Menuju konten utama

Ombudsman: Negara Potensi Rugi Rp279,1 T di Sektor Kelapa Sawit

Yeka mencontohkan, potensi kerugian dari aspek lahan di masalah tata kelola industri kelapa sawit bisa mencapai Rp74,1 triliun per tahun.

Ombudsman: Negara Potensi Rugi Rp279,1 T di Sektor Kelapa Sawit
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Patika, saat memaparkan Laporan Hasil Analisis Kajian Sistematik: Pencegahan Maladministrasi Dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, di Gedung Ombudsman, Senin (18/11/2024). Tirto.id/Auliya Umayna

tirto.id - Ombudsman RI menemukan sejumlah potensi maladministrasi dan kerentanan dalam tata kelola industri kelapa sawit. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan, setidaknya ada 4 aspek yang menjadi kerentanan di tata kelola industri kelapa sawit dan berpotensi merugikan negara hingga Rp279,1 triliun per tahun.

"Total potensi nilai kerugian dalam tata kelola industri kelapa sawit adalah Rp.279,1 triliun per tahun," kata Yeka saat memaparkan hasil laporan di Gedung Ombudsman, Jakarta Selatan, Senin (18/11/2024).

Yeka mengatakan, keempat titik kerentanan tersebut antara lain permasalahan lahan, perizinan, kelembagaan dan tata niaga. Ia mencontohkan, potensi kerugian dari aspek lahan bisa mencapai Rp74,1 triliun per tahun.

"Permasalahan utama tata kelola industri kelapa sawit pada aspek lahan adalah adanya tumpang tindih Hak Atas Tanah lahan perkebunan kelapa sawit dengan Kawasan Hutan. Permasalahan ini berdampak pada terhambatnya pelaksanaan Program Peremajaan Sawit Rakyat dan pemenuhan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan di Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil," ujarnya.

Yeka menyebut, luasan tanah yang mengalami tumpang tindih antara kawasan hutan dan lahan perkebunan sawit mencapai 3.222.350 hektar dengan subjek hukum kelapa sawit sejumlah 2.172 perusahaan dan 1.063 koperasi tani pekebun sawit.

Namun, ribuan subjek hukum tersebut telah selesai ditangani dengan mekanisme Pasal 110A UUCK sejumlah 115 Subjek Hukum (SH), yang terdiri dari 83 SH dengan Surat Keputusan (SK) penetapan batas pelepasan kawasan hutan, dan 32 SH dengan SK pelepasan kawasan hutan.

Sementara itu, penyelesaian hukum lewat Pasal 110B UUCK telah selesai sejumlah 53 SH dengan ditetapkan SK Denda Administratif, serta untuk Perkebunan Sawit Rakyat telah diselesaikan melalui Skema PP 24/2021 sejumlah 31 SH dengan SK Persetujuan Perhutanan Sosial. Alhasil, total penyelesaian tumpang tindih lahan perkebunan sawit dan kawasan hutan baru sebanyak 199 SH dan masih tersisa sebanyak 3.036 SH atau 93,84 persen.

Kemudian, Yeka juga menjelaskan soal aspek peremajaan sawit yang terkendala Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Hal ini menimbulkan potensi kerugian hingga Rp111,6 triliun per tahun.

"Layanan berupa STBD dan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) masih dianggap rumit, sehingga menyulitkan petani atau pekebun dalam memenuhi persyaratan untuk mendapatkan akses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” pungkasnya.

Selain itu, Yeka menerangkan, terdapat juga masalah dari Layanan Persetujuan Teknis (Pertek) berupa pemanfaatan air limbah pabrik kelapa sawit untuk diaplikasikan ke lahan atau disebut Land Application Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LA-LCPKS) yang tidak konsisten, sehingga membuat ketidakjelasan dan ketidakpastian layanan bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit.

Kemudian, Yeka menyebut, ada juga aspek kualitas bibit yang tidak sesuai Indonesia Sustaineble Palm Oil (ISPO), yang potensi kerugiannya capai Rp81,9 triliun per tahun.

"Selain itu, capaian Sertifikasi ISPO secara keseluruhan hanya 35,67 persen lahan perkebunan sawit yang telah tersertifikasi ISPO dari total 16,38 juta hektar luas areal lahan tutupan kelapa sawit di Indonesia," tuturnya.

"Terlebih jika kita melihat secara fokus terhadap capaian Sertifikasi ISPO pada Lahan Sawit yang dikelola oleh Pekebun Rakyat yang hanya 0,86% dari total 6,94 juta hektar. Rendahnya sertifikasi ISPO ini disebabkan oleh buruknya ekosistem layanan sertifikasi ISPO, tidak efektifnya Komite ISPO sebagai lembaga sertifikasi ISPO, dan ketidakjelasan dukungan kebijakan sistem pendanaan sertifikasi ISPO," tambahnya.

Yeka menambahkan, potensi kerugian tata kelola industri sawit juga muncul dari aspek kehilangan yield akibat grading yang tidak sesuai dengan standar kematangan Tandan Buah Segar (TBS), yang mencapai Rp11,5 triliun per tahun.

"Masalah lain muncul pada struktur rantai pasok penyediaan TBS dengan kebijakan yang belum mampu mengatur adanya dua struktur harga pada perdagangan TBS. Perdagangan ekspor produk kelapa sawit khususnya kebijakan tarif ekspor juga tidak seragam," ucapnya.

Oleh karena itu, Ombudsman mengeluarkan saran perbaikan kepada pemerintah berdasarkan hasil kajian mereka antara lain:

Pertama, pemerintah perlu segera menyelesaikan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan Kawasan Hutan. Dalam hal lahan perkebunan sawit rakyat telah memiliki kejelasan status Hak Atas Tanah (HAT) maka lahan tersebut dilepaskan dari kawasan hutan.

Kedua, pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan dan menata administrasi tata kelola industri kelapa sawit. Dalam hal ini, pemerintah perlu mendorong peningkatan kinerja dalam pencapaian pendataan STDB bagi pekebun rakyat dan pemenuhan sertifikasi ISPO bagi seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit.

Ketiga, pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan pendirian Pabrik Kelapa Sawit dan perizinan pendukung lainnya. Pemerintah perlu mengintegrasikan izin Pendirian Pabrik Kelapa Sawit untuk diampu oleh Kementerian di bidang Perindustrian dengan rekomendasi teknis dari Kementerian yang membidangi Perkebunan.

Keempat, pemerintah perlu segera membuat kebijakan terintegrasi tata niaga hasil produksi perkebunan kelapa sawit baik di pasar nasional maupun pasar internasional. Dalam hal ini Pemerintah perlu menjamin kepastian harga TBS di tingkat Petani (plasma dan swadaya) dengan konsekuensi penerapan sanksi jika tidak dipatuhi. Selain itu Pemerintah perlu membangun sistem pungutan yang berkeadilan pada ekspor hasil produksi kelapa sawit dan turunannya.

Terakhir, pemerintah perlu segera membentuk badan nasional yang mengurusi tata kelola hulu-hilir industri kelapa sawit yang berada langsung di bawah Presiden RI sebagai solusi atas saran perbaikan pada poin 1 sampai 3. Yeka pun mengaku hasil kajian akan diserahkan kepada Presiden RI, Prabowo Subianto serta jajaran kabinet Merah Putih. Ia pun berharap hasil kajian bisa bermanfaat.

"Secara keseluruhan, temuan dalam konteks ini menggambarkan kompleksitas industri kelapa sawit di Indonesia yang memerlukan kebijakan untuk perbaikan tata kelola, menciptakan manfaat ekonomi yang adil, dan praktik perkebunan berkelanjutan untuk memastikan kelangsungan industri dalam jangka panjang," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KELAPA SAWIT atau tulisan lainnya dari Auliya Umayna Andani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Andrian Pratama Taher