tirto.id - Sejumlah wilayah di Indonesia terdampak bencana hidrometeorologi basah akibat cuaca ekstrem, yang ditandai dengan intensitas curah hujan tinggi disertai petir dan angin kencang. Hal ini termonitor dari satelit klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sejak Rabu (13/3/2024).
Konsentrasi awan yang memicu cuaca ekstrem ditandai dengan warna merah-oranye pada peta satelit di sepanjang garis pantai Pulau Jawa. Mulai dari Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Grobogan.
Hasil akumulasi data yang dihimpun tim Pusat Pengendali dan Operasi (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hingga Jumat (15/3/2024), sejumlah wilayah di kabupaten/kota telah melaporkan kejadian bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, banjir bandang, angin kencang, dan tanah longsor.
"Ada 39 kejadian bencana di rentang tanggal 4-10 Maret 2024 termasuk salah satu yang paling signifikan itu adalah di Sumatra Barat," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam acara Disaster Briefing: Siaga Satu Banjir dan Longsor, dikutip Jumat (15/3/2024).
Banjir dan longsor yang terjadi di wilayah Sumatra Barat sejak Kamis (7/3/2024) menelan korban jiwa sebanyak 19 orang, dua orang luka-luka, dan tujuh orang hilang.
Banjir dan longsor memaksa warga mengungsi. Di wilayah Kota Padang sebanyak 3.734 jiwa mengungsi, Kabupaten Pesisir Selatan sebanyak 29.483 KK / 76.178 jiwa mengungsi, dan Kabupaten Agam sebanyak 49 KK / 209 jiwa mengungsi.
Banjir dan longsor juga menyebabkan kerugian material di wilayah Sumatra Barat sebanyak 37.265 unit rumah terdampak, 666 rumah rusak, 3 unit rumah hanyut, 26 unit jembatan rusak, 45 unit ibadah terendam, 25 unit sekolah terendam, 13 titik ruas jalan terdampak, 2 unit irigasi rusak, 113 hektare lahan terdampak, 300 m2 lahan pertanian terdampak, dan 5 unit fasum terdampak.
Sepanjang periode 4-10 Maret 2024, rentetan bencana terbesar umumnya mengintai wilayah Jawa Tengah. Pada Rabu (13/3/2024) pukul 19.00 WIB, misalnya, banjir bandang terjadi di Desa Wangandowo, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Bencana itu terjadi setelah bangunan penampung air mengalami kerusakan hingga jebol setelah kehilangan daya tampung. Kejadian itu mengakibatkan dua warga meninggal dunia karena hanyut beserta dengan rumah yang ditinggalinya. Kedua korban yang merupakan ibu dan anak itu jenazahnya berhasil dievakuasi.
Pada waktu sama, banjir juga melanda sembilan kelurahan di tiga kecamatan di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Sebanyak 572 warga terpaksa harus mengungsi karena permukiman mereka terendam banjir dengan tinggi muka air (TMA) 15-60 cm.
Bergeser ke arah timur dari Kabupaten Kendal, wilayah Kota Semarang tak luput dari dampak cuaca ekstrem. Puncaknya, pada hari Kamis (14/3/2024), Ibu Kota Jawa Tengah itu dikepung banjir hingga melumpuhkan jalur transportasi darat.
Menurut laporan Kepala Pelaksana BPBD Kota Semarang, Endro Pudyo Martanto, banjir di Kota Semarang dipicu oleh hujan dengan intensitas tinggi dalam durasi yang cukup lama dari siang hingga malam hari. Ruas jalan protokol di beberapa titik Kota Atlas itu terendam hingga 80 sentimeter.
Selanjutnya, Kabupaten Demak juga terendam banjir setelah hujan dengan intensitas tinggi kembali mengguyur sebagian besar wilayah Kota Wali itu. Dampak dari kondisi cuaca ekstrem memengaruhi peningkatan debit air dari wilayah hulu menuju hilir yang melimpas ke permukiman warga.
Bencana banjir juga kembali melanda wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, sejak Kamis (14/3/2024) hingga Jumat (15/3/2204).
Menurut Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Grobogan, Endang Sulistyoningsih, banjir kali ini datang dari hulu Sungai Lusi di wilayah timur, dan air dari sungai-sungai yang berhulu di Pergunungan Kendeng Utara di wilayah utara.
Beberapa peristiwa bencana di atas, harus menjadi alarm bagi seluruh pihak.
Menurut pakar Bencana Geologi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, bencana yang melanda beberapa wilayah Indonesia menjadi tanggung jawab bersama. Mulai dari pemerintah, masyarakat, lembaga usaha, akademisi, termasuk media.
"Bencana itu kan urusan semua orang ya. Jadi orang menyebutnya sebagai penta-helix. Jadi lima pelaku yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana," ujarnya kepada Tirto, Jumat (15/3/2024).
Langkah Penanggulangan Bencana
Sebagaimana lazimnya, kata Eko, penyelenggaran penanggulangan bencana mesti dilakukan dengan banyak langkah. Mulai dari upaya mitigasi, kesiapsiagaan, dan peringatan dini.
"Bicara kewaspadaan itu biasanya ketika kita ada satu kondisi berpotensi siaga darurat. Jadi sebelum darurat ada siaga darurat, ada upaya membangun kesiapsiagaan. Jadi langkah itu yang selalu dipikirkan," kata dia.
Namun masalahnya, kata Eko, pemerintah dan seluruh stakeholder kita jarang melakukan pencegahan. Karena pencegahan kurang, maka kehadiran bencana kerap terjadi dengan intensitas yang besar.
"Nah, pertanyaanya apakah pemerintah, warga, lembaga usaha media, dan akademisi telah melakukan upaya tahapan itu dengan baik? Semakin tidak baik di hulunya, pencegahan semakin berat di hilirnya," ungkap Eko.
Lebih lanjut, menurut Eko, penanganan maupun mitigasi bencana hampir di seluruh wilayah berbeda-beda perlakuannya. Hal ini karena pemerintah pusat tidak bisa menangani seluruhnya, sehingga mandatnya diserahkan kepada pemerintah daerah atau provinsi. Sementara, provinsi juga memberikan mandatnya ke kabupaten atau kota.
"Ini menjadikan setiap kabupaten/kota berbeda cara menanganinya. Maka kalau kita bicara sekarang siaga satu, tentu intensitas risiko bencana itu berbeda di masing masing kabupaten/kota tergantung dia melakukan apa. Ini yang menjadi permasalahan," kata dia.
Jika mitigasi tidak bisa dilakukan, maka yang perlu dilakukan secara bersama-sama adalah kesiapsiagaan. Orang-orang yang berada dikawasan bencana harus mengetahui bahwa mereka berisiko terdampak.
"Orang-orang itu juga ikut memantau bahayanya. Tentu bersama dengan para pihak lain melakukan simulasi dan melakukan respons. Itu menjadi PR bersama," tuturnya
Perlunya Mengetahui Penyebab Bencana
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, mengatakan bencana yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir menyangkut hajat hidup orang banyak. Dampaknya tidak tanggung-tanggung dan ada kerugian besar harus ditanggung oleh pemerintah.
"Pertanyaan dasarnya mengapa ini terjadi? Apakah ada landasan teori yang menjelaskan? Mekanismenya kayak apa sih? Yang men-trigger itu siapa sih? Kan tidak biasa-biasanya. Jadi pertama itu kita harus memahami proses trigger terjadinya itu seperti apa?" kata dia saat dihubungi Tirto, Jumat (15/3/2024).
Tanpa mengetahui itu, kata Eddy, tidak mungkin bisa melakukan prediksi tepat waktu dan tepat sasaran. Bahkan ia khawatir lama-lama bisa menjadi makanan empuk berbagai bencana yang masuk ke kawasan Indonesia.
Seharusnya, kata dia, dua badan resmi yang ditugasi pemerintah untuk memberikan peringatan dini dan menanggulangi bencana yakni BMKG dan BNPB bisa menjelaskan duduk persoalan bencana yang terjadi.
Sementara kapasitas BRIN, ungkapnya, berada di belakang BMKG yang membantu memprediksi dan menjelaskan beberapa faktor penyebab bencana.
"Jangan sampai nanti dua badan besar ini memberi peringatan dini. Kalau dua-duanya bersamaan, kalau dua-duanya beda pendapat kan yang bingung masyarakat. Saya tidak menginginkan itu," terangnya.
Eddy menduga, teknologi atau alat instrumen yang dimiliki BMKG untuk menganalisa bencana masih dalam kapasitas rendah. Padahal, menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah teknologi tinggi yang bisa membaca setiap pergerakan tanda bahaya terjadinya bencana.
"Barangkali ini ya, alat instrumen kita itu didesain dengan resolusi yang tidak tinggi. Mungkin yang harian. Padahal kita butuh yang jam-jaman. Misalnya data radar. Radar ini kemampuannya terbatas," ujarnya.
Untuk itu, tambahnya, ke depan sudah waktunya BMKG beralih ke era di mana harus mengoptimalkan data dengan desain resolusi tinggi. Sebab, mau tidak mau kondisi bencana yang dihadapi Indonesia akan semakin kompleks.
"Artinya frekuensi kejadian ini akan meningkat yang tadinya dominan di saat musim basah, di saat musim transisi juga sudah menunjukan eksistensi. Kita mencari inisial condition-nya. Jadi sebelum terjadi bencana di Kota A sebenarnya kawasan mana yang memberikan inisial pertama kali," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi