Menuju konten utama

TikTok Shop Langgar Aturan, Kenapa Pemerintah Tak Berani Tegas?

Jika pemerintah tak tegas dan membiarkan Tiktok Shop beroperasi secara liar, maka pembatasan impor berbagai barang di pasar digital jadi kurang efektif.

TikTok Shop Langgar Aturan, Kenapa Pemerintah Tak Berani Tegas?
Ilustrasi TikTok Shop. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - TikTok hingga hari ini masih belum mematuhi peraturan di Indonesia. Mereka belum juga melakukan pemisahan yang jelas antara platform media sosial dan platform e-commerce atau TikTok Shop.

Hal ini jelas melanggar regulasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Permendag Nomor 31 Tahun 2023 salah satunya mengatur tentang kebijakan multi channel di e-commerce, yakni kepatuhan dengan aturan pemisahan e-commerce dari media sosial.

“Saat awal kemunculannya, TikTok tidak mematuhi hukum Indonesia, mereka memfasilitasi penjualan produk, padahal izinnya hanya kantor perwakilan, sesuai regulasi seharusnya hal ini tidak boleh dilakukan,” kata Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki.

TikTok sebelumnya memang sempat tunduk dan menghentikan operasional TikTok Shop di Indonesia pada 4 Oktober 2023. Namun, TikTok Shop kembali hadir dengan warna baru setelah menggandeng Tokopedia.

Apa yang dilakukan TikTok berbeda dengan platform media sosial lain seperti Instagram dan Facebook yang hanya berfungsi sebagai platform promosi tanpa menyediakan fitur check out.

TikTok Shop justru menawarkan pengalaman terintegrasi yang memungkinkan pengguna untuk berpromosi dan melakukan check out langsung di platform-nya.

“Perlu ada sanksi tegas bagi yang melanggar Peraturan Menteri Perdagangan (Nomor 31 Tahun 2023) karena di dalam Permendag sendiri sudah diatur terkait sanksi sampai dengan pencabutan izin,” jelas Teten.

Selain belum mematuhi pemisahan dengan media sosial, TikTok juga masih memainkan predatory pricing. Kondisi demikian, kata Teten, membuat iklim UMKM lokal terancam terganggu.

"Kedua, main harga kan, kan sudah diatur kan main harga ini jangan sampai memukul UMKM," kata Teten.

Meski berpeluang mencabut izin TikTok Shop, Teten masih mempertimbangkan kepentingan investasi. Karena itu, dia akan terus mengajak pihak TikTok untuk segera mematuhi aturan Permendag terbaru.

"Masalahnya kita berani tegas tidak, kalau pemerintah enggak konsisten ya enggak akan dihargai penegakan hukum kita," pungkas Teten.

Pasar Tanah Abang

Pedagang di Central Tanah Abang, Jakarta Pusat, melakukan siarang langsung di TikTok.. tirto.id/Fajar Nur

Pemerintah Tunduk kepada Cina?

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, ada kepentingan tertentu sehingga TikTok dibiarkan melakukan pelanggaran terlalu lama. Sebab masa toleransi untuk peralihan sistem dari TikTok Shop ke Tokopedia juga dianggap kurang tegas.

"Kalau dilihat kurang tegasnya pemerintah dalam persoalan TikTok Shop, ada indikasi daya tawar pemerintah terhadap perusahaan Cina memang lemah. Pemerintah tunduk di bawah pengaruh korporasi Cina," ujar Bhima kepada Tirto, Jumat (8/3/2024)

Bhima khawatir, jika tidak ada tindakan tegas pemerintah dan membiarkan Tiktok Shop beroperasi secara liar, maka upaya untuk membatasi impor berbagai barang di pasar digital menjadi kurang efektif. Akibatnya banjir impor via sosial commerce tetap tidak ada solusinya.

Atas dasar itu, Bhima mendesak pemerintah untuk berlaku tegas dengan langsung melakukan pelarangan social commerce untuk menegakkan regulasi. Jangan sampai, pemerintah justru tunduk dengan perusahaan tersebut.

"Jangan terlalu banyak statement di publik, yang makin menunjukkan pemerintah kalah nyali dalam mengendalikan raksasa teknologi asing," kata dia.

Sementara Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, melihat apa yang dilakukan TikTok saat ini rawan konflik.

Pasalnya, TikTok Shop saat ini masih menggunakan sistem backend-nya Tokopedia sebagai pemilik lisensi loka pasar. Di saat bersamaan juga kegiatan berbelanjanya masih dilakukan di TikTok Media Social.

"Ini yang rawan konflik di mana terdapat aturan yang melarang hal tersebut," kata Huda kepada Tirto, Jumat (8/3/2024).

Huda menilai, yang menjadi masalah saat ini adalah penegakan aturan pemerintah terkesan sangat lembek. Dia menduga kedekatan antara Tokopedia-TikTok dengan penguasa memengaruhi pemerintah akan implementasi kebijakan ini.

"Ini sudah saya sampaikan bahwa jika tidak dilakukan switching apps, timbul pertanyaan dari sisi penerapan Permendag 31/2023," kata dia.

Dalam Permendag tersebut, tambahnya, disebutkan bahwa social commerce tidak diizinkan untuk menjual barang selayaknya loka pasar atau e-commerce. Peraturan pun tidak mengatur daerah abu-abu seperti tindakan TikTok Shop di mana memang berada di wilayah loka pasar social commerce.

"Ini pasti akan menimbulkan masalah ke depannya yang saya sudah sampaikan ketika Permendag 31/2023 ini keluar. Wilayah abu-abu ini rawan konflik sengketa," pungkasnya.

TikTok resmi buka kembali fitur belanja

Pedagang berjualan melalui siaran langsung di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (11/12/2023). ANTARA FOTO/Cahya Sari/sgd/aww.

Pemerintah Harus Ekstra Hati-hati

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal, mengatakan dalam persoalan ini pemerintah harus ekstra hati-hati mengambil keputusan.

Menurutnya, ini bukan hanya masalah penerbitan aturan, tapi juga dalam hal implementasi dan eksekusi regulasi.

"Termasuk memonitor apakah comply atau tidak. Apakah sudah menaati aturan tersebut atau tidak TikTok ini," kata Faisal kepada Tirto, Jumat (8/3/2024).

Karena menurut Faisal, dampaknya akan besar bagi industri dalam negeri. Termasuk di antaranya UMKM, bahkan deindustrialisasi.

"Dalam konteks ini, kalau kita lihat negara lain terutama yang punya pasar dalam negeri besar, sangat hati-hati begitu ada ancaman yang bisa meningkatkan impor barang-barang luar dan mengganggu industri domestik," ungkapnya.

Maka itu, ketegasan pemerintah dan harmonisasi kebijakan menjadi sangat penting. Jangan sampai, kata dia, kebijakan pemerintah yang satu dengan yang lain, antara kebijakan perdagangan dan industri UMKM, misalnya, justru berbeda.

"[Regulasi] harus berjalan jangan sampai bertolak belakang," ujarnya.

Kementerian Perdagangan sebelumnya sempat berencana akan memanggil Tokopedia untuk memastikan proses migrasi yang dilakukan setelah TikTok bergabung, apakah sudah mematuhi Permendag Nomor 31 Tahun 2023 atau belum.

“Minggu ini kami panggil untuk lihat patuh kah atau comply-kah dengan Permendag 31,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim, beberapa waktu lalu.

Dia menambahkan, berdasarkan catatan terbaru, hingga saat ini proses migrasi Tokopedia dan TikTok usai bergabung masih belum sepenuhnya mematuhi aturan Permendag 31. Sebab itu, proses migrasi data dari kedua platform tersebut didorong harus mematuhi aturan.

Kemudian, proses pembayaran transaksi e-commerce di TikTok Shop harus dialihkan sepenuhnya ke platform Tokopedia.

“Nanti pembayaran akan beralih ke Tokopedia, tapi yang pasti bukan hanya migrasi data yang kita pastikan, tapi harus comply dengan Permendag 31,” ucap dia.

Sementara dalam keterangan tertulisnya, Head of Tokopedia, Aditia Grasio Nelwan, mengatakan saat ini Tokopedia masih dalam proses migrasi dari TikTok. Dia tidak menjelaskan secara detail kapan tenggat waktu kedua platform itu menyelesaikan migrasinya.

"Untuk saat ini kami masih melakukan migrasi sistem dari TikTok ke Tokopedia. Saat ini proses migrasi sudah hampir selesai," kata Aditia melalui keterangan tertulis.

Tirto, juga sudah mencoba mengonfirmasi kepada perwakilan TikTok Indonesia terkait dengan masalah pelanggaran dan migrasi. Namun, hingga berita ini ditayangkan belum ada respons dari pihak TikTok.

Baca juga artikel terkait TIKTOK SHOP atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi