Menuju konten utama

Residu Ekonomi & Elektoral Bisa Sulut Konflik, Mesti Antisipasi!

Unjuk rasa memprotes hasil pemilu adalah hal lazim. Namun antisipasi mesti diperketat karena situasi ekonomi dan proses pemilu menyimpan ketidakpuasan.

Residu Ekonomi & Elektoral Bisa Sulut Konflik, Mesti Antisipasi!
Pengunjuk rasa membawa spanduk saat menyampaikan aspirasinya di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wpa.

tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta bersiap menghadapi protes dan potensi konflik setelah pengumuman hasil Pemilu 2024 dilangsungkan.

Hasil rekapitulasi suara dari 38 provinsi diumumkan pada 20 Maret 2024. Penanganan protes yang represif dan ugal-ugalan justru dapat memantik kericuhan dan memperkeruh agenda unjuk rasa.

Sehari sebelum pengumuman hasil Pemilu 2024, tercatat sudah muncul unjuk rasa di beberapa titik.

Sejak Senin (18/3/2024), demonstrasi dilakukan di depan Kantor KPU dan DPR RI yang menyuarakan protes terhadap proses Pemilu 2024. Sejumlah pengamat kepemiluan menilai gelombang protes dan potensi konflik pada pemilu kali ini cukup rawan.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, memandang unjuk rasa atas hasil pemilu tahun ini dapat berpotensi lebih keras daripada yang terjadi di tahun 2019. Pasalnya, kekecewaan publik terhadap jalannya proses Pemilu 2024 cukup tinggi.

“Apa yang dilakukan KPU dan Bawaslu bukan mengungkap kebenaran dalam setiap rekapitulasinya. Tetapi membuat rekapitulasi itu yang penting berjalan sehingga substansi permasalahan dasarnya tidak terungkap,” kata Kaka kepada reporter Tirto, Selasa (19/3/2024).

Kaka menilai informasi soal pemilu tidak disampaikan secara utuh oleh penyelenggara kepada masyarakat.

Dampaknya, kata Kaka, protes hasil pemilu nantinya hanya akan berisi hal-hal yang tidak substantif karena masyarakat tidak mengerti proses pemilu yang berlangsung.

Protes hanya akan berisi kekecewaan pendukung kubu yang kalah kontestasi tanpa menitikberatkan pada perbaikan proses pemilu di negeri ini.

“Saya sih melihatnya ada kerusakan besar dalam pemilu dan demokrasi Indonesia. Tetapi masyarakat juga tidak menyadari itu, mungkin juga selama ini kita berdemokrasi secara tidak utuh dan secara tidak substantif,” terang Kaka.

Unjuk rasa dan penyampaian protes atau pendapat terhadap hasil pemilu merupakan hal yang sah dan diperbolehkan. Namun, setiap pihak perlu menghindari eskalasi konflik yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan.

Masih segar di ingatan bagaimana protes ketidakpuasan pada hasil Pemilu 2019 harus dibayar mahal dengan korban nyawa.

Kala itu, protes besar-besaran pecah di beberapa titik di Jakarta pada 21-22 Mei 2019. Sedikitnya 8 orang meninggal. Protes diduga akibat kurang puasnya salah satu kubu pendukung capres pada hasil rekapitulasi suara Pemilu 2019.

Peristiwa serupa terjadi di Pontianak pada waktu yang sama dan menyebabkan 1 korban tewas. Mirisnya, hingga kini belum jelas pertanggungjawaban negara terhadap dua kasus yang diakibatkan polarisasi politik elektoral tersebut.

Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menegaskan bahwa protes ataupun unjuk rasa merupakan cara yang legal dan sah digunakan publik untuk menyampaikan aspirasi. Maka itu, aparat kepolisian hendaknya tidak menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyikapi protes massa atas penetapan hasil pemilu nanti.

“Elite politik juga mestinya tetap mengajak pendukung untuk tetap menjaga kondusifitas, keamanan, dan kedamaian situasi agar tidak menimbulkan kerusuhan ataupun kekerasan elektoral,” kata Titi kepada reporter Tirto, Selasa.

Titi menjelaskan, ada sejumlah faktor yang bisa menyebabkan ketidakpuasan publik dan bisa dengan mudah memicu konflik berujung kekerasan. Antara lain timbulnya kondisi ketidakpuasan dan ketidakpercayaan pada integritas, kredibilitas, dan profesionalitas penyelenggara pemilu.

Faktor tersebut bisa dengan mudah digunakan untuk memprovokasi dan menggerakkan massa.

Selain itu, pandangan bahwa telah terjadi banyak pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terbiarkan dan tidak mendapatkan penegakan hukum secara optimal, juga akan mudah menjadi narasi yang digunakan politikus menggerakkan massa.

“Aksi protes berujung kekerasan ataupun tindakan-tindakan kemarahan publik lainnya tentu sangat merugikan kredibilitas Pemilu 2024,” ujar Titi.

Unjuk rasa di depan KPU

Warga berunjuk rasa di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Jumat (16/2/2024). Dalam aksinya mereka meminta KPU sebagai penyelenggara Pemilu tidak melakukan kecurangan pada Pemilu 2024. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

Antisipasi Diperlukan

Titi mewanti-wanti seluruh pihak agar bisa menahan diri sehingga tidak terjadi korban jiwa seperti pada protes hasil pemilu tahun 2019.

Di sisi lain, KPU diminta menetapkan hasil pemilu dengan terbuka, transparan, dan akuntabel. Jangan sampai hasil perolehan suara menimbulkan syak wasangka terhadap proses rekapitulasi yang dianggap formalitas dan dilakukan asal-asalan.

“Karenanya KPU harus mampu menjelaskan setiap perkembangan rekapitulasi suara secara jelas, terukur, dan akurat,” kata Titi.

Bawaslu juga mesti memastikan setiap proses rekapitulasi suara terawasi dan tidak ada manipulasi suara yang dibiarkan. Selain itu, diperlukan koordinasi pengawasan dan pengamanan, termasuk memastikan keamanan dari jajaran penyelenggara pemilu.

Komunikasi publik yang baik menjadi kunci agar keterbukaan informasi terhadap proses hitung suara dan hasil pemilu, membuat publik dapat memahami proses yang dilakukan penyelenggara.

“Pihak keamanan juga perlu mengantisipasi potensi adanya gangguan keamanan dengan pendekatan yang tetap mengedepankan profesionalitas dan pemenuhan prinsip keadilan,” ujar Titi.

Sementara itu, peneliti dari Public Virtue Research Institute, Stanislaus Axel Paskalis, menilai dinamika politik yang berujung pada krisis ekonomi sangat dapat memicu huru-hara terhadap hasil Pemilu 2024. Meski, kata dia, saat ini belum dapat diprediksi akan seberapa besar eskalasi protes pada pemilu kali ini.

“Terjadi distabilitas ekonomi dengan naiknya harga beras yang juga di latar belakangi oleh bansos secara masif oleh pemerintah. Jadi ada peristiwa politik juga yang melatarbelakanginya,” kata Axel kepada reporter Tirto, Selasa.

Penyelenggara pemilu harus bisa menjelaskan hasil pemilu dengan adil dan damai. Harapannya, kata Axel, ada konsiliasi daripada aktor-aktor politik peserta pemilu untuk tidak menimbulkan narasi yang dapat menyebabkan huru-hara yang berujung kekerasan.

“Tetapi tentu saja jika lembaga pemilunya sendiri tidak fair, tidak adil, tidak jujur, para aktor politik tentu tidak akan dengan mudah memberikan kemenangan begitu saja atau mengakui hasilnya legitimate,” jelas Axel.

Namun, Axel menegaskan bahwa pihaknya mendorong segala upaya agar pemerintah dan DPR dapat mendengarkan permintaan rakyat, termasuk untuk mengevaluasi proses pemilu. Misalnya, DPR jangan segan-segan menggunakan hak angket untuk melakukan investigasi terhadap dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan secara masif.

Proses evaluasi ini berguna agar ada pertimbangan memperbaiki proses kepemiluan. Terlebih, Axel menilai dinamika pemilu saat ini sangat sulit untuk dapat melahirkan oposisi yang kuat bagi pemerintahan kelak.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, meminta semua pihak membangun sikap negarawan untuk mengedepankan persatuan dan menegakkan keadilan sesuai dengan proses hukum.

Mita, sapaan akrabnya, mewanti-wanti agar pihak-pihak yang berkepentingan dalam politik elektoral tidak memanfaatkan konflik pascapemilu untuk membawa negara dalam keterpurukan.

“Potensi dinamika politik yang meningkat pascapenetapan hasil [pemilu] sangat dimungkinkan, pasalnya penetapan hasil dilakukan di tengah banyaknya residu persoalan penghitungan suara,” ujar Mita kepada reporter Tirto, Selasa.

Aksi unjuk rasa dukung hak angket

Seorang pengunjuk rasa membawa poster saat menyampaikan aspirasinya di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wpa.

Persiapan Pengamanan

Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, menyatakan dinamika politik berupa protes hasil pemilu merupakan hal yang wajar. Hasyim menegaskan bahwa pihaknya berfokus pada tugas mengurus proses kepemiluan.

“Wajar, yang saya ingin sampaikan bahwa tugas KPU ini mengurusi kepemiluan. Yang di luar itu tentu saja tidak semuanya menjadi ranah KPU,” kata dia di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa malam.

Sebelumnya, Komisioner KPU August Melasz menyampaikan, unjuk rasa merupakan hal yang biasa dalam penetapan hasil suara pemilu. Namun dia menegaskan KPU bekerja secara transparan dan dapat dicek oleh masyarakat.

“Kalau unjuk rasa ya unjuk rasa, biasa itu, maksud saya, saya juga tidak mengecilkan [dan] tidak membesarkan aspirasi yang berkembang,” kata Melasz di KPU RI, Senin.

Dalam kesempatan yang sama, Polri mulai menyusun skema pengamanan sengketa hasil Pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini becermin dari kerusuhan protes hasil pemilu yang terjadi pada tahun 2019.

“Kami menyusun rencana pengamanan untuk mengawal jalannya rangkaian sidang yang akan dijalankan di Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa hasil pemilu,” kata Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri (Kabaharkam) Komjen Fadil Imran di Kantor KPU, Senin.

Dia memastikan Polri akan mengedepankan langkah persuasif dan edukatif ketika mengamankan demonstrasi.

Jenderal bintang tiga itu meminta masyarakat yang akan menggelar unjuk rasa agar tidak melakukan tindak kekerasan. Menurutnya, Polri menghargai masyarakat yang akan menyampaikan pendapat di depan umum.

“Ada yang protes silakan sepanjang tidak anarkis, kita akan terus memberikan pelayanan terbaik,” tutur Fadil.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi