Menuju konten utama

Menguji Efektivitas Minyak Kelapa Jadi Bioavtur

Potensi pengembangan bioavtur menggunakan minyak kelapa cukup besar alasannya karena Indonesia merupakan penghasil kelapa terbesar di dunia.

Menguji Efektivitas Minyak Kelapa Jadi Bioavtur
Pekerja membongkar muat kargo dari pesawat Garuda Indonesia setibanya di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Sabtu (22/5/2021). ANTARA FOTO/Ampelsa/wsj.

tirto.id - Pemerintah tengah melakukan pelbagai upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan rendah emisi karbon. Salah satu bentuk energi terbarukan tengah dikembangkan adalah bahan bakar nabati (BBN).

BBN atau biofuel merupakan salah satu energi yang dihasilkan dari bahan baku bioenergi melalui proses teknologi tertentu. Bahan bakar ini terdiri dari biodiesel, bioetanol dan minyak nabati murni.

Saat ini, pemerintah bahkan tengah mengkaji potensi pemanfaatan minyak kelapa sebagai sumber BBN, setelah sebelumnya menggunakan campuran 2,4 persen kelapa sawit. Kelapa dianggap bisa menjadi bahan bakar pesawat terbang atau bioavtur.

"Yang tidak kalah penting kelapa juga bisa jadi bioavtur, ini prospeknya sangat besar," kata Deputi II Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera, usai acara Rembuk Nasional Transisi Energi di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/3/2024).

Dida Gardera

Deputi II Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kemenko Perekonomian, Dida Gardera. (Tirto.id/Faesal Mubarok)

Dida mengatakan, jenis kelapa digunakan merupakan kelapa yang tidak memenuhi kualifikasi untuk konsumsi alias reject. Misalnya, kelapa yang sudah busuk, retak, maupun tua.

Diperkirakan pasokan kelapa tak layak konsumsi itu cukup banyak. Dida menjelaskan dari sebuah pohon kelapa ada sekitar 20-30 persen buah yang tidak layak konsumsi. Dengan demikian penggunaan kelapa untuk bahan bakar pesawat ini tidak akan mengganggu pasokan pangan.

"Banyak sekali potensi yang ada di kebun kita, tapi belum kita optimalkan, ini ruang inovasi yang terus kita dorong," kata Dida.

Sayangnya, Dida belum menjelaskan sejauh mana penelitian yang dilakukan pihaknya terkait potensi penggunaan kelapa ini untuk bahan bakar pesawat. Pemerintah terus menggali seluruh potensi yang ada guna melakukan transisi ke sumber energi yang ramah lingkungan dan kemandirian energi.

Keinginan pemerintah untuk menjadikan kelapa sebagai bioavtur sebenarnya sudah lama disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada awal 2020, Jokowi sempat memberi sinyal ingin mengubah minyak kelapa (kopra) menjadi bahan bakar untuk pesawat terbang atau avtur. Penelitian pun sudah berjalan dan hampir final.

"Ingat, kopra minyak kelapa itu bisa jadi avtur, ini sudah hampir ketemu. Kalau ini ketemu, semua pesawat kita bisa ganti semua pesawat jadi dari minyak kelapa," kata Jokowi saat berpidato dalam acara HUT PDI-Perjuangan ke-47 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).

Potensi Kelapa Menjadi Bioavtur Cukup Besar

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, melihat potensi pengembangan bioavtur menggunakan kelapa cukup besar. Sebab, Indonesia memiliki banyak tanaman pohon kelapa.

"Kalau bisa atau tidak? secara teknis saya kira banyak kajian yang menyebutkan itu bisa," kata dia kepada Tirto, Kamis (7/3/2024)

Hasil penelitian dari Universitas Indonesia dilakukan oleh Yusuf Efendi dan kawan-kawan, menyebutkan bahan baku potensial untuk produksi bioavtur di Indonesia adalah minyak kelapa. Ini karena komposisi asam lemak dalam minyak kelapa sesuai dengan kisaran rantai atom karbon avtur.

Dalam penelitian dilakukan, bioavtur disintesis dari minyak kelapa melalui reaksi hidrodeoksigenasi untuk mengonversi asam lemak menjadi hidrokarbon dengan menghilangkan oksigen. Katalis yang digunakan dalam reaksi ini adalah katalis NiMoP/Al2O3.

JUMLAH PESAWAT LAYANI PENERBANGAN NATAL DAN TAHUN BARU

Aktivitas pergerakan pesawat di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (13/12/2022). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.

Reaksi hidrodeoksigenasi dilakukan dengan variasi tekanan dan suhu, yaitu pada tekanan 10, 15, dan 20 bar, dan suhu 375, 385, dan 400°C. Reaksi dihentikan apabila telah mencapai kesetimbangan berdasarkan analisis produk gas dengan GC-TCD.

Reaksi hidrodeoksigenasi pada suhu 375 derajat celcius dan tekanan 10 bar mampu menghasilkan konversi sebesar 92,16 persen, hydrocarbon content sebesar 87,18 persen, serta selektivitas dan yield bioavtur sebesar 79,36 persen dan 55,56 persen. Produk cair distilasi untuk memperoleh produk fraksi avtur.

Dari hasil uji densitas, viskositas, bilangan asam, nilai kalor, dan titik beku pada distilat bioavtur diperoleh nilai yang cukup baik.

"Artinya secara teknis kita punya kemampuan, tetapi mungkin ada dua perlu diperhatikan," ujar Komaidi.

Perlu Kajian Lebih Matang

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov, menilai positif rencana tersebar. Tetapi, dia berharap wacana itu perlu

didasari kajian yang matang, lengkap, dan tidak terburu-buru.

"Karena ini banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Mulai aspek operasional ketika itu jadi apakah memang kompatibel dengan moda transportasinya dalam hal ini avtur untuk pesawat," kata Abra saat dihubungi Tirto, Kamis (7/3/2024).

Dia mengatakan, hal paling penting dari rencana itu adalah dari sisi hulunya. Dia menilai langkah tersebut akan terlihat apakah akan berdampak atau tidaknya terhadap keberlanjutan dari pasokan bahan baku kelapanya.

"Apakah ada spesifik khusus dari produk kelapa yang dibutuhkan oleh pabrik bioetanol berbahan kelapa. Atau seperti apa kelanjutan dari sisi kuantitas dan kualitas," kata Abra.

Kelapa hijau

Kelapa hijau. FOTO/iStockphoto

Lebih lanjut, dia menjelaskan Indonesia merupakan penghasil kelapa terbesar di dunia. Ekspor Indonesia bahkan memiliki pangsa 55 persen terhadap ekspor kelapa dunia.

Jika melihat total produksinya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kelapa nasional mencapai 2,85 juta ton pada 2021. Jumlah tersebut meningkat 1,47 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 2,81 juta ton. Riau menjadi provinsi sentra kelapa terbesar di Tanah Air dengan produksi hingga 395 ribu ton pada 2021. Setelah Riau, Sulawesi Utara menyusul dengan produksi sebesar 271,1 ribu ton.

"Karena ini kan tersebar produksi kelapa di Indonesia, nah ini akan dipusatkan di daerah mana. Karena ketika bicara daerah penghasil kelapa kemudian pabriknya apakah akan dibangun di situ? dan apakah daerah tersebut siap secara infrastruktur membangun pabrik bio avtur dari kelapa tadi," kata Abra.

"Jadi memang banyak hal hal teknis dan juga secara ekonomis perlu dikaji oleh pemerintah," sambung Abra.

Kajian Pasar dan Minat Investor

Lebih lanjut, Abra mengatakan, tidak kalah penting adalah bagaimana pemerintah melakukan kajian pasar terlebih dahulu. Jangan sampai nanti ketika sudah over confidence memproduksi bioavtur dari kelapa, tapi permintaanya tidak sesuai diharapkan.

"Perlu kajian dari mana kesiapan pasar untuk menerima produk tersebut," kata Abra.

Dari sisi industri, dalam hal ini aviasi juga akan melihat bukan hanya dari kualitas bioavtur nya saja. Namun dari sisi harga juga menjadi pertimbangan bagi industri penerbangan apakah akan menggunakan bahan bakar avtur campuran kelapa atau tidak.

minyak kelapa

minyak kelapa [Foto/Shutterstock]

"Karena kita belum tahu apakah biaya produksi dari kelapa ini akan kompetitif dibandingkan avtur yang berbasis murni fosil. Kita belum tahu sejauh mana daya saing," ujar Abra.

Selain itu, menurut Abra, pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana menarik investor untuk membangun pabrik bioetanol kelapa. Sebab, menurutnya saat ini saja bioetanol dari tebu pabriknya baru satu dari target sebanyak 16 pabrik.

"Jadi memang di sisi hulu kepastian bisnis dari sisi pasokan dan biaya untuk membangun pabrik tidak murah dan kemudian ketika produk itu diproduksi bagaimana kesiapan demand nya," pungkas Abra.

Baca juga artikel terkait MINYAK KELAPA JADI BIOAVTUR atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin