tirto.id - Pemerintah akan kembali menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 mendatang. Kenaikan ini tertuang dalam amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), atas pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 29 Oktober 2021 lalu.
Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen dan sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025 mendatang.
Pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen. Hal itu bisa dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN.
“Pertama, tentu masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan-pilihannya adalah keberlanjutan, tentu kalau keberlanjutan program yang dicanangkan pemerintah dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN,” ucap Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam acara media briefing di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Hubungan kenaikan PPN dengan kesejahteraan masyarakat memang menjadi sebuah dilema karena memiliki implikasi positif dan juga negatif. Dari sudut pandang negatif, pengumuman kenaikan PPN tentu akan memancing reaksi beragam dari masyarakat.
Terlebih sebelumnya sudah ada kenaikan lain seperti penetapan pajak bahan bakar minyak (BBM) kendaraan motor non-listrik, hingga melambungnya harga bahan pokok seperti beras yang masih terjadi hingga pertengahan Maret 2024 ini.
Kenaikan PPN akan cukup berpengaruh terhadap willingness to pay atau keinginan untuk membayar bagi masyarakat menengah. Semakin tinggi PPN, maka semakin tinggi juga harga BKP (Barang Kena Pajak)/JKP (Jasa Kena Pajak) yang diperjualbelikan.
Sementara dalam sudut pandang positif, sejatinya PPN merupakan salah satu kontributor penerimaan negara terbesar. Pada kenaikan sebelumnya, PPN 11 persen cukup berdampak positif terhadap penerimaan negara.
Jika menilik data APBN Kita pada 2022, penerimaan pajak berhasil mencapai Rp1.717,8 triliun atau 115,6 persen berdasarkan target Perpres 98/2022, tumbuh 34,3 persen jauh melewati pertumbuhan pajak tahun 2021 sebesar 19,3 persen.
Hal ini berarti kinerja pajak membaik ditunjukkan oleh realisasi yang melampaui target sejak 2021.
Sementara pada 2023, kenaikan PPN 11 persen juga terbukti mampu meningkatkan penerimaan negara berasal dari pajak. Pada tahun lalu, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.869,2 triliun atau 108,8 persen terhadap target APBN atau 102,8 persen terhadap Perpres Nomor 75 Tahun 2023.
Penerimaan pajak tersebut berhasil melampaui target yang telah ditetapkan selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2021. Capaian tersebut meningkat signifikan sebesar 8,9 persen dibandingkan realisasi tahun 2022 yang sebesar Rp1.717, 8 triliun.
"Dampak yang di masyarakat akan dapat dilihat dari dua sisi atau pihak, yaitu pemerintah selaku regulator dan pengusaha dan konsumen selaku regulatee (pihak yg terkena aturan). Masing-masing pihak memiliki versi sudut pandang yang saling kontradiktif," ujar Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, kepada Tirto, Kamis (14/3/2024).
Pemerintah, kata Prianto, pasti akan optimistis bahwa kenaikan tarif PPN tersebut dapat meningkatkan tax ratio dan tidak memberatkan konsumen atau pelaku usaha. Optimisme ini menjadi dasar penerapan kebijakan PPN 12 persen di UU PPN (hasil revisi UU HPP).
Sementara pihak kontra adalah mereka yang terdampak, yaitu pengusaha dan konsumen. Kedua pihak dapat berasumsi bahwa kenaikan tersebut akan memberatkan. Alasannya adalah karena sifat pajak itu distortif, sehingga kenaikan pajak akan mempengaruhi perilaku konsumen.
Selain itu, beban konsumen akan meningkat karena konsumen harus menanggung PPN yang meningkat. Pada gilirannya, konsumsi masyarakat dapat menurun dan penjualan pun juga dapat terdampak.
"Ujungnya adalah laba pengusaha dapat tergerus. Pencapaian PPN dapat meningkat, tapi PPh Badan dapat menurun," jelas dia.
Melemahkan Daya Beli
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ecky Awal Mucharam, menilai bahwa perubahan ketentuan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 sangat kontraproduktif dengan kondisi daya beli masyarakat saat ini.
Sumber PPN terbesar berasal PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.
Artinya, kenaikkan tarif PPN selain akan lebih melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga berpotensi meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional.
“Dengan tarif PPN yang belum lama dinaikkan jadi 11 persen saja, daya beli masyarakat langsung anjlok, bagaimana jadinya jika tarif PPN dinaikkan kembali? Otomatis masyarakat akan menjadi korban,” ungkap Ecky dalam keterangan resminya diterima Tirto, Kamis (14/3/2024).
Salah satu poin dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen yang diberlakukan mulai 1 April 2022, dan 12 persen berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025. Setelah PPN dinaikkan tersebut, Ecky memprediksi langsung berdampak pada daya beli masyarakat yang makin menurun.
Pada 2022, misalnya, menurunnya daya beli masyarakat terlihat dari porsi konsumsi rumah tangga yang sebagian besar digunakan untuk barang habis pakai. Artinya, pendapatan yang diperoleh hampir seluruhnya untuk beli makanan dan perlengkapan rumah tangga. Kemudian pada 2023, tren penurunan daya beli masyarakat masih berlanjut
“Fenomena ‘mantab’ (makan tabungan) masyarakat menengah pada 2023 menjadi isu yang hangat,” lanjut Ecky.
Adanya hal tersebut sesuai dengan hasil survei konsumen yang dilakukan BI, bahwa rasio konsumsi kelompok dengan pengeluaran di bawah Rp5 juta sebagian besar mengalami penurunan.
Penurunan paling dalam dicatatkan oleh kelompok pengeluaran Rp2,1 juta hingga Rp3 juta, diikuti kelompok pengeluaran Rp4,1 juta sampai Rp5 juta.
Tarif baru PPN, lanjut dia, justru malah akan mendorong inflasi tinggi yang mengindikasikan harga-harga barang/jasa semakin mahal. Pada kelanjutannya akan membuat daya beli masyarakat makin terpuruk.
“Para pelaku industri dari golongan ekonomi atas akan dengan mudah menaikan harga barangnya ketika tarif PPN bahan baku industrinya meningkat, pada akhirnya masyarakat ekonomi menengah ke bawah sebagai konsumen yang akan menanggung secara langsung kenaikan tarif PPN,” tutur Ecky.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan kenaikan PPN akan berdampak langsung pada kenaikan harga barang. Harga tersebut meningkat lantaran adanya biaya yang harus ditanggung lebih banyak dari proses aktivitas barang ketika dijual melalui penarikan PPN.
“Kita juga menyaksikan ketika pemerintah melakukan penyesuaian tarif PPN di 2022 yang lalu, terjadi kenaikan inflasi yang relatif signifikan yang pada saat itu disumbang dari kebijakan tarif baru PPN dan kenaikan permintaan barang dan jasa ketika bulan Ramadhan,” ujar dia.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, memahami bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan mengerek harga barang atau jasa. Namun, seberapa besar dampaknya itu yang penting untuk kemudian dijawab.
"Mengingat adanya fasilitas PPN dan ambang batas PKP, dampak kenaikan tarif terhadap inflasi tidak akan besar. Hasil kalkulasi tahun 2022 lalu hanya 0,4 persen itupun sudah memasukkan faktor kenaikan harga BBM pada tahun 2022," kata Fajry kepada Tirto, Kamis (14/3/2024).
Jika merujuk data C-efficiency ratio, kata Fajry, nilainya masih sekitar 63 persen. Dari seluruh nilai transaksi konsumsi masyarakat, yang masuk ke dalam sistem PPN hanya 63 persen saja. Itupun sudah memasukan faktor restitusi PPN.
"Dan kalau dilihat dari jumlah transaksi, harusnya jauh lebih kecil lagi mungkin bisa di bawah 50 persen. Inilah salah satu penyebab tax ratio kita rendah, banyak transaksi ekonomi kita yang tak masuk dalam sistem PPN," jelas Fajry.
Kalau dengan kondisi seperti itu, kata Fajry, bagaimana mungkin dampak kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen bisa berdampak besar ke ekonomi masyarakat. Memang betul, kata dia, jika kelompok menengah paling terdampak diantara kelompok pendapatan lainnya.
Dan lagi, dari penghasilan pajak yang diterima pemerintah akan dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk public spending, seperti pembangunan infrastruktur, bansos, dan program makan siang gratis kalau jadi dijalankan.
"Artinya, uang tersebut pada akhirnya kembali ke masyarakat. Ada dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat," tuturnya.
Picu PHK Massal
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, berpandangan bahwa kenaikan PPN secara langsung juga berdampak pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
Menurut dia, kelas menengah terdampak paling serius terhadap penerapan PPN menjadi 12 persen. Hal ini juga dilihat dari faktor lain yang memperburuk keadaan seperti kenaikan harga pangan terutama beras, suku bunga tinggi, dan sulit mencari pekerjaan.
Kenaikan tarif PPN juga dikhawatirkan menurunkan tingkat belanja masyarakat, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik atau skincare bisa melambat.
Imbas lain, menurut Bhima, pelaku usaha akan berusaha menyesuaikan harga akibat naiknya tarif PPN, hal ini menimbulkan efek domino ke omzet dan pada akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan.
"Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor,” ucap Bhima kepada Tirto, Rabu (13/3/2024).
Oleh karena itu, pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif PPN 12 persen karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga.
Daripada menaikkan PPN hingga 12 persen, Bhima menuturkan seharusnya lebih difokuskan pada pembahasan pajak kekayaan, pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon.
Senada dengan Bhima, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menjelaskan kenaikan tarif PPN setidaknya akan berimbas pada minat ekspansi usaha yang berkurang. Selain itu bisa berakibat ke penyerapan tenaga kerja baru semakin sedikit.
Upaya Peningkatan Pajak & Tax Ratio
Namun, terlepas dari itu kenaikan 1 persen tarif PPN dianggap tepat dari sisi pembuat kebijakan. Hal ini karena tarif tersebut sudah direncanakan oleh pemerintah dan wakil rakyat di DPR. Pada akhirnya, kenaikan tarif PPN tersebut sudah ada di Pasal 7 UU PPN (hasil revisi UU HPP).
"Asumsi dasar yang menjadi pertimbangan kenaikan tersebut adalah tax ratio. Dengan tax ratio yang meningkat, diharapkan bahwa pemerintah punya keleluasaan untuk alokasi pembiayaan pembangunan tanpa tergantung dengan utang," ujar Prianto Budi Saptono kembali.
Prianto melihat, dasar pertimbangan kenaikan PPN di saat perumusan kebijakan di RUU HPP adalah tax ratio. Maka secara otomatis PPN 12 persen dapat mengerek peningkatan penerimaan pajak dan meningkatkan tax ratio.
Jika ditarik ke belakang, tax ratio kita sebenarnya sudah mengalami tren penurunan sejak 1980, meskipun pergerakannya selalu dinamis dari tahun ke tahun. Kondisi rasio pajak kita bahkan pernah berada di level terendahnya pada saat pandemi COVID-19.
Sementara, jika melihat data terakhir pada 2023, angka tax ratio sudah kembali ke level dua digit, yakni 10,21 persen (angka sementara). Posisi ini pun sebenarnya masih turun dari tahun sebelumnya 2022 sebesar 10,4 persen.
Secara sederhana, bahwa pemerintah tidak jadi menaikkan tarif PPN atau tetap menaikkan tarif sesuai UU PPN merupakan sebuah kebijakan. Ketika kenaikan tarif PPN adalah untuk peningkatan tax ratio, pemerintah harus terus meningkatkan tax awareness. Tujuannya agar masyarakat yang bayar pajak tidak melihat hanya sebagai beban usaha yang harus diefisienkan, tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah menyetujui pajak melalui wakilnya di DPR.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto