanya partai-partai ini tetap akan tembus ambang batas parlemen karena memiliki pemilih setia.
Selain itu, kata Adi, pemilu serentak antara pileg dan pilpres ini juga menjadi faktor rendahnya elektabilitas partai-partai politik hingga saat ini. Menurut dia, aura politik untuk pileg kalah dominasinya dari pilpres.
Apalagi, kata Adi, hanya dua parpol, yaitu PDIP dan Partai Gerindra yang akan meraih langsung efek ekor jas (coat-tail effect) dari elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga. Sebab, Jokowi adalah kader PDIP, sementara Prabowo merupakan ketua umum dari partai berlambang burung garuda itu.
“Rakyat menangkap kesan seakan-akan pemilu ini hanya partai 01 vs partai 02,” kata Adi saat dihubungi reporter Tirto.
Tak hanya itu, kata Adi, munculnya partai baru juga menyebabkan persaingan menjadi lebih ketat. Dari 16 partai politik peserta Pemilu 2019 terdapat empat partai baru, yakni Partai Garuda, Berkarya, Perindo, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Menurut Adi, dua partai baru, yakni Perindo dan PSI merupakan ancaman serius bagi partai-partai lama. Selain karena promosi via iklan kampanye yang cukup masif, dua partai ini sejak lama secara tak langsung telah mempromosikan program-programnya kepada rakyat.
"Efeknya, partai Islam yang kampanyenya datar saja disalip partai baru. Tentu ini ujian berat bagi partai Islam mengantisipasi potensi migrasi pemilih ke partai baru yang mulai mendapat simpati rakyat macam Perindo dan PSI,” kata Adi.
Sekretaris Jenderal Partai Perindo Ahmad Rofiq bahkan percaya diri partainya bisa menembus tiga besar. Padahal pada survei yang dilakukan sejumlah lembaga, elektabilitas partai yang digawangi pemimpin MNC Group, Hary Tanoesoedibjo itu hanya berada di angka sekitar 1,5 persen saja.
"Hasil survei itu tidak mencerminkan hasil. Baru sebatas pada indikasi. Jadi Perindo sama sekali tidak ada rasa khawatir sedikitpun untuk tidak lolos, karena sesungguhnya perjuangan Perindo adalah untuk berada dalam posisi 3 besar,” kata Rofiq kepada reporter Tirto.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz