tirto.id - Harapan Ketua DPP PPP, Achmad Baidowi, untuk kembali duduk sebagai anggota legislatif kandas setelah parpol berlambang ka’bah tidak lolos syarat ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebenar 4 persen. PPP hanya memperoleh 5.878.777 suara atau 3,87 persen.
Padahal, pria yang akrab disapa Awiek itu masuk 10 besar caleg peraih suara terbanyak se-Indonesia, yaitu 359.189 suara. Awiek yang saat ini menjabat Wakil Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu hanya bisa pasrah sambil berharap ada keajaiban dalam gugatan yang akan PPP ajukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Awiek mengatakan, selama ini PPP telah berjuang, meskipun hasilnya tetap tidak lolos ambang batas parlemen 4 persen. “Iya kayak gimana? Itulah perjalanan perjuangan, harus begitu. Mau apa lagi?” kata caleg DPR RI Dapil Jawa Timur XI ini kepada Tirto, Kamis (21/3/2024).
Meski tidak menjawab soal kecewa atau legawa, Awiek menekankan bahwa perjuangan bukan soal individu melainkan kepartaian. “Ini bukan soal individu. Ini soal kepartaian. Kalau sudah seperti itu, mau apalagi,” tutur Awiek.
Awiek yang menjadi perwakilan parpol dalam rekapitulasi pemilu di KPU mengatakan, PPP akan menggugat hasil keputusan rekapitulasi pemilu oleh KPU tersebut. Sebab, kata Awiek, PPP seharusnya bisa memperoleh suara 4,04 persen. Ia meyakini ada sekitar 100 ribu lebih suara tidak terhitung.
“Ada selisih 100-150 ribu suara rekapitulasi itu tidak jauh berbeda dengan yang diumumkan oleh KPU. Dan kami ingin bisa membuktikan itu semua, di mana pergeseran suara-suara itu,” kata Awiek di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Rabu malam (20/3/2024).
Menurut Awiek, tuntutan ke MK bukan soal PPP yang terancam gagal masuk parlemen, namun karena setiap suara konstituen wajib diperjuangkan dan dilindungi.
“Tentu kami akan all out di Mahkamah Konstitusi, karena suara ini merupakan titipan atau amanat. Titipan umat yang harus dikawal dan tidak boleh kendor,” kata pria yang meniti karier di PPP sejak 2011 itu.
Dalam analisa Awiek, pergeseran suara banyak terjadi di Papua Tengah dan Papua Pegunungan. Ia mengatakan, suara PPP hilang di wilayah tersebut karena noken yang digunakan untuk pemilu dipegang oleh KPU, bukan ketua adat. Alhasil, suara PPP banyak yang berpindah ke partai lain.
Selain sistem noken, kata dia, sejumlah penggelembungan suara juga banyak merugikan PPP. Seperti di Jawa Barat, menurut Awiek ada sejumlah partai yang digelembungkan suaranya dan merugikan PPP.
“Dan juga ketidakwajaran suara sah di sejumlah dapil itu juga menjadi sorotan bagi kami. Tidak logis ketika suara sah mencapai 99,8 persen, berarti 0,02 persen yang tidak sah, artinya 100 persen terpakai,” kata dia.
Apa Penyebab PPP Gagal Lolos ke Parlemen?
Jika ditilik secara jumlah suara, maka suara PPP memang melorot. Berdasarkan data Pileg 2019, PPP mengantongi 6.323.147 suara atau sekitar 4,52 persen. Artinya, ada sekitar 444.370 suara pergi dari partai yang dipimpin Mardiono itu. Lantas, apa penyebabnya?
Analis sosial-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menilai ada sejumlah faktor pemicu PPP gagal lolos. Pertama, identitas PPP tidak tertangkap jelas di masyarakat. Musfi sebut PPP adalah partai Islam dengan sejarah panjang, tetapi gagal menunjukkan identitas Islam yang kuat.
“Ini juga terlihat pada pilihan capres yang didukung. Berbeda dengan PKS yang mendukung Anies [Baswedan], PPP justru mendukung Ganjar [Pranowo]. Belakangan citra PDIP tampak tidak baik dengan konstituen Islam. Ini membuat pemilih yang memiliki preferensi Islam menaruh pilihan pada PKS atau PKB,” kata Musfi, Kamis (21/3/2024).
Musfi mengatakan, identitas lemah PPP sebetulnya sudah terlihat pada Pileg 2019. Partai yang merupakan fusi dari parpol-parpol Islam di era Orde Baru itu hanya mengantongi 4 persen suara di Pileg 2019. Ketidakmampuan menunjukkan identitas Islam membuat PPP 'terpaksa' bertempur dengan partai nasionalis.
Kedua, kata Musfi, beberapa elite partai bergerak melawan arahan partai. Sejumlah elite PPP secara terang-terangan mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, sementara partai secara resmi mengusung pasangan calon Ganjar-Mahfud.
Musfi menyebut sejumlah nama, di antaranya KH Saifulloh Damanhuri di Pasuruan, Tuti Alawiyah, H. Rokib, dan Namami di Serang Banten. Perpindahan itu membuat kekuatan PPP berkurang di kontestasi pileg. Sebagaimana diketahui, faktor paling menentukan di pileg adalah seberapa baik partai mampu menarik caleg potensial.
“Jika diringkas, kegagalan ini karena salah mendukung capres dan daya tarik PPP yang lemah di mata caleg potensial,” kata Musfi.
Di sisi lain, parpol ka’bah ini juga kerap dilanda konflik internal. Dalam beberapa tahun terakhir, PPP tercatat kerap kali “gaduh” sendiri, perpecahan elite PPP dalam dukungan pilpres saat kepemimpinan Suryadharma Ali, dualisme kepengurusan Humprey Djemat vs Djan Faridz, kasus korupsi yang menjerat Romahurmuzy (saat itu ketum PPP) hingga pendongkelan Suharso Monoarfa.
Akan tetapi, kata Musfi, konflik dan dualisme tidak serta merta menjadi alasan. Ia mencontohkan Golkar mampu menghadapi konflik dan dualism, tetapi tetap solid dengan suara besar. Menurut Musfi, masalah kultur PPP yang bersifat hierarkis. Hal ini tidak lepas dari posisi PPP yang secara tradisional adalah partai Islam.
“Berbeda dengan Golkar, kultur PPP adalah partai yang cukup hierarkis karena secara tradisional merupakan partai Islam. Ini membuat PPP tidak bisa mengkonversi konflik yang ada menjadi peluang seperti di Golkar," kata Musfi.
Selain itu, kata dia, sejumlah kiai senior telah meninggalkan PPP. Hal itu berimbas soliditas dan daya tarik partai bagi pemilih.
“Di luar itu semua, PPP dapat dikatakan gagal menempatkan dirinya sebagai partai yang memiliki daya tarik tinggi di mata caleg potensial. Nasdem sebagai partai baru berhasil membuat dirinya menarik karena menawarkan politik tanpa mahar, dan bahkan memberikan modal kepada caleg potensial. Sejauh ini tidak ada gebrakan seperti itu di PPP,” kata Musfi.
Sementara itu, analis politik dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, melihat banyak variabel yang membuat PPP gagal lolos parlemen kali ini. Pertama, arah partai berbeda dengan suara akar rumput dalam pilpres.
“Secara elektoral sejak awal memang PPP dirugikan dengan mengusung Ganjar karena basis pemilih lebih dekat dengan pemilih Prabowo dan juga Anies Baswedan, karena mereka menjadi bagian dari pemilih ini dan saya rasa dengan beberapa segmentasi yang ditarget oleh PPP memang ada beberapa isu yang tidak menguntungkan bagi PPP secara elektoral,” kata Arifki, Kamis (21/3/2024).
Arifki mengatakan, kepemimpinan Mardiono yang membawa PPP mendukung Ganjar-Mahfud tidak banyak menguntungkan bagi PPP daripada mendukung Anies atau Prabowo.
Selain itu, Arifki mencontohkan masalah dualisme pandangan elite partai seperti sikap Ketua Bappilu PPP, Sandiaga Uno, dengan elite partai lain. Hal ini menunjukkan perbedaan pandangan di internal yang tidak selesai. Hal itu lantas berimbas pada kegamangan sikap pemilih PPP selama ini. PPP seolah tidak menyiapkan narasi politik untuk menarik pemilih.
Arifki menambahkan, masalah internal ini diikuti dengan sikap partai yang tidak serius berpolitik. Ia mencontohkan bagaimana PPP terkesan tidak fokus dalam mengelola suara PPP. Alhasil, PPP gagal merebut suara basis partai Islam lain. Hal itu membuat PPP tidak solid.
Arifki juga menyinggung posisi Suharso yang masih di kabinet. Suharso yang bukan ketua umum partai masih menduduki kursi strategis. Sikap PPP yang resisten dengan pemerintahan Jokowi beberapa waktu terakhir membuat blunder yang berujung penyempitan ruang gerak politik partai berlambang ka'bah itu.
Kini, kata Arifki, kerugian itu berimbas pada kehilangan kursi partai di level nasional. Dalam kacamata Arifki, kegagalan PPP hanya menguntungkan partai besar seperti PDIP, Golkar maupun Gerindra. Ia mencontohkan, PDIP akan mengambil untung di Dapil Jawa Timur III karena kursi PPP otomatis akan menjadi milik parpol berlambang banteng.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz