tirto.id - Dalam berbagai pelajaran sekolah, hal yang selalu diajarkan tentang kelapa adalah betapa tanaman ini bermanfaat dari ujung akar hingga pucuk daun. Akarnya bisa dipakai untuk ramuan obat. Batangnya sering dipakai untuk bahan bangunan. Daunnya dipakai untuk bungkus ketupat hingga jadi kerajinan tangan. Buahnya, sang emas hijau, jelas punya lebih banyak manfaat.
Serabutnya bisa dipakai untuk membakar ikan maupun daging-dagingan, memberikan wangi yang lebih menyenangkan ketimbang arang. Batoknya bisa dipakai untuk aneka kerajinan tangan. Air kelapa muda jelas enak diminum, sedangkan yang tua cocok untuk merebus daging maupun ayam. Air kelapa untuk mengungkep daging maupun ayam bisa memberikan rasa manis alami.
Linda Civitello dalam Cuisine and Culture: A History of Food and People (2007) menyebut bahwa masyarakat Nusantara, sama seperti warga Malaysia dan Filipina, sudah diketahui ratusan tahun memakai air kelapa untuk merebus dan mengukus aneka macam makanan.
Sedangkan daging kelapa, bisa dipakai untuk makanan seperti klapertaart, ataupun diparut dan diperas untuk santan. Rasanya hampir tak terhitung aneka jenis masakan yang hidup karena santan. Mulai rendang yang dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia, aneka macam gulai dan kari, kudapan seperti bika dan apem, hingga minuman seperti kolak dan cendol.
Maka tak heran kalau Dustin Hoffman, aktor kawakan itu, pernah berujar bahwa dalam hidup ada dua kebutuhan inti.
"Yakni sinar matahari dan santan."
Sejarah Kelapa dan Permusuhan Terhadapnya
Kelapa adalah salah satu tanaman dari masa prasejarah. Salah satu fosil kelapa tertua yang pernah ditemukan tercatat dari masa Eocene, sekitar 37 hingga 55 juta tahun lalu.
Namun dalam Foods That Changed History (2015), diperkirakan manusia di pesisir Malabar, Sri Lanka, Filipina, Malaysia, dan tentu saja Nusantara, mulai membudidayakan kelapa sejak 1000 SM. Kelapa dipercaya berasal dari kawasan Indomalaya --kawasan biogeografi yang merentang dari Afghanistan hingga Nusantara.
Dengan sejarah panjang dan kesamaan itu, kita bisa melacak bahwa negara-negara di kawasan Indomalaya itu pasti punya makanan berbahan dasar kelapa maupun santan. India punya kari. Di kawasan Karibia ada masakan bernama oil down, yang merupakan daging atau ayam yang direbus dengan santan dan aneka rempah. Begitu pula di Filipina, Malaysia, maupun Singapura.
Indonesia jelas punya banyak sekali makanan dan minuman yang dibuat dari kelapa. Dalam Jejak Rasa Nusantara (2016), sejarawan Fadly Rahman menyebut bahwa melimpahnya beras, kelapa, tebu, dan palem kemudian dimanfaatkan untuk bahan minuman melalui proses fermentasi.
"Hasilnya adalah ragam minuman macam badeg (dari gula kelapa), tampo (dari beras), sidhu (dari tebu), tuak (dari pohon aren), dan arak (dari beras)," tulis Fadly.
Fadly juga menyebutkan bahwa dalam Nagara-kertagama (1365), disebutkan berbagai jenis menu pesta di Majapahit. Dalam berbagai menu itu, banyak minuman lezat seperti tuak kelapa, tuak siwalan, arak, juga brem dan tampo.
Salah satu penggunaan lain daging buah kelapa adalah untuk dijadikan minyak kelapa. Penduduk Nusantara sudah ribuan tahun menggunakan minyak ini. Dalam makalah "Peasant Economy and Institutional Changes in Late Colonial Indonesia" (PDF), Bambang Purwanto dari Universitas Gadjah Mada menyebutkan daerah seperti Donggala, Sulawesi Tengah, sudah mengekspor minyak kelapa ke Jerman sejak 1870-an. Pada 1897, ekspor minyak kelapa Donggala mencapai 120 ribu liter.
Memang ada banyak makanan Nusantara yang memakai minyak kelapa sebagai bahan inti. Salah satunya yakni sambal matah dari Bali. Dalam sebuah buka puasa yang terlambat, saya mengajak beberapa orang kawan kantor menyantap nasi Bali di sebuah warung yang terletak di Cipete, Jakarta Selatan. Salah satu menu andalannya adalah nasi campur. Ini adalah paket lengkap, terdiri dari nasi, sate tuna, ayam betutu, ayam suwir, daun singkong rebus yang dilumuri bumbu betutu, setengah butir telur ayam rebus, dan tentu saja: sambal matah.
Apa yang membuat sambal matah di warung ini spesial adalah penggunaan minyak kelapa. Hasilnya, ada samar aroma wangi yang tercium. Saya pernah mencoba sambal matah yang memakai minyak sawit hingga zaitun. Namun rasa paling superior adalah yang memakai minyak kelapa.
Minyak kelapa sekarang memang tak sepopuler minyak kelapa sawit. Ini bukan tanpa sebab. Jika membaca Membunuh Indonesia (2012), ini adalah imbas dari perang terhadap kelapa yang dikobarkan oleh Amerika Serikat.
Pada 1940-an, minyak kelapa masih merupakan sumber minyak populer. Namun ketika Perang Asia Timur Raya meletus, Filipina yang selama ini memasok kebutuhan minyak kelapa bagi AS berhasil diduduki Jepang. Hal ini membuat suplai minyak kelapa terputus, memaksa AS mengembangkan minyak goreng dari bahan lain. Mereka pun mulai mengusahakan minyak kedelai.
Namun setelah Perang Dunia II usai, produk minyak kelapa kembali lancar dan populer. Mengalahkan minyak kedelai yang sedang dikembangkan AS. Pada periode 1960, bermunculan banyak penelitian yang bilang bahwa minyak kelapa bisa meningkatkan jumlah kolesterol dalam darah.
Kemudian American Soybean Association mulai mengampanyekan bahaya minyak kelapa. Apa yang cocok sebagai gantinya dan yang paling sehat? Menurut mereka, tentu saja, minyak kedelai. Serangan itu terus berlangsung hingga 1990-an. Minyak kelapa disebut sebagai minyak goreng tropis yang dianggap amat berbahaya. Padahal, masyarakat Asia sudah mengonsumsi minyak kelapa selama ribuan tahun.
Ini berimbas pula ke Indonesia yang menelan mentah begitu saja kampanye anti minyak kelapa ini. Tak ada upaya serius untuk mengembangkan produk kelapa, meskipun kita negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Hasilnya, berpuluh tahun kemudian, minyak kelapa susah ditemukan (kalaupun ada, harganya mahal), dan minyak sawit merajai pasar. Namun perlahan, di berbagai komunitas, produksi minyak kelapa kembali digiatkan. Skala kecil, memang. Tapi jika perlahan ditingkatkan dan menyebar, bukan tak mungkin minyak kelapa akan kembali berjaya di rumah sendiri.
Sembari menyantap nasi campur Bali yang lezat dan mencocol sate tuna ke sambal matah minyak kelapa, saya membayangkan andai saja dulu Indonesia tak menelan mentah-mentah kampanye anti minyak kelapa ini. Mungkin sekarang Indonesia akan menjadi produsen minyak kelapa terbesar dunia.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti