Menuju konten utama

TNI-Polri Bisa Isi Jabatan ASN Hanya Acak-acak Meritokrasi PNS

Isnur sebut membiarkan TNI-Polri aktif menjadi ASN akan menimbulkan kekacauan. Kebijakan ini sebagai titik nadir mandat reformasi.

TNI-Polri Bisa Isi Jabatan ASN Hanya Acak-acak Meritokrasi PNS
Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) melempar peci usai upacara pelantikan di Lapangan Tegar Beriman, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (3/12/2021). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/tom.

tirto.id - Prajurit TNI dan personel Polri diperbolehkan mengisi jabatan aparatur sipil negara (ASN). Hal ini akan semakin lancar sebab pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait tata kelola ASN atau manajemen ASN yang ditargetkan rampung April 2024. RPP ini juga bakal mengatur terkait jabatan ASN yang bisa diisi oleh TNI-Polri, begitu juga sebaliknya.

Adanya RPP ini menambah sikap terang pemerintah Joko Widodo dalam membentang karpet merah bagi TNI-Polri duduk di kursi jabatan sipil. Sebelumnya, Jokowi sudah mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil dan Negara (ASN). Di dalamnya, Kepala Negara mengizinkan TNI dan Polri mengisi jabatan ASN sebagaimana bunyi Pasal 19 ayat 2 dalam aturan tersebut.

Tak ayal sikap Pemerintah Jokowi memberikan jalan mulus untuk TNI-Polri menduduki jabatan ASN menuai protes. Kekhawatiran sejumlah pihak pada kembalinya bayang-bayang Dwifungsi ABRI masa Orde Baru dan carut-marut manajemen bermunculan. Seperti yang diutarakan Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rozy Brilian.

Menurut Rozy, adanya RPP ini memang sejalan dengan UU Nomor 20/2023 tentang ASN yang baru. Di dalamnya jelas menyebutkan bahwa TNI-Polri diperkenankan menjabat sebagai ASN, begitupun sebaliknya. Aturan ini disebut Rozy mengangkangi supremasi sipil dan pembangkangan terhadap amanat reformasi.

“Ini membuat Polri dan TNI jauh dari kata profesional sesuai mandat Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang turunannya. Dalam hal ini Undang-Undang TNI ataupun Undang-Undang Polri,” kata Rozy kepada reporter Tirto, Rabu (13/3/2024).

Tugas-tugas dalam UU TNI Nomor 34/2004 dan UU Polri Nomor 2/2022 disebut akan bertumpukan dengan tugas ASN. Hal ini akan membuat kekacauan dalam tata kelola ASN, maupun bagi profesionalitas TNI-Polri.

Di sisi lain, masuknya TNI-Polri dalam jabatan sipil juga berpotensi merugikan ASN. Rozy berpendapat, bukan tidak mungkin ASN yang akan naik jenjang justru terhambat karena adanya prajurit TNI atau personel Polri lebih diutamakan.

“Jelas mundurnya kembali semangat reformasi sektor keamanan yang menghendaki agar mereka [TNI-Polri] profesional. Kemudian mundur dari semangat penghapusan Dwifungsi ABRI yang jadi salah satu agenda reformasi,” tutur Rozy.

Padahal, kata Rozy, reformasi memandatkan TNI kembali ke tugas mulianya sebagai unsur pertahanan negara nomor wahid. Begitu juga Polri, yang akhirnya dipisahkan dari TNI dan diamanatkan tugas mulia untuk melindungi dan melayani masyarakat. Masuknya TNI-Polri menjadi ASN justru membuat agenda reformasi berjalan mundur.

“Kami khawatir akan meningkatkan pendekatan keamanan. Jadi masalah-masalah yang seharusnya diselesaikan lewat domain sipil itu akhirnya menyeret-nyeret militer atau polisi yang berpotensi muncul satu pelanggaran HAM,” kata Rozy.

Nada miring terkait RPP Manajemen ASN juga datang dari Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Agus Pramusinto. Agus menilai seharusnya setiap aturan dibuat dengan kajian akademik yang disertai dengan data-data.

Sebelum diterapkan, kata dia, aturan tersebut harus melewati uji publik terlebih dulu. Yakni dilakukan simulasi seberapa besar dampak positif dan negatif akibat adanya aturan tersebut.

Agus menegaskan, prinsip untuk masuk sebagai ASN tetap harus berdasarkan sistem merit yang terdiri atas penilaian kompetensi dan kinerja yang tinggi.

“Aturan baru jangan menyebabkan karier ASN menjadi sempit, sehingga mereka mengalami demotivasi, kinerja menurun dan akhirnya masyarakat penerima pelayanan publik yang dirugikan,” ujar Agus kepada reporter Tirto, Rabu (13/3/2024).

Disetujui Anggota Komisi II DPR

Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menyatakan memang ASN bisa diisi oleh prajurit TNI dan personel Polri dengan batas-batas tertentu. Menurut dia, hadirnya UU ASN Nomor 20/2023 tidak mengubah aturan main mengenai jabatan ASN bagi TNI-Polri yang sudah tertuang dalam UU ASN versi lama, yakni Nomor 5/2014.

“Jadi yang berkaitan dengan tugas fungsi pokoknya di lembaga masing-masing dan pada level tertentu, jadi enggak semua. Jadi hanya pada eselon I dan pemerintah pusat, jadi enggak boleh di semua lingkungan apalagi di pemda, memang ada batas-batas tertentu,” ujar politukus Partai Golkar ini di Kompleks DPR-MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3/2024).

Senada dengan Dolly, Anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus, mengakui bahwa pihaknya tidak khawatir akan timbul polemik jika TNI-Polri duduk di kursi jabatan ASN. Bahkan, politikus PAN itu menegaskan RPP yang sedang digodok merupakan kesepakatan antara DPR dan pemerintah.

“Itu kan UU ASN kan direvisi, sekarang sudah sesuai dengan pembuatan UU itu dilakukan oleh DPR bersama pemerintah. Artinya itu adalah sikap dari dua institusi itu,” kata Guspardi ditemui Tirto, di Kompleks DPR-MPR, Senayan, Rabu (13/3/2024).

Guspardi mengeklaim, DPR sudah mewanti-wanti dalam pembuatan aturan agar jabatan TNI-Polri tidak terlalu luas seperti era Orde Baru. Dia meminta masyarakat jangan terfokus pada jabatan ASN yang bisa diduduki TNI-Polri semata, karena ASN pun kini dapat berada di instansi TNI-Polri.

“Terobosan baru itu adalah ASN bisa ke [TNI-Polri] yang dulu kan nggak pernah itu. Jangan dilihat TNI-Polri saja. Dan itu pun ada spesifikasinya bukan semua jabatan TNI-Polri, itu yang paling penting,” sambung Guspardi.

Reporter Tirto sudah mencoba menghubungi Kepala Biro Data Komunikasi dan Informasi Publik Kemenpan-RB, Mohammad Averrouce, serta Deputi Bidang SDM Aparatur mereka, Aba Subagja, untuk meminta penjelasan mengenai RPP Manajemen ASN yang tengah digodok pemerintah. Namun hingga berita ini ditulis, permintaan wawancara Tirto belum berbalas.

Sebelumnya, mengenai TNI-Polri dapat menjabat sebagai ASN dalam UU ASN yang sudah direvisi tahun lalu, Averrouce sempat membeberkan kepada Tirto mekanismenya. Averrouce menjelaskan, keterlibatan TNI dan Polri dalam mengisi posisi instansi atau jabatan ASN sebenarnya bukan hal baru. Sebab, ketentuan tersebut merupakan bentuk timbal balik yang sudah ada sejak UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

“Ini merupakan reciprocal. Di UU ASN yang lama Undang-Undang 5/2014 juga ada pengaturannya,” kata Kepala Biro Data Komunikasi dan Informasi Publik, Mohammad Averrouce kepada Tirto, Senin (6/11/2023).

Mengancam Meritokrasi

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai potensi tumpang tindih wewenang akan tinggi jika TNI-Polri menjabat sebagai ASN. Masalahnya, kata dia, ketentuan itu akan bertentangan dengan UU TNI dan UU Polri jika terus dipaksakan berjalan.

“Misal UU TNI dia mengatur jika jadi ASN harus sudah selesai keprajuritan. Dan UU Polri saat polisi pensiun dan tidak aktif. Saya agak bingung dengan aturan di sini [RPP] karena harusnya kan UU dua tadi terdahulu direvisi,” kata Trubus kepada reporter Tirto.

Trubus berpandangan, konflik kepentingan juga akan mendominasi dalam jenjang karier ASN. Ditambah, KASN tidak akan berdaya mengawasi TNI-Polri yang memiliki rantai komando sendiri-sendiri.

“KASN tidak akan berdaya menghadapi TNI-Polri dan menjadi macan ompong doang. Kalau ada pelanggaran tidak akan bisa berbuat banyak karena mereka akan tunduk pada induknya,” ujar Trubus.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyatakan membiarkan TNI-Polri aktif menjadi ASN akan menimbulkan kekacauan. Dia menilai kebijakan ini sebagai titik nadir mandat reformasi.

“Karena sejak awal, baik itu rekrutmen, baik itu pendidikan, baik itu karakter, baik itu kemudian arah pengembangan kapasitas, sangat berbeda antara TNI Polri dengan ASN, dengan PNS,” ujar Isnur kepada reporter Tirto, Rabu (13/3/2024).

Isnur menyayangkan ketentuan ini dilegalkan melalui kebijakan yang sangat strategis. Dia menyebut, demokrasi akan semakin terancam karena ruang dialog menjadi semakin menyempit jika TNI-Polri mengurusi birokrasi sipil.

Sementara itu, Komisioner KASN tahun 2019-2024, Sri Hadiati Wara Kustriani, mengaku bahwa sistem merit antara TNI-Polri dan ASN berbeda. Keduanya tidak bisa disatukan karena memiliki prosedur dan paradigma masing-masing.

“TNI-Polri jelas jalurnya komando, sedangkan ASN punya tugas fungsi yang utama melayani masyarakat partisipatif. Apakah bisa kemudian paradigma komando tadi berubah secara singkat menjadi paradigma partisipatif dan kolaboratif seperti yang ada di dalam ASN?” kata Hadiati kepada reporter Tirto, Rabu (13/3/2024).

Lebih lanjut, Hadiati menilai seharusnya sistem merit ASN yang sudah ada dibiarkan dulu berkembang agar talenta sipil yang ada tidak terhambat. Jika TNI-Polri akan menjabat sebagai ASN, dia meminta agar diisi oleh personel atau prajurit non-aktif dan melalui seleksi ASN terbuka.

Ditambah, kata dia, fungsi pengawasan KASN juga akan dinonaktifkan sesuai dengan UU ASN yang sudah direvisi. Nantinya, pengawasan ASN akan dilakukan oleh pemerintah melalui Kemenpan-RB dan BKN.

“Pengawasan tidak lagi mandiri dan independen karena pengawasan akan dipindahkan ke Kemenpan dan BKN. Bagaimana nanti [nasib] pengawasan ini kalau dilakukan oleh lembaga-lembaga yang notabenenya di bawah pemerintah,” ungkap Hadiati.

Baca juga artikel terkait ASN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz