Menuju konten utama

Cengkeraman Kuat Kelapa Sawit Indonesia

Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia harus membayar mahal dengan berkurangnya luas hutan. Hal ini juga berdampak pada habitat satwa liar. Namun sawit tak bisa dipungkiri telah memegang kendali ekonomi, dan terus mencengkeram.

Cengkeraman Kuat Kelapa Sawit Indonesia
Sejumlah pekerja menaikan kelapa sawit ke atas truk di perkebunan kelapa sawit, Mesuji Raya, Oki, Sumatera Selatan. [Antara foto/ Budi Candra Setya]

tirto.id - Sejumlah tengkorak yang menyerupai batok kepala manusia ditemukan warga di area perkebunan kelapa sawit PT NSP pada Februari 2015 lalu. Tengkorak-tengkorak itu bukan milik manusia, melainkan orang utan yang berhabitat di wilayah Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Seperti dilansir dari Antara, orang utan malang itu diduga merupakan korban pembantaian.

Desember 2014, beredar juga foto-foto kondisi orang utan yang diberondong tembakan dari senapan angin. Ada 40 peluru bersarang di tubuh orang utan. Orang utan tersebut ditemukan di kebun kelapa sawit di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah. Sempat bertahan dengan keadaan kritis dan menjalani nekropsi, tim medis akhirnya gagal menyelamatkan nyawa orang utan tersebut.

Di Kalimantan orang utan menjadi korban, di Sumatera ada gajah bernasib sama. Seperti dilansir dari National Geographic, gajah-gajah mencari makan sampai ke perkebunan sawit karena habitatnya telah dialihfungsikan. Oleh petani sawit, hal itu dianggap sebagai ancaman. Gajah-gajah pun mati bergelimpangan.

Masih banyak lagi deretan kejadian konflik antara manusia dengan orang utan yang kasusnya meningkat sejak ekspansi perkebunan kelapa sawit. Juga konflik manusia dengan gajah yang masih terkait perkebunan kelapa sawit.

Masifnya perkebunan kelapa sawit hingga menghalalkan segala cara tidak lain karena nilai keuntungan yang sangat tinggi. Di Indonesia sendiri, kelapa sawit menjadi produk utama yang diekspor ke berbagai negara dan tentunya menghasilkan devisa besar bagi negara.

Sawit di Masa Lampau

Mundur ke belakang, relasi manusia dengan kelapa sawit sudah terlacak sejak 5000 tahun yang lalu. Arkeolog menemukan zat yang dapat disimpulkan sebagai kelapa sawit di sebuah makam Abydos di Mesir berumur 3000 tahun SM.

Kelapa sawit dari Elaeis guineensiss telah lama dikenal di Barat dan negara-negara Afrika Tengah, dan secara luas digunakan sebagai minyak goreng. Pedagang Eropa ketika melakukan perdagangan dengan Afrika Barat sesekali membeli minyak sawit untuk digunakan sebagai minyak goreng di Eropa.

Naiknya Revolusi Industri turut andil besar dalam menaikkan pamor kelapa sawit. Oleh para pedagang Inggris, kelapa sawit menjadi komoditas yang paling dicari saat itu. Ini beralasan karena permesinan industri membutuhkan kelapa sawit sebagai pelumas.

Sejak menjadi bahan baku turunan seperti pelumas, produk-produk turunan kelapa sawit lainnya bermunculan. Adalah Level Brothers, perusahaan manufaktur Inggris 1885 yang memproduksi massal temuan kimiawan William Hough Watson berupa sabun yang memakai bahan dasar kelapa sawit. Pada 1930, perusahaan Lever Brother merger dengan perusahaan Margarine Unie yang kemudian dikenal sampai sekarang dengan nama Unilever.

Palm Oil Investigation melaporkan dalam temuannya bahwa banyak produk makanan memiliki kandungan kelapa sawit yang terdaftar sebagai '”minyak sayur” termasuk pada produk non pangan. Hitungan terakhir, lebih dari 200 nama alternatif untuk merujuk pada minyak sawit.

Sedangkan World Wild Life (WWF) merilis daftar produk sehari-hari yang merupakan turunan dari kelapa sawit. Di antaranya, deterjen, shampo, es krim, margarin, coklat, sabun, mi instan, lipstik, adonan pizza, biodiesel, dan roti kemasan.

Sawitisasi Hutan Indonesia

Kelapa sawit, bukanlah tipe tumbuhan yang dapat disandingkan dengan tanaman-tanaman lainnya dalam sebuah ekosistem. Jika kawasan hutan hujan di Indonesia kaya akan kenaekaragaman hayati, kelapa sawit tidak bisa menerima perbedaan tersebut. Ia tanaman seragam, berdiri dengan angkuhnya.

Akhir 1990, Indonesia masih menempati predikat hutan padat yang mewakili 84 persen dari luas tanah Indonesia. Deforestasi mulai terjadi pada 1970 dan semakin cepat setiap tahunnya. Kawasan hutan hujan tropis yang mulanya diperkirakan 170 juta hektar pada 1900 menurun menjadi kurang dari 100 juta hektar pada abad ke-20. Yang memperihatinkan, dari total aktivitas penebangan hutan, 80 persen dilakukan dengan cara ilegal.

Ini juga mengakibatkan ancaman serius bagi spesies yang terancam punah seperti gajah kerdil Borneo, gajah sumatera, harimau sumatera, badak sumatera, dan kedua spesies orang utan yang hidup di hutan-hutan tersebut. Juga dilaporkan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk penggunaan pekerja anak dan jeratan utang di perkebunan Kalimantan dan Sumatera.

Kalimantan dan Sumatera adalah dua pulau yang menyumbang 96 persen dari produksi minyak sawit Indonesia. Hutan Papua sendiri tidak lepas dari kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit. Lebih pelik lagi karena hutan yang dialihfungsikan tersebut memiliki peran penting bagi masyarakat setempat mulai dari kepemilikan adat hingga penghasil sagu seperti di Nabire, Sorong, hingga Merauke. Padahal, sagu sendiri adalah makanan pokok mereka.

Sejak kelapa sawit menjadi komoditas paling menjanjikan, berbagai kawasan hutan dialihfungsikan untuk menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejak itu pula, konflik antara manusia dengan makhluk satwa penghuni daerah hutan tersebut kerap terjadi. Tidak jarang juga konflik antar warga lokal penghuni hutan juga terjadi.

Ancaman lingkungan serius dari produksi minyak sawit adalah perusakan hutan untuk membuka lahan sumber minyak sawit. Meminimalisir hal ini, sebenarnya telah diterbitkan sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).

RSPO memastikan kelapa sawit yang dijual tidak berasal dari lahan yang membuka hutan lindung atau lahan konservasi dan tak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam produksinya, sehingga konsumen merasa yakan dalam menggunakan produk tersebut, sebagai produk yang berkelanjutan.

Indonesia juga merespons hal tersebut dengan sertifikat ISPO yang isinya masih mengenai standar lingkungan. Sejak 2011 sistem sertifikasi yang oleh Indonesia diwajibkan kepada seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit ini, mulai diterapkan. Namun sertifikasi ini tak diakui oleh banyak negara. Dengan demikian, perusahaan harus memiliki dua sertifikasi ini untuk beroperasi dengan layak.

Bank Dunia melaporkan, hampir 50 persen dari CPO yang diproduksi di Indonesia diekspor dalam bentuk mentah. Sedangkan sisanya dikenakan pengolahan menjadi minyak goreng dengan sekitar 50 persen diekspor dan sisanya dikonsumsi untuk lokal.

Data dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian melaporkan, sejak 2013 hingga 2015 produksi minyak kelapa sawit terus bertambah. Mulai dari 2013 sebanyak 27.782.004 ton, 2014 sebanyak 29.344.479 ton, dan di 2015 menyentuh 30.948.931 ton.

Hasil ini juga berimbas pada meningkatnya lahan perkebunan sawit yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan status perkebunan sawit di Indonesia yang terbagi menjadi empat yaitu, Perkebunan Rakyat, Besar Negara, Besar Swasta Nasional dan Besar Swasta Asing, secara total status perkebunan gabungan terus meningkat. Pada 2013 luasnya mencapai 10.465.020 hektar, pada 2014 seluas 10.956.231 hektar dan 2015 mencapai luas 11.444.808 hektar.

Predikat produsen kelapa sawit terbesar di dunia tampaknya menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah. Kebun sawit yang luas harus dibayar mahal Indonesia dengan berkurangnya luas hutan. Di balik upaya mengembalikan keanekaragaman hayati hutan, Indonesia juga berpotensi kehilangan pendapatan besar dari berjualan sawit jika mengikuti restorasi hutan.

Di sisi lain, produk turunan dari kelapa sawit sudah sangat mencengkeram kehidupan sehari-hari penduduk Indonesia maupun dunia.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti