Menuju konten utama

Di Balik Kontroversi Minyak Sawit: Kebenaran yang Terabaikan

Seiring meningkatnya permintaan kelapa sawit, komoditas menjadi sasaran kampanye hitam sehingga banyak misinformasi yang beredar.

Di Balik Kontroversi Minyak Sawit: Kebenaran yang Terabaikan
Ilustrasi buah kelapa sawit. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Kelapa sawit dan produk olahannya merupakan salah satu komoditas yang menjadi sumber devisa utama Indonesia. Terlebih lagi, Ibu Pertiwi merupakan negara sentra produksi minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) global dengan kontribusi sekitar 59 persen. Posisi jawara produksi ini sudah didapuk sejak 2006, hampir dua dekade.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan permintaan atas produk olahan kelapa sawit, komoditas satu ini acapkali menjadi sorotan dan sasaran kampanye hitam. Persaingan dagang global dan kepentingan bisnis dari produsen minyak nabati lain, seperti minyak kedelai atau minyak bunga matahari, memicu penyebaran informasi yang salah tentang minyak kelapa sawit.

Berbagai opini, persepsi, pandangan, dan mitos negatif telah dikampanyekan secara terstruktur, sistematis dan masif. Isu yang umumnya marak adalah terkait dampak kesehatan dan lingkungan. Hal ini pada akhirnya menciptakan ketakutan dan stigma “miring” yang tidak berdasar di kalangan masyarakat.

Opini publik ini mengakibatkan industri kelapa sawit menerima berbagai tekanan dari masyarakat dan elemen organisasi. Tekanan ini tak jarang memengaruhi kelangsungan bisnis para pelaku usaha yang tentunya membawa dampak negatif bagi perekonomian wilayah sentra produksi sawit.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meningkatkan literasi tentang fakta sebenarnya agar tidak mudah terpengaruh oleh kampanye hitam yang didorong oleh persaingan industri. Berbagai studi telah dilakukan untuk memberikan klarifikasi atas disinformasi yang telah beredar.

Minyak Sawit dan Risiko Penyakit

Salah satu mitos yang paling umum beredar adalah anggapan bahwa minyak sawit dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan karena tingginya kandungan asam lemak jenuh. Tuduhan ini awalnya digencarkan oleh American Soybean Association (AS) pada tahun 1980-an dengan mempelopori gerakan anti-tropical oil dan mendorong penggunaan minyak sawit dan minyak kelapa.

Kandungan asam lemak jenuh tersebut dikatakan menyebabkan penyakit jantung (kardiovaskuler) hingga kanker. Padahal, studi dari ahli gizi mencatat bahwa minyak sawit mengandung keseimbangan antara lemak jenuh dan tak jenuh yang justru bermanfaat jika dikonsumsi dalam jumlah yang wajar.

Studi oleh Hariyadi P membuktikan proporsi asam lemak jenuh pada minyak sawit sekitar 50 persen, kemudian sisanya merupakan asam lemak tak jenuh. Bahkan, penelitian lain justru mengkategorikan minyak sawit sebagai minyak nabati yang berperilaku asam lemak tak jenuh (monounsaturated oils).

Tidak hanya itu, minyak sawit juga kaya akan antioksidan alami seperti vitamin A, E, dan beta-karoten, yang dikenal memiliki efek perlindungan terhadap penyakit kardiovaskular.

Untuk setiap volume yang sama, kandungan vitamin A dalam minyak sawit 15 kali lebih tinggi dari wortel. Terlebih, jika dibandingkan dengan pisang, bisa hampir 100 kali lipat lebih besar.

Selain itu, minyak sawit juga diketahui memiliki kandungan vitamin E yang lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak jagung.

Di sisi lain terdapat klaim bahwa minyak sawit menyebabkan kanker, namun tuduhan ini tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Sebaliknya, minyak sawit justru mengandung tokotrienol (tocotrienols), bagian dari vitamin E yang memiliki sifat antioksidan dan telah terbukti melawan radikal bebas dan memiliki potensi melawan kanker.

Selain itu, studi terbaru oleh Zainal (2022) mengungkapkan bahwa kandungan tokotrienol yang melimpah pada minyak sawit tidak hanya mampu mencegah kanker, tetapi juga penyakit yang berhubungan dengan usia, seperti demensia, Alzheimer, stroke dan kerusakan kulit.

Dari penjabaran studi diatas diketahui bahwa informasi risiko kesehatan yang ada pada minyak sawit, ternyata bukan karena kandungannya, melainkan dari penggunaan minyak goreng sawit yang salah.

Penggunaan minyak goreng sawit yang berulang pada suhu tinggi (160-180 derajat celcius) memicu reaksi oksidasi yang menyebabkan penurunan kualitas dan membentuk radikal bebas yang membahayakan kesehatan. Penggunaan berulang juga menurunkan kandungan gizi.

Oleh karena itu, perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat terkait cara penggunaan minyak sawit yang tepat agar dapat menikmati keunggulan gizi dan menghindari risiko penyakit.

Perkebunan Sawit Sebabkan Lahan Tandus

Tidak hanya isu miring di bidang kesehatan, propaganda yang santer menyerang industri perkebunan sawit adalah terkait dampak lingkungan. Salah satunya terkait informasi bahwa lahan perkebunan sawit mengakibatkan wilayah di sekitarnya menjadi kering dan tandus karena sifat tanaman kelapa sawit yang sangat boros air.

Jika klaim ini benar adanya, tentu lahan yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit sejak 1980-an semestinya sudah hampir menjadi gurun. Namun, faktanya lahan yang sama tetap produktif hingga kini.

Sejatinya, kelapa sawit memiliki kemampuan luar biasa dalam menjaga kelembapan tanah dan tidak seboros air seperti yang sering diklaim. Secara ilmiah, tanaman kelapa sawit mampu beradaptasi dengan berbagai jenis tanah, bahkan tanah yang kurang subur sekalipun.

Dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya, seperti kedelai atau bunga matahari, kelapa sawit justru lebih efisien atas water footprint yang dihasilkan. Water footprint adalah total volume air yang digunakan komoditas pertanian untuk memproduksi suatu produk.

Menurut penelitian, untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama, water footprint dari minyak minyak kelapa sawit sekitar 4.971 m3/ton, lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak bunga matahari dan minyak zaitun.

Hasil yang serupa juga terlihat dari water footprint produksi biodiesel. Untuk menghasilkan 1 liter biodiesel dari tanaman kedelai dan bunga matahari, dibutuhkan volume air berturut-turut sebanyak 11,4 ribu liter dan 15,8 ribu liter. Sementara itu jika menggunakan kelapa sawit sebagai bahan baku utama, air yang digunakan hanya 5,2 ribu liter, tergolong paling efisien.

Lebih lanjut, kelapa sawit juga memiliki sistem perakaran yang baik, sehingga dapat membantu menyerap dan menyimpan air hujan. Hal ini didorong bentuk akar sawit yang serabut massif, luas dan dalam yang membentuk sistem biopori alamiah. Sistem ini berperan meningkatkan kemampuan perkebunan sawit untuk menyerap air dan mengurangi laju aliran air permukaan (run-off).

Sementara itu, bentuk pelepah daun kelapa sawit yang berlapis mampu menaungi lahan dan melindungi tanah dari pukulan langsung air hujan. Dengan cara ini, perkebunan kelapa sawit sebenarnya membantu menjaga struktur tanah dan mengurangi risiko erosi, yang sering kali menjadi penyebab lahan menjadi tandus di area lain yang tidak terkelola dengan baik​.

Infografik BPDPKS 4

Infografik Narasi Kebenaran Sawit yang Terabaikan. tirto.id/Mojo

Sawit yang Berkelanjutan

Industri kelapa sawit sering dituduh sebagai penyebab utama deforestasi dan perusakan lingkungan global. Namun, apa yang sering diabaikan dalam narasi ini adalah bahwa Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, telah mengembangkan berbagai inisiatif untuk memastikan keberlanjutan industri ini. Bahkan bisa dikatakan, Indonesia merupakan negara pertama yang melakukan sertifikasi minyak nabati berkelanjutan.

Lebih lanjut, minyak kelapa sawit adalah satu-satunya minyak nabati yang telah mengembangkan sistem sertifikasi berkelanjutan, seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

RSPO adalah inisiatif global yang memastikan produksi kelapa sawit dilakukan tanpa merusak hutan primer atau lahan dengan nilai konservasi tinggi. Sedangkan ISPO merupakan sistem sertifikasi yang dikembangkan khusus oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa produksi kelapa sawit di dalam negeri memenuhi standar keberlanjutan nasional.

Banyak perkebunan kelapa sawit di Indonesia kini sudah tersertifikasi ISPO dan RSPO, yang berarti mereka mematuhi standar keberlanjutan global yang ketat​.

Selain itu, kelapa sawit merupakan tanaman yang sangat efisien. Dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya seperti kedelai dan rapeseed, kelapa sawit mampu menghasilkan lebih banyak minyak per hektar lahan.

Ini berarti untuk memenuhi permintaan minyak nabati global, kelapa sawit membutuhkan lahan yang jauh lebih sedikit, yang pada akhirnya membantu mengurangi tekanan terhadap deforestasi yang lebih luas. Sebagai negara produsen terbesar, Indonesia terus berusaha meningkatkan praktik berkelanjutan dalam produksi kelapa sawit melalui kebijakan replanting dan pemanfaatan teknologi modern dalam pengelolaan lahan​.

Mitos-mitos terkait kesehatan, lingkungan, dan keberlanjutan yang kerap beredar dapat diluruskan dengan informasi yang benar, sehingga masyarakat dapat memahami dampak positif dan kontribusi industri kelapa sawit secara lebih objektif.

Dengan pemahaman yang lebih baik dan data ilmiah yang kuat, dapat dilihat bahwa minyak sawit, bila dikelola dengan baik, memiliki potensi besar untuk menjadi sumber energi dan pangan yang efisien serta berkelanjutan bagi dunia

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis