tirto.id - Bukan lagi hal yang mengejutkan kalau petani di seluruh penjuru dunia sedang menua.
Indonesia pun bukan pengecualian. Laporan bertajuk Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2023 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa angkatan kerja berumur 34 tahun ke bawah hanya mencakup 23% total pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Persentase ini merupakan penurunan signifikan dari 10 tahun sebelumnya. Pada Februari 2013, jumlah pekerja pada kelompok umur yang sama mencapai 34% dari total pekerja.
Meskipun begitu, dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan pangan, terdapat peluang pasar yang luas. Salah satu komoditas yang kini mulai ramai dilirik kawula muda, yakni hortikultura.
Kebangkitan agribisnis dan berbagi potensi nilai tambah membuka jalan bagi petani muda untuk menciptakan usaha yang inovatif dan menguntungkan. Kebangkitan ini terlihat dari beberapa start up lokal yang tercatat terjun ke komoditas ini, seperti SayurBox, Tani Hub, Kitani, dan Kedai Sayur.
Hortikultura sebenarnya bukan produk, melainkan seperangkat pendekatan dalam menjalankan usaha tani. Dalam bahasa Yunani, hortus berarti kebun. Hortikultura berkenaan dengan usaha tani melalui praktik layaknya merawat sebuah kebun.
Masyarakat awam sering mengaitkan istilah hortikultura dengan hasil taninya, terutama sayur mayur seperti selada, cabai, dan bawang. Namun, produk hortikultura tidak berhenti di sayuran saja. Buah-buahan dan tanaman hias pun termasuk di dalamnya.
Umumnya, skala hortikultura relatif kecil jika dibandingkan dengan komoditas seperti padi, teh, dan kopi. Akan tetapi, produk hortikultura diestimasi mampu menyumbang Rp281,5 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2022. Kontribusinya pun terus naik dari tahun ke tahun.
Selain itu, komoditas ini juga diketahui memiliki imbal hasil yang lebih tinggi. Ini terlihat dari perolehan Nilai Tukar Petani (NTP) hortikultura yang tercatat mencapai 113,15 pada Januari 2023.
NTP di atas angka 100 menunjukkan indeks harga yang petani terima dari penjualan produk lebih besar dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan.
Berkumpul di Hilir
Start up dan UMKM yang terjun di industri hortikultura kebanyakan memilih untuk masuk di sektor hilir, khususnya pemasaran dan distribusi. Hal ini karena, sektor hilir lebih minim resiko dan lebih menguntungkan.
Laporan oleh Asian Development Bank (ADB) berjudul Analysis of Fruit and Vegetable Value Chains in Indonesia (2020)mencatat, banyak kesalahan praktik tani di sektor hulu yang menimbulkan kerugian, seperti metode pemanenan yang keliru, hasil panen yang busuk, dan alur transportasi produk yang buruk.
Kerugian akibat kesalahan praktik ini bisa membengkak sangat besar. Pada komoditas pisang, misalnya, kerugian bisa mencapai Rp26 triliun setiap tahunnya.
Sama halnya dengan sisi laba. Ambil contohnya petani bawang putih dan cabai, yang hanya mendapatkan keuntungan sekitar seperempat dari harga jual. Sementara itu, para distributor dan penjual sayur dapat menerima keuntungan dua kali lipat dari petani.
Selisih untuk produk buah lebih ekstrem lagi. Sebagai contoh, rata-rata harga jeruk per kilogram di pasar Jawa Barat pada 2020 adalah Rp12.000. Keuntungan yang petani dapatkan sekadar Rp1.015 per kilogram. Sementara itu, penjual menerima laba rata-rata Rp8.802 per kilogram, delapan kali lipat keuntungan petani.
Ditambah lagi ada faktor kemutakhiran teknologi. Di sektor pemasaran dan distribusi, keterhubungan melalui internet dan pengelolaan data berbasis kecerdasan buatan sudah menjadi praktik lazim.
Namun, aplikasi teknologi serupa di hulu masih jauh merayap di belakang. Petani masih hampir sepenuhnya bertumpu pada kerja-kerja manual yang tentunya dihindari pemuda saat ini.
Pemuda Kosmopolitan
Sektor pertanian sangat kompetitif, namun terdapat peluang bagi petani muda yang mau berinovasi dan mengambil risiko. Petani muda dapat menggunakan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi mereka, dan mereka juga dapat fokus pada pasar khusus atau produk bernilai tambah.
Integrasi teknologi dalam pertanian telah merevolusi sektor ini dan menjadikannya lebih menarik bagi kaum muda. Dari pertanian presisi hingga aplikasi seluler dan drone, teknologi telah meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan dalam praktik pertanian.
Para petani muda memanfaatkan kemajuan ini untuk mengoptimalkan produksi, mengelola sumber daya secara efektif, dan membuat keputusan.
Literasi teknologi, memang merupakan salah satu ciri khas petani muda. Penelitian Maryani dkk (2021) terhadap petani muda komoditas cabai di Kabupaten Garut mengidentifikasi kefasihan teknologi sebagai sikap kosmopolitan.
Sikap ini mengacu pada keingintahuan para petani muda untuk mendapatkan akses informasi dari luar desa. Hal tersebut mencakup pemahaman terhadap teknologi, keterjejaringan, dan bentuk-bentuk informasi lain yang tidak bisa didapatkan di dalam desa.
Janu Muhammad merupakan salah satu petani muda dari Yogyakarta yang berkancah lewat Sayur Sleman. Sebuah platforme-commerce yang menjual berbagai macam sayur, buah, bahkan lauk pauk.
Ide ini berawal dari pengamatan Janu terhadap lockdown pada 2020, ketika masyarakat terkurung di rumah masing-masing dan tidak bisa membeli bahan pangan untuk kebutuhan sehari-hari.
“Konsumsi rumah tangga membutuhkan bahan pokok termasuk sayur, buah, dan lauk. Itu pasti dibutuhkan setiap hari. Gak mengenal ada Covid atau tidak,” katanya.
Seperti banyak perusahaan rintisan di bidang pemasaran produk tani, Sayur Sleman menghubungkan petani lokal langsung dengan konsumen. Namun, transaksi lewat ruang virtual tersebut diyakini Janu tidak menyudutkan pedagang tradisional.
Musababnya, Sayur Sleman telah menemukan pasar yang stabil di kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Perilaku konsumsi mereka yang serba praktis melalui gawai memisahkan konsumen Sayur Sleman dari pasar konvensional, apalagi tradisional.
“Jadi tidak serta merta mengambil alih toko yang di pinggir jalan,” tegas Janu.
Walaupun bertajuk Sayur Sleman, pelanggan platform ini telah meluas sampai ke luar Kabupaten Sleman, bahkan merambah Jawa Tengah.
Lebih lanjut, Walaupun tidak semutakhir sektor hilir, para petani muda di sektor hulu juga bergeliat memanfaatkan teknologi dalam aktvitas harian mereka. Iqbal Habibi, petani muda dari Kabupaten Sukabumi, adalah salah satu contohnya.
Dengan menerapkan pendekatan smart farming, Iqbal mengetahui secara presisi kebutuhan tanaman budidayanya. Sensor dapat mendeteksi berbagai parameter tanah seperti tingkat keasaman dan kadar nitrogen. Dengan begitu, ia mampu memberikan pupuk dengan kadar yang akurat sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Saat ini, Iqbal juga menjangkau sektor hilir dengan melakukan pemasaran turunan produk hortikultura, seperti mengolah cabai menjadi sambal. Strategi memberikan nilai tambah sekaligus menjaga produknya dari fluktuasi harga pasar yang kerap menyerang cabai dengan ganas.
Teknologi untuk Keberlanjutan
Selayaknya bisnis pertanian, usaha hortikultura tidak terhindar dari krisis ekologi berupa tantangan iklim dan cuaca, serta degradasi lahan.
Janu menuturkan, petani mitra Sayur Sleman kini harus mengirit air sebagai imbas El Nino yang berkepanjangan. Irigasi konvensional terlalu boros.
Merespons tantangan tersebut, Janu menyiapkan praktik irigasi tetes yang lebih hemat air. Selain itu, metode hidroponik dan penggunaan greenhouse juga merupakan salah satu usaha menjawab minimnya lahan dan ancaman hama yang rentan menyerang tanaman di ruang terbuka. Dirinya menyatakan, greenhouse akan menjadi tren saat ini.
“Tahun ini, di Korea [Selatan] sudah hampir semua [produk hortikultura] panen dari greenhouse,” katanya.
Janu berpesan, tantangan ini tidak bisa sekadar dibebankan kepada petani muda saja. Pemerintah juga perlu mendukung keberlanjutan lahan sebagai salah satu kebutuhan dasar petani.
“Di sini kami juga berharap ada dukungan pemerintah di sisi kebijakan. Salah satunya bagaimana memastikan lahan yang produktif tetap dijaga, tetap hijau. Itu yang paling penting,” jelas Janu.
Berbagai lembaga mulai menyalurkan dukungan bagi bisnis hortikultura merespons maraknya krisis ekologi. Baru Agustus lalu, ADB mengucurkan pinjaman sebesar Rp1,3 triliun untuk pengembangan hortikultura Indonesia, di mana sekitar seperenam anggaran diharapkan datang dari pemerintah.
Pendanaan ini berfokus pada praktik hortikultura di kawasan lahan kering yang paling rentan terhadap masalah lingkungan. Terdapat 12 kabupaten sasaran, mulai dari Karo di Sumatra Utara, Sumedang di Jawa Barat, sampai Ende di Nusa Tenggara Timur.
Program utamanya termasuk pengadaan infrastruktur, pelatihan kapasitas petani, peningkatan akses terhadap pasar, dan penguatan institusi pertanian pada desa sasaran. Sejumlah 25 ribu rumah tangga ditargetkan mendapatkan manfaat proyek ini dengan perempuan dan pemuda sebagai kelompok yang menjadi prioritas utama.
Meningkatnya generasi muda yang memasuki sektor pertanian menandakan perubahan transformatif dalam lanskap pertanian di negeri ini. Mulai dari mengatasi pengangguran hingga memanfaatkan kemajuan teknologi, para petani muda membentuk kembali persepsi bahwa bertani sebagai pilihan karier yang layak dan bermanfaat.
Menurut Janu, peran stakeholders terutama pemerintah daerah sangat penting untuk membangun ekosistem yang mendukung komunitas petani muda.
“[Minat petani muda] tergantung juga dengan keaktifan Dinas Pertanian setempat untuk mau turun ke lapangan,” katanya.
Dengan dukungan yang berkesinambungan dari berbagai elemen, generasi muda memiliki potensi untuk mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan, berkontribusi terhadap ketahanan pangan, dan menciptakan masa depan yang sejahtera bagi diri mereka sendiri dan bangsa.
Penulis: Finlan Aldan
Editor: Dwi Ayuningtyas