tirto.id - “Free coconuts. I was beginning to like this city,” suara narator membuka petualangan pemuda dalam film aksi berjudul El Mariachi (1992). Prolog ini menampilkan pemeran utama, Carlos Gallardo, sedang beradegan menenteng gitar dan buah kelapa sembari berjalan memasuki gapura Kota Ciudad Acuna di Meksiko.
El Mariachi adalah film berbahasa Spanyol yang menjadi debut penulis sekaligus sutradara Robert Rodriguez dalam kancah perfilman Barat. Ia berkisah tentang seorang musisi yang terlibat perseteruan gangster dan gembong narkoba. Meski biaya produksi murah dan aktornya amatir, film ini berhasil mencuri perhatian Columbia Pictures.
Kesuksesan film layar lebar perdana mendorong Rodriguez lanjut merilis Desperado (1995) dan Once Upon a Time in Mexico (2003). Tokoh utama tidak lagi diperankan oleh Gallardo, melainkan Antonio Banderas. Sekuel ini kelak dikenal sebagai Mexico Trilogy. Pada 2011, El Mariachi terdaftar di Library of Congress Amerika Serikat (AS).
Sesuai potret pada adegan pembuka film El Mariachi, Meksiko memang dikenal kaya akan buah kelapa. Walau begitu, mereka belum ada apa-apanya dibandingkan Indonesia. Berdasarkan data Statista, negara kita merupakan produsen coconut terbanyak di dunia. Pada 2021, total produksi RI terpaut 16 juta metrik ton dari Meksiko.
Secara keseluruhan, produksi kelapa global mencapai 63,68 juta metrik ton pada 2021. Jumlahnya bertambah 1,29 juta metrik ton dari 2020. Walaupun terus berfluktuasi, produktivitas kelapa dunia relatif meningkat sejak dua dekade terakhir. Pada 2018 lalu, produksi kelapa menembus angka tertinggi, yakni 65,31 juta metrik ton.
Kelapa adalah tumbuhan palem bernama latin Cocos nucifera. Ia biasa hidup di negara-negara beriklim tropis. Pohon kelapa menghasilkan buah yang tertutup sabut dan tempurung. Di dalamnya terdapat daging berwarna putih serta cairan yang mengandung elektrolit dan vitamin sehingga berkhasiat mengganti ion tubuh.
Dalam penelitian berjudulCoconut Tree (Cocos nucifera) Products: A Review of Global Cultivation and its Benefits (2022), H Mary Henrietta menjelaskan bahwa pasar produk kelapa cepat berkembang berkat senyawa antivirus di dalamnya. Budidaya tanaman ini telah menjadi sumber mata pencaharian masyarakat di seluruh dunia.
Menurut peneliti, terdapat tiga negara yang selama ini memeroleh manfaat ekonomi terbesar dari budidaya pohon kelapa. Ketiganya adalah Indonesia, India dan Filipina. Kini, permintaan global terhadap produk berbahan dasar kelapa semakin tinggi, para petani perlu disadarkan untuk meningkatkan produksi.
Kelapa yang Multiguna
Sejauh ini, pelaku usaha dalam negeri masih cenderung mengolah kelapa sebagai bahan makanan dan minyak nabati. Padahal ia tergolong tumbuhan multiguna. Mulai dari akar, batang hingga daunnya dapat dimanfaatkan. Masing-masing memiliki nilai ekonomi, termasuk bagian serat sabut yang membalut buah.
Dulu, serat sabut atau serabut kelapa hanya digarap untuk peralatan rumah tangga seperti sapu dan keset. Namun seiring perkembangan teknologi, ia bisa disulap menjadi beragam produk dengan nilai jual lebih tinggi. Misalnya coco fibre, coco peat dan coco coir yang merupakan bahan baku mulai dari karpet hingga dashboard kendaraan.
Industri sabut kelapa diproyeksikan tumbuh secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan karena meningkatkan kesadaran lingkungan di antara konsumen. Pasalnya, produk sabut kelapa hemat biaya, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selain itu, produksinya juga fleksibel, bisa dilakukan manual dan mekanis.
Sebagai produsen nyiur terbesar, Indonesia berpeluang merajai pangsa sabut kelapa di pasar global. Namun berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, negara kita justru bertengger di urutan ke-11. Sementara urutan pertama ditempati India dan kedua Sri Lanka. Pangsa Indonesia bahkan lebih kecil dari Filipina, Vietnam dan Thailand.
Pada 2021, nilai ekspor sabut kelapa Indonesia (Kode HS 5305) tercatat USD10 juta dengan pangsa 1,05%. Sedangkan India dan Sri Lanka masing-masing membukukan USD436 juta dan USD230 juta dengan pangsa 45,43% dan 23,97%. Artinya, gabungan kedua negara tersebut menguasai lebih dari setengah pasokan dunia.
Ekspor produk sabut kelapa RI beberapa tahun lalu didominasi oleh coir coconut fibres (Kode HS 53050022) dan coconut fiber raw (HS 53050021). Pada 2021, masing-masing nilainya mencapai USD7,50 juta dan USD1,37 juta dengan pangsa 74,66% dan 13,61%.
Sayangnya, setelah tumbuh positif pada tahun 2020, kinerja ekspor terus mencatatkan penurunan. Kurun Januari-September 2023, nilai ekspor sabut kelapa baru mencapai USD3,9 juta. Penurunan terjadi akibat fluktuasi perdagangan dengan sejumlah negara.
Selama ini, Tiongkok merupakan pangsa terbesar Indonesia dengan porsi di atas 70% dan rerata nilai ekspor (2019-2021) di level USD7,7 juta. Namun belakangan porsinya turun drastis menjadi hanya USD4,2 juta pada 2022 dan per September 2023 baru di angka USD2,1 juta. Dapat dikatakan, penurunan permintaan dari China menjadi salah satu penyebab utama rendahnya kinerja ekspor sabut kelapa.
Menakar Peluang
Saat ini, kelapa mayoritas diolah pelaku industri di Indonesia menjadi kopra, yaitu daging buah yang dikeringkan. Kopra adalah produk turunan kelapa yang umumnya dipakai sebagai bahan baku pembuatan minyak nabati. Namun bermacam faktor menyebabkan ia kalah bersaing dengan produk sejenis baik di dalam maupun luar negeri.
Di pasar domestik, penggunaan minyak kelapa masih terbatas dan kalah berkompetisi dengan minyak sawit yang menawarkan harga lebih murah. Begitu juga di luar negeri. Minyak kedelai, jagung dan kanola mendominasi ketimbang minyak kelapa. Oleh karena itu, diversifikasi mutlak dibutuhkan demi mengoptimalkan potensi.
Satu di antara solusinya adalah mengembangkan produk turunan serat sabut kelapa. Selain bahan baku industri manufaktur, ia juga sudah banyak dimanfaatkan sebagai media tanam pertanian organik. Saat ini, permintaan terhadap produk hasil pertanian berkelanjutan atau sustainable meningkat. Dengan kata lain, ia mempunyai daya tawar tersendiri.
Peluang Indonesia tidak hanya itu. Selama satu dekade terakhir, impor produk sabut kelapa dunia mengalami tren kenaikan 5,95% per tahun dengan nilai rata-rata USD520,18 juta per tahun. Pada 2021, nilainya tercatat USD719,13 juta atau melonjak 24,63% (yoy). Pertumbuhan tersebut merupakan rekor tertinggi.
Selama ini, pangsa impor sabut kelapa dunia dikuasai oleh tiga negara: Tiongkok, AS dan Inggris. Secara kumulatif, ketiganya menyerap 55,66% dari total impor global pada 2021 lalu. Pada tahun yang sama, beberapa negara juga mengalami kenaikan nilai impor signifikan. Antara lain Australia, Jerman dan Belgia.
Selain ekspor, produk turunan sabut kelapa juga memiliki potensi di pasar domestik. Belum lama ini, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Ricky Surya Hutama Putra membuktikan bahwa coco fiber efektif sebagai bahan campuran beton yang ramah lingkungan untuk pengerasan jalan desa.
Cara pembuatan coco fiber terbilang sederhana. Cukup dengan mencuci dan mengeringkan sabut kelapa sampai menjadi serat. Penambahan produk ini memiliki banyak fungsi. Seperti menguatkan beton sehingga tak mudah retak, menahan gaya tarik, meningkatkan ketahanan terhadap susut, kelenturan serta tekanan.
Keunggulan sabut kelapa bukan hanya itu. Ia juga tahan terhadap mikroorganisme, pelapukan, gesekan, serta memiliki bobot yang lebih ringan. Berkat keunggulannya, coco fiber berpeluang menciptakan pasar potensial di bidang konstruksi. Ia berguna menanggulangi kerusakan jalan, masalah klasik yang terus-terusan dialami Indonesia.
Aneka manfaat serat sabut kelapa memang bukan temuan baru. Hanya saja ia jarang diperbincangkan. Upaya diversifikasi dan pengembangan potensi sabut kelapa harus terus dikembangkan.
Saat ini, produktivitas industri sabut kelapa Ibu Pertiwi untuk pemenuhan permintaan ekspor masih sangat kecil. Jika dihitung dari potensi produksi buah kelapa nasional yang mencapai 15 miliar butir per tahun, Indonesia semestinya mampu memproduksi coco fiber sekitar 2,2 juta ton. Namun faktanya, baru 0,4% potensi produksi coco fiber yang diekspor.
Editor: Dwi Ayuningtyas