tirto.id - Minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) mulai dikembangkan sebagai komoditas komersial di Indonesia pada 1911 di wilayah Sumatra oleh pengusaha asal Belgia, Adrien Hellet, dengan mendirikan perkebunan Poeloe Radja.
Produktivitas kelapa sawit yang tinggi di Indonesia dan terbukanya keran investasi asing mendorong peningkatan luas area perkebunan sawit menjadi 150.000 hektare di sekitar tahun 1970. Kemudian dengan dana investasi yang lebih besar dari World Bank dan Asian Development Bank (ADB) luas area mencapai 600.000 hektare pada 1985.
Perkembangan signifikan pada luas area perkebunan dan produksi minyak kelapa sawit telah merubah posisi Ibu Pertiwi dalam pangsa pasar global.
Pada 2006, Indonesia sukses melampaui Malaysia menjadi produsen CPO terbesar di dunia. Posisi jawara tersebut bertahan hingga hari ini. Dalam dua dekade terakhir produksi minyak kelapa sawit meroket 400 persen. Hal ini seiring dengan lonjakan area produksi yang tumbuh hingga 300 persen.
Data terbaru dari US Department of Agriculture (USDA) menyebut Tanah Air berkontribusi atas 59 persen produksi CPO dunia, sedangkan Negeri Jiran hanya sebesar 24 persen. Potensi minyak sawit yang begitu besar bagi perekonomian Indonesia, membawa komoditas ini memiliki sebutan ‘berlian kuning’.
Meskipun begitu, berbeda dengan produksi yang stabil menunjukkan tren positif, volume ekspor minyak kelapa sawit justru cenderung berfluktuatif. Merujuk Statista, pada 2014 jumlah yang diekspor sebanyak 23,97 juta metrik ton dan kemudian menyentuh volume tertinggi dalam sejarah, yakni 29,55 juta metrik ton.
Sayangnya, setelah itu volume ekspor turun dan baru kembali mencatatkan kenaikan tahun lalu. India, China dan Pakistan merupakan tiga negara pengimpor utama minyak kelapa sawit dari Indonesia. Kemudian disusul oleh Amerika Serikat, Bangladesh, dan Spanyol.
Awal Ketegangan
Pangsa pasar global minyak sawit Indonesia yang signifikan menjadikan komoditas ini sebagai salah satu sumber devisa utama dan elemen vital dalam perekonomian negara.
Namun, sejak tahun 1990-an, Uni Eropa diketahui telah memulai systematic black campaign (kampanye hitam yang sistematis) atas minyak kelapa sawit. Kampanye tersebut dilandaskan argumen terkait isu lingkungan dan deforestasi, biodiversitas, kesehatan, hingga hak asasi manusia.
Sikap negatif tersebut sejatinya juga diambil Benua Biru untuk menekan perdagangan minyak sawit sebagai salah satu komoditas minyak nabati yang paling ramah di kantong. Uni Eropa secara tidak langsung ingin menaikkan pamor minyak nabati olahan mereka, seperti minyak biji bunga matahari dan minyak rapeseed.
Ketegangan di panggung internasional dimulai pada 2004 seiring dengan inisiasi sertifikasi ‘hijau’. Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah sebuah organisasi non-profit yang didirikan untuk memberlakukan standar sertifikasi kepada minyak sawit agar memenuhi kriteria sosial dan lingkungan.
Uni Eropa kemudian menerbitkan aturan Renewable Energy Directive (RED I) tahun 2009 yang berisi target bauran energi terbarukan, termasuk biofuel. Indonesia yang merupakan salah satu pengekspor minyak sawit untuk bahan baku biofuel mendapatkan diskriminasi karena dianggap tidak memenuhi kriteria keberlanjutan.
Ketegangan berlanjut ketika Benua Biru melakukan berencana amandemen terhadap RED I menjadi RED II dengan aturan yang lebih kontroversial. RED II menyatakan bahwa minyak sawit termasuk dalam kategori bahan bakar nabati yang berisiko tinggi terhadap perubahan alih fungsi lahan (Indirect Land Use Change atau ILUC).
Moratorium RED II pada 2019 dengan jelas memutuskan untuk mengecualikan biofuel berbasis minyak sawit dari daftar sumber energi terbarukan. Dengan kata lain Uni Eropa berencana untuk mengurangi secara bertahap impor minyak sawit untuk biofuel hingga 2030.
Tidak sampai disitu, pada tahun yang sama Uni Eropa juga memberlakukan bea anti-subsidi (countervailing) sebesar 8 hingga 18 persen pada produk impor biofuel bersubsidi dari Indonesia. Tindakan itu berlandaskan argumen bahwa pemerintah Indonesia memberikan subsidi pada produsen kelapa sawit sehingga memungkinkan menjual produk turunannya dengan harga yang bersaing.
Eskalasi semakin meningkat saat Benua Biru melanjutkan implementasi kebijakan deforestasi yang lebih ketat pada 2023, yakni European Union Deforestation Regulation (EUDR). Beleid ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk impor tidak berkontribusi pada deforestasi dan degradasi hutan setelah 31 Desember 2020.
Perusahaan eksportir juga harus mematuhi hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat terkait penggunaan lahan. Jika tidak dipatuhi, perusahaan dapat menghadapi sanksi, termasuk larangan impor ke Uni Eropa. Kebijakan EUDR akan mulai diberlakukan pada Desember 2024 untuk perusahaan besar. Lalu, Juni 2025 untuk perusahaan menengah dan kecil
Respon dan Diplomasi Indonesia
Sederet kebijakan yang diterbitkan oleh Benua Biru dianggap sangat diskriminatif terdapat komoditas ‘berlian kuning’ milik Ibu Pertiwi. Apalagi mengingat batasan tersebut mengancam jutaan petani kecil yang bergantung pada industri sawit. Sebuah industri yang menjadi tonggak perekonomian lokal.
Indonesia memandang regulasi ini tidak hanya sebagai isu lingkungan tetapi juga sebagai upaya proteksionisme terselubung untuk melindungi industri minyak nabati Eropa.
Bukan hanya soal perdagangan, kebijakan RED II dan EUDR juga menyangkut citrak martabat, dan bahkan kedaulatan. Kampanye hitam atas minyak sawit tentu meruntuhkan citra dan martabat Ibu Pertiwi sebagai negara produsen utama. Belum lagi, kedaulatan negara seperti dikuasai oleh pihak asing dengan pelabelan negatif kepada komoditas pertanian.
Menanggapi tekanan ini, Indonesia mengambil berbagai langkah diplomatik dan hukum untuk melawan. Langkah paling awal yang dilakukan adalah dengan memberlakukan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada 2011. ISPO bertujuan untuk memastikan bahwa minyak sawit yang diproduksi di dalam negeri memenuhi standar lingkungan yang lebih tinggi.
Pendekatan ini dimaksudkan untuk membuktikan kepada komunitas internasional bahwa produksi minyak sawit Indonesia dapat dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan. Di sisi lain, ini juga menunjukkan sikap pemerintah Indonesia yang terbuka untuk menghadirkan produk yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab secara lingkungan.
Namun, Uni Eropa mempertanyakan keabsahan ISPO dan terus menekan Indonesia dengan berbagai aturan tambahan. Akhirnya, pada 2019, Indonesia mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap RED II dan kebijakan Uni Eropa lainnya, dengan argumen bahwa regulasi tersebut diskriminatif dan melanggar aturan perdagangan internasional.
Indonesia juga memperkuat aliansi dengan negara-negara produsen sawit lainnya seperti Malaysia, membentuk Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (The Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) untuk meningkatkan posisi tawar mereka di pasar global.
Hingga detik ini belum ada keputusan dari WTO terkait hasil gugatan yang disampaikan terkait tindakan diskriminasi Uni Eropa, baik terhadap minyak sawit Indonesia maupun minyak sawit asal Malaysia.
Melihat digantungkannya gugatan tersebut, pemerintah Indonesia tampaknya perlu terus aktif berdiplomasi dengan menjanjikan perbaikan tata kelola sawit yang berkelanjutan. Salah satunya dengan memastikan implementasi dan pengawasan ISPO secara penuh.
Perlu dicatat bahwa, Uni Eropa sejatinya bukan konsumen utama dari minyak sawit Indonesia. Di satu sisi, kebutuhan atas minyak nabati yang berkelanjutan meningkat pesat.
Alhasil, perbaikan tata kelola yang berkelanjutan nantinya tidak hanya membuka kembali pintu perdagangan ke Uni Eropa tetapi juga meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global. Pengusaha minyak sawit di Indonesia harus memandang ini sebagai peluang emas, bukan beban.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis