tirto.id - Cara memasak yang nyaris selalu ada dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia adalah menggoreng, baik di banyak minyak (deep fry) atau tumis.
Teknik menggoreng dengan minyak banyak sudah ada sejak lama. Dalam buku A History of Food (2008), teknik menggoreng dalam minyak banyak, sudah dipakai sejak 1200 SM di Mesir. Dari Mesir, teknik ini kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Di Nusantara, jejak goreng-gorengan dibawa pendatang dari Cina. Mereka memang punya jasa amat besar bagi khazanah kuliner Nusantara. Selain mengenalkan makanan seperti mi, bakso, atau tahu, para perantau ini turut mengenalkan teknik-teknik memasak yang baru.
Dalam Peranakan Tionghoa Dalam Kuliner Nusantara (2013), disebutkan bahwa teknik menumis (fan chao), misalkan, tak pernah dikenal oleh penduduk Nusantara. Teknik menggoreng dengan sedikit minyak, memakai api besar, dan diaduk, kemudian dikenal di dunia Barat sebagai stir fry.
Dalam seni memasak Cina, ada beberapa teknik menggoreng yang kemudian turut pula diadopsi oleh warga Nusantara. Mulai dari menggoreng dengan sedikit minyak (jian), juga menggoreng dalam banyak minyak (zha). Teknik zha ini yang kemudian menjadi dasar dari segala jenis gorengan di Indonesia.
Hingga sekarang, kehidupan sehari-hari orang Indonesia Indonesia memang nyaris tak bisa lepas dari minyak goreng. Bagaimana tidak, Indonesia adalah negara dengan penduduk yang paling banyak mengonsumsi minyak goreng sawit.
Data dari Statista, konsumsi minyak goreng sawit di Indonesia mencapai 18,7 juta metrik ton. Sedangkan data dari Badan Pangan Nasional, masyarakat Indonesia rata-rata mengonsumsi minyak goreng 9,5 kilogram/ kapita/ tahun.
“Menu makanan sehari-hari kami banyak yang gorengan, mulai dari ayam sampai tempe. Kalau bikin cemilan, ya bikin pisang goreng. Jadinya kalau di rumah gak ada minyak goreng pasti kami pusing,” kata Wulan terkekeh.
Minyak goreng adalah salah satu bukti sahih betapa kelapa sawit dan produk-produk turunannya, sudah berakar kuat dalam kehidupan sehari-hari kita.
Bahan Baku Ajaib Nan Serbaguna
Paul Tullis dari The Guardianmenulis kelapa sawit adalah tanaman ajaib. Ini karena kegunannya merentang, dari bahan baku makanan hingga bahan baku kosmetik. Dengan kata lain: serbaguna.
“Buahnya bisa diperas hingga menghasilkan minyak yang amat istimewa, yang membuat kue jadi lebih sehat, sabun bisa lebih banyak gelembung, dan keripik jadi lebih renyah. Minyak ini bahkan bisa membuat lipstik jadi lebih lembut dan mulus, serta menjaga es krim agar tak mudah meleleh,” kata Tullis.
World Wildlife Fund (WWF) juga menyebut hal serupa. Menurut lembaga konservasi bermarkas di Swiss ini, minyak kelapa sawit itu sangat fleksibel dan serbaguna. Dengan tekstur semi-solid yang tak berubah meski diletakkan di suhu ruang, ia berguna untuk menjaga produk seperti selai atau margarin tetap bisa lembut dan mudah dioleskan.
Minyak sawit juga anti oksidasi sehingga membuat produk-produk lebih tahan lama. Selain itu, minyak sawit juga tak berbau dan tak berwarna, sehingga tidak berpengaruh terhadap kualitas makanan. Ini berbeda dengan, misalkan, minyak zaitun atau minyak kelapa yang punya aroma kuat.
Jadi, seperti apa proses pengolahan kelapa sawit hingga menghasilkan berbagai rupa produk yang ada di kehidupan sehari-hari banyak manusia?
Dari Energi Hingga Kosmetik
Jika digambarkan secara sederhana, proses pengolahan kelapa sawit akan dimulai seperti ini: bibit sawit ditanam di daerah/ kawasan pembibitan hingga usia satu tahun. Dari sana, bibit yang sudah agak besar akan dipindah ke kebun, dan dirawat hingga berusia kurang lebih 30 bulan dan siap dipanen.
Setelah dewasa, buah kelapa sawit yang disebut dengan nama Tandan Buah Segar (TBS) dipanen tiap 7-10 hari. Dari sana, TBS dikirim ke pabrik. Buahnya akan disterilisasi, sedangkan tandannya akan diproses menjadi berbagai produk, membuat industri kelapa sawit menjadi zero waste.
Dari sana, buah akan diperas untuk jadi minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO). Sedangkan biji sawit yang dipecah untuk diambil intinya, yang diperas untuk jadi minyak inti sawit (palm kernel oil, PKO).
CPO dan PKO ini lantas akan masuk ke proses penyulingan/ pemurnian. Di sini, CPO dan PKO ini akan kembali dibuat produk turunan. CPO diolah untuk menjadi produk seperti minyak goreng, margarin, sampo, hingga deterjen. Sedangkan PKO menjadi bahan baku penting untuk produk seperti sabun, deterjen, juga kosmetik.
Kelapa sawit juga menjadi bahan baku bagi sumber energi terbarukan. Ini bisa ditengok dalam riset “Perkebunan Kelapa Sawit: Industri Strategis Energi Terbarukan yang Berkelanjutan”, yang menyebut kalau industri kelapa sawit menghasilkan dua jenis energi terbarukan (renewable energy). Yakni biofuel generasi pertama yang berupa biodiesel. Jenis kedua adalah biofuel generasi kedua yang berupa bioethanol yang sumber energinya berasal dari biomas, dan biogas yang berbasis Palm Oil Mill Effluent (POME) alias limbah cair kelapa sawit.
Dari riset itu juga disebut bahwa produksi biomas perkebunan kelapa sawit di Indonesia punya potensi 182 juta ton bahan kering, yang dikalkulasikan bisa menghasilkan bioethanol sekitar 23,7 juta kilo liter per tahun. Tak hanya itu, pemanfaatan 147 juta ton POME diperkirakan bisa menghasilkan biogas sebanyak 4.127 juta m3.
Selain itu, kelapa sawit juga bisa menjadi bensin. Ini diperkenalkan dalam Pekan Riset Sawit Indonesia, 2022 silam. Bensin sawit ini adalah hasil penelitian Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) Institut Teknologi Bandung, yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan PT Kemurgi Indonesia.
Bensin dengan kadar RON alias angka oktan 110 ini telah diujicoba pada sepeda motor KTM 390 CC Adventure, sudah menempuh sekitar 2.000 kilometer. Dari hasil uji coba ini, diketahui bahwa per liter bensin sawit bisa menempuh jarak 33 kilometer.
Produk sawit yang merentang dari energi hingga sumber pangan ini menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Namun, di sisi lain, aneka produk ini juga mendapat tentangan di berbagai belahan dunia. Ini terkait dengan citra industri kelapa sawit yang dianggap berperan besar dalam deforestasi besar-besaran serta perusakan habitat hewan liar.
Industri kelapa sawit tentu tidak berpangku tangan. Mereka sadar bahwa keberlanjutan adalah sesuatu yang harus mereka jaga agar industri mereka tetap bisa bertahan di tengah dunia yang makin peduli soal lingkungan.
Pada 2024, terbentuklah forum The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dibentuk seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak industri kelapa sawit terhadap lingkungan dan masyarakat. Dalam forum ini, RSPO mendorong para perusahaan untuk membuat kebijakan untuk menghilangkan deforestasi, alih guna lahan alami, serta pelanggaran HAM dalam lingkaran produksi mereka; membeli dan menggunakan produk sawit yang tersertifikasi RSPO; serta transparan dalam penggunaan dan sumber kelapa sawit mereka.
“Juga patut dicatat, bahwa penting bagi industri kelapa sawit untuk terus berinvestasi dan mendukung program-program dari inisiatif kecil dan berkelanjutan,” tulis WWF.
Sedangkan di Indonesia, sejak 2020, pemerintah sudah menerapkan Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Ini adalah penguat dari kebijakan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO yang sudah dijalankan sejak 2011. Dengan adanya peraturan ini, semua usaha kelapa sawit –mulai dari perkebunan rakyat, perkebunan milik negara, hingga milik swasta– wajib mendapat sertifikasi ini sebagai jaminan agar produksi mereka sudah berjalan sesuai prinsip dan tata cara sustainability.
Pada awal tahun 2024, sudah ada 4,09 juta hektare lahan sawit yang sudah bersertifikat ISPO. Ini memang angka yang relatif kecil, mengingat luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektare. Namun mengingat ini kebijakan yang relatif baru, apresiasi harus diberikan. Apalagi penerapan sertifikasi ini bukan hal yang mudah, terutama untuk lahan perkebunan rakyat yang jumlahnya berkisar 6,2 juta hektare, atau sekitar 40,5 persen total luas lahan sawit di Indonesia.
Para pemangku kebijakan dan pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas produk kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Mengingat betapa pentingnya industri ini bagi banyak pihak, usaha untuk terus berinovasi dan berkembang sangatlah krusial demi masa depan bumi dan seluruh penghuninya. Dengan komitmen yang kuat, perubahan positif ini akan membawa manfaat jangka panjang bagi semua.[]
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis