tirto.id - Singapura menjadi satu-satunya kawasan Asia Tenggara yang berhasil mendatangkan penyanyi ternama, Taylor Swift. Penyanyi asal Amerika Serikat itu, diketahui telah melakoni tur musik dunia bertajuk The Eras Tour secara berturut-turut, pada 2 hingga 4 Maret 2024 kemudian dilanjutkan 7 hingga 9 Maret 2024.
Keberhasilan Singapura memboyong Taylor Swift, tidak lepas dari campur tangan dukungan pemerintah di sana. Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, bahkan rela memberikan insentif kepada Taylor Swift dan menguncinya agar Singapura menjadi satu-satunya negara persinggahan di Asia Tenggara dalam tur dunianya.
"Agensi-agensi [kami] menegosiasikan kesepakatan dengan dia untuk datang ke Singapura dan tampil dan menjadikan Singapura sebagai satu-satunya perhentiannya di Asia Tenggara," kata Lee dalam sebuah konferensi pers di Melbourne dikutip Reuters.
Keberhasilan Singapura mendatangkan Taylor Swift membuat negara-negara tetangga lainnya meradang, termasuk Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, bahkan ingin menggagas penyelenggaraan konser musik eksklusif kelas dunia untuk menandingi Singapura.
"Apa yang diberikan Singapura, kita berikan sama dia [artisnya]. Kita harus berani bersaing, kalau Singapura bisa untung, masa kita tidak bisa?,” kata Luhut pada penutupan Business Matching 2024 di Sanur, Denpasar, Kamis (7/3/2024).
Luhut mengaku sudah mengadakan rapat terkait rencana itu. Dalam enam bulan, salah satu pelaku usaha bidang hiburan akan mendatangkan artis luar negeri dan sudah mendapatkan izin kegiatan. Dia pun meminta pelaku usaha itu untuk melakukan kontrak dengan artis lain dan mengadakan konser tandingan.
“Enam bulan, dia [pelaku usaha] sudah dapat izin, kontrak saja [artinya]. Saya ada satu pemain dalam bidang hiburan ini, saya bilang cari [artis] yang lain, itu sudah, kontrak saja berapa lama,” ucap Luhut.
Luhut mengakui, konser Taylor Swift di Singapura memberikan pundi-pundi pendapatan berupa devisa. Termasuk tingkat hunian hotel penuh selama sembilan hari di negeri dengan ikon kepala Singa itu.
“Selama dua minggu tidak bisa ke Singapura karena ada Taylor show di sana, sembilan hari hotel penuh, kenapa? Karena di Indonesia tidak bisa pertunjukkan dia,” katanya namun tidak memberikan detail penyebab tidak bisa melaksanakan tur di Indonesia.
Keinginan pemerintah untuk membuat konser tandingan kelas dunia seperti di Singapura disambut baik Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI). Ketua Umum APMI, Dino Hamid, melihat keinginan dan semangat pemerintah untuk menggelar konser konser kelas dunia menjadi bukti perhatiannya terhadap industri ini.
“Kalau bicara semangatnya sih kita semua sangat senang ya. Selama ini mungkin industri kami hanya hiburan, tapi ternyata kan diakui industri kami industri ekosistem kan setelah melihat Singapura,” ujar Dino saat dihubungi Tirto, Jumat (8/3/2024).
Visi Indonesia Harus Jelas
Dino menilai keinginan pemerintah untuk membuat konser tandingan kelas dunia harus didasari pada visinya. Sebab, di Singapura sendiri visinya sudah cukup jelas, mereka menjadikan konser itu sebagai salah satu ujung tombak untuk mendapatkan devisa negara.
“Karna mereka salah satu yang terbesar dari tourism. Kalau di Indonesia visinya kemana? kalau memang visinya sama dengan Singapura atau lebih besar menurut saya iya sewajarnya sudah dilakukan sejak dahulu kala,” ujar Dino.
Padahal menurut Dino, jika bicara blocking artis, Indonesia lebih rasional. Alasannya, karena memiliki stadion yang bisa digunakan untuk menyelenggarakan konser dengan kapasitas besar seperti ada di Jakarta, Bandung, Bali dan Surabaya.
“Jadi menurut saya harus bisa nge-block dengan kapasitas penduduk kita yang lebih besar dibandingkan Singapura,” ungkap Dino.
Jika visinya sudah jelas, lanjut Dino, maka hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberikan perhatian lebih kepada industri ini. Karena Pemerintah Singapura saja, bisa memberikan dukungan seperti dana terhadap industri ini.
“Kalau balik lagi oke tujuannya untuk ciptakan tourism, berarti clear kan tujuannya ke situ. Jadi program yang diutamakan kaya Singapura. Saya yakin, dengan pemikiran seperti itu [pemerintah bisa] menyiapkan anggaran untuk visi tersebut,” kata Dino.
Pemerintah sebelumnya sudah berencana untuk menggelontorkan dana sebesar Rp2 triliun untuk menjamu konser musisi dunia. Duit tersebut digunakan untuk memfasilitasi berbagai konser dan event internasional melalui Indonesia Tourism Fund.
Anggaran itu akan dimasukkan dalam dana kebudayaan, kepariwisataan serta melibatkan semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan kepariwisataan.
“Promotor itu bisnis yang terlihat keren, tetapi sebenarnya berisiko sangat tinggi karena income cuma dua dari tiket dan sponsorship. Makanya kalau ada sponsor dari pemerintah saya yakin industrinya akan jauh lebih progresif dan maju,” kata Dino
RI Masih Punya PR Besar
Terlepas dari itu, pengamat musik, Nuran Wibisono, menilai pemerintah perlu belajar dari Negeri Singa sebelum menggagas konser musik tandingan kelas dunia. Alasannya, Singapura sudah lama menyelesaikan urusan-urusan kecil seperti masalah perizinan, transportasi, dan penunjang dari sektor ini.
"Jadi sebelum Singapura berani ngontrak Taylor Swift segala macam mereka dari dulu selesai dengan urusan-urusan basic-nya. Makanya ketika Singapura memutuskan menjadi negara yang juga punya fokus ke konser itu tidak kagok. Jadi semuanya bisa," kata Nuran saat dihubungi Tirto, Kamis (8/3/2024).
Sementara di Tanah Air, Nuran menilai, masih banyak banyak faktor dasar yang belum terpenuhi dengan baik. Salah satunya di Jakarta, untuk urusan venue mengandalkan kawasan Senayan karena akses transportasi yang memadai.
"Kayak misalkan konser di JIS. Kalau di sana kan banyak yang mengeluh karena susah transportasi, mau kesana macet susah mau pulangnya apalagi karena sudah malam sudah tidak ada transportasi. Begitu pula konser di Ancol atau di PIK itu agak susah," ungkap Nuran.
Kondisi di Tanah Air berbanding terbalik dengan ada di Singapura. Seluruh akses ke venue pertunjukan konser sudah diperhatikan lebih matang.
"Jadi ku pikir sebelum pemerintah Indonesia itu gembar-gembor atau tidak mau kalah dengan Singapura itu dulu, ada banyak hal basic dulu yang perlu dibereskan," ujar Nuran.
Belum lagi bicara soal perizinan. Nuran menuturkan, untuk mengurus konser internasional di Indonesia izinnya cukup berbelit-belit. Bahkan APMI saja, pernah mengeluhkan proses perizinan yang melewatkan belasan pintu. Padahal pemerintah sebelumnya sempat menjanjikan pelayanan perizinan satu pintu untuk kegiatan ekonomi kreatif.
“Jadi saya pikir sebelum jadi kayak Singapura atau bersaing dengan Singapura soal konser perbaiki dulu hal-hal basic-nya dulu, kalau buat aku ya,” Nuran.
Ketika masalah perizinan sudah beres, kata Nuran, maka kerja promotor akan lebih mudah. Sebaliknya, jika masih berkutat masalah perizinan hal-hal lainnya masih mengantri di belakang seperti hal insentif, dukungan dana pemerintah dan lain-lain.
“Jadi kalau boleh kasih saran itu tadi fokus aja dulu perizinan, selesaikan dulu perizinan satu pintu kalau sudah selesai evaluasi setahun apakah membantu atau tidak. Kalau kurang apa yang diperbaiki dari sana baru kita bisa bicara yang lain,” pungkas Nuran.
Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, mengatakan regulasi terkait pelayanan perizinan satu pintu untuk kegiatan ekonomi kreatif telah memasuki tahap finalisasi. Perizinan seperti acara seni dan olahraga bakal memangkas waktu menjadi 14-21 hari sebelum acara.
“Memang ada di kami (perizinan) yang nantinya akan dibuatkan mekanisme perizinan satu pintu. Saat ini masih dalam tahap finalisasi dan kami juga sedang berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Ini akan uji coba di lima venue dahulu yang ada di Jabodetabek diantaranya ICE BSD, JIS, dan GBK. Kita coba dahulu di tengah-tengah Pemilu, tetap ada konser,” kata Sandiaga.
Digitalisasi di dalam regulasi itu, kata Sandiaga, juga diharapkan bisa mempercepat proses perizinan. Proyek percontohan digitalisasi perizinan tersebut akan diuji coba dan dievaluasi secara periodik, sehingga memudahkan penyelenggara untuk mendapatkan perizinan.
“Kita berharap prosesnya selesai 21 hari untuk perizinan. Dan apabila konser-konser besar diharapkan 3 bulan sebelum konser digelar izinnya sudah bisa keluar. Sementara untuk konser-konser yang lebih kecil diharapkan 1 bulan sebelum konser digelar perizinannya sudah keluar. Jadi tidak last minute izinnya keluar,” kata Sandiaga.
Evaluasi untuk Pariwisata Indonesia
Pakar Strategi Pariwisata Indonesia, Taufan Rahmadi, mengakui, masalah perizinan menjadi hal perlu dievaluasi. Alasannya, karena sering dikeluhkan promotor-promotor event.
Mulai dari perizinan yang rumit dan berbiaya tinggi. Alhasil, berdampak pada biaya produksi acara di Tanah Air.
"Produksinya jadi relatif tinggi dibandingkan negara negara lain. Ini yang kemudian menyebabkan banyak promotor yang mengurungkan niatnya menjadikan Indonesia sebagai lokasi event," kata Taufan kepada Tirto, Jumat (8/4/2024).
Kemudian, persoalan acara musik, olahraga ataupun budaya di Indonesia, seringkali dicampuradukkan dengan persoalan politik. Salah satunya yaitu perhelatan U20 di Indonesia yang gagal dan menyebabkan potensi hilangnya kedatangan 50.000 wisman.
"Menurut saya pola pikir penyelenggara event harus dirubah, sampaikan kepada dunia bahwa ada ribuan lokasi eksotik nan indah di Indonesia untuk dijadikan tempat berlangsungnya event," ungkap Taufan.
Dia menuturkan, acara konser internasional, jangan hanya berpusat pada Jakarta Sentris atau Jawa Sentris. Tapi perlu juga ditawarkan kepada para artis-artis dunia, para penonton wisman, tempat-tempat yang membuat mereka melihat juga keindahan objek wisata di Indonesia.
"Jadi kita tidak kalah dengan Singapura," ujarnya.
Tetapi, dia menilai hal yang terpenting adalah bagaimana Indonesia sebagai penyelenggara mampu menyakinkan artist-artis dunia untuk melakukan konser musiknya. Misal konser U2 di Danau Toba , konser Sting di Gili Trawangan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin