tirto.id - Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, memang jagonya mengutarakan niat baik. Bagaimana tidak? Kenaikan harga daging sapi dan ayam di Ramadhan ini disebutnya sebagai sedekah untuk peternak. Amran memberikan ujar-ujar, agar warga bersikap pengertian dengan kenaikan daging sapi dan ayam saat ini.
Menurut Mentan dua periode itu, kenaikan harga daging barangkali menjadi bonus THR bagi para peternak. Sayangnya, pernyataan Amran justru dinilai sejumlah pihak kurang tepat. Bukan hanya tanpa dasar, tapi tidak menelurkan solusi atas kenaikan harga daging di bulan suci ini.
Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mengingatkan kenaikan harga jelang dan saat Ramadhan tidak otomatis dinikmati oleh peternak. Kata dia, kenaikan harga daging sapi dan ayam merupakan siklus tahunan seiring terjadinya peningkatan permintaan.
“Ketika permintaan naik sementara pasokan tetap, harga potensial naik,” kata Khudori kepada reporter Tirto, Kamis (14/3/2024).
Khudori menjelaskan, saat ini harga ayam hidup di peternak rata-rata di kisaran Rp22 ribu per kilogram. Harga ini relatif rendah dan hanya sejengkal di atas biaya pokok produksi peternak. Biaya pokok produksi ayam hidup saat ini, kata dia, mencapai Rp21.500 ribu per kilogram.
Berkaca dari keadaan para peternak ayam, situasi yang dihadapi mereka masih cukup memprihatinkan beberapa tahun ke belakang. Seringkali peternak ayam dihadapkan pada harga jual yang rendah, bahkan di bawah biaya pokok produksi. Di sisi lain, ongkos produksi terus membengkak.
“Jadi, mereka terhimpit dari dua sisi. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun, tapi belum ada kebijakan yang menolong mereka. Kebijakan yang ada sifatnya reaktif dan tidak banyak menolong,” ujar Khudori saat menuturkan nasib peternak ayam.
Lebih lanjut, saat ini harga karkas (daging) ayam mencapai Rp39 ribu sampai Rp40 ribu per kilogram di pasaran. Dengan begitu, ada disparitas harga yang lebar antara harga ayam hidup dengan harga karkas ayam di konsumen. Adanya disparitas yang tinggi itu mencerminkan bahwa peternak tidak menjadi pihak yang menerima balas jasa terbesar dalam keseluruhan rantai produksi daging dan telur ayam.
Nasib tak jauh berbeda juga terjadi pada peternak sapi. Menurut Khudori, sudah sejak beberapa tahun lalu peternak sapi terpukul oleh kebijakan impor daging kerbau dari India. Daging kerbau impor dari India yang murah, mendesak dan merebut pasar daging sapi segar maupun daging sapi beku impor.
“Ironisnya, kebijakan yang dimaksudkan untuk menurunkan harga daging sapi itu tidak pernah tercapai. Bahkan, harga daging yang semula ditargetkan dijual Rp80 ribu per kilogram kini dijual dengan harga tinggi,” jelas dia.
Di pasar sudah ditemukan adanya praktik daging sapi yang dioplos dengan daging kerbau namun tetap dijual dengan harga daging sapi. Alhasil, penjual menangguk untung besar akibat praktik culas ini. Saat ini harga daging sapi hidup sekitar Rp52 ribu per kilogram.
Diolah menjadi karkas (daging) harga normalnya sekitar Rp115 ribu hingga Rp120 ribu per kilogram. Namun, kata Khudori, harga yang sampai di konsumen sudah tembus lebih dari Rp135 ribu per kilogram.
“Yang menikmati untung besar adalah belantik. Sementara peternak dan pedagang eceran hanya kebagian remah-remah,” tutur Khudori.
Kendati demikian, Khudori menilai stok daging sapi mungkin akan cukup sampai setelah Ramadhan. Jika ada tanda-tanda stok menipis, pemerintah disarankan segera meminta importir merealisasikan impor daging sapi.
Adapun untuk peternak ayam, dia menilai pemerintah perlu memastikan harga jagung mesti tetap terjangkau. Dianjurkan tidak jauh dari harga acuan di peternak yakni sebesar Rp5.000 per kilogram.
Harga jagung yang tinggi membuat biaya pakan tinggi, yang akan berimbas pada keadaan peternak. Jika peternak ayam pedaging kepayahan, mereka biasanya akan menghentikan produksi sementara yang tentu akan berdampak pada produksi.
Potensi Defisit Stok
Naiknya harga daging juga diiringi dengan ancaman defisit stok yang membayanginya. Kekhawatiran ini diutarakan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Suhandri.
Dia mengungkapkan stok daging di Indonesia saat awal Ramadhan terancam langka imbas penerbitan izin impor daging dari Kementerian Perdagangan mengalami keterlambatan. Menurut dia, penerbitan izin impor tahun ini untuk kebutuhan Ramadhan berbeda dengan periode yang sama tahun lalu.
Pada 2023, izin impor diterbitkan dengan jarak waktu satu bulan lebih awal jelang bulan puasa. Namun pada tahun ini penerbitan izin tersebut dilakukan kurang lebih dua minggu jelang Ramadhan. Jadi, akan ada keterlambatan stok daging sapi saat awal bulan suci.
“Benar [akan ada kelangkaan di awal Ramadhan] karena stok daging di distributor juga tergantung dari stok di importir, di samping ketersediaan sapi lokal yang saya kira juga belum siap stoknya,” ucap Suhandri saat dihubungi Tirto, Senin (11/3/2024) lalu.
Pengamat pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menilai kenaikan harga di awal bulan ini memang disebabkan sebab tingginya permintaan diiringi suplai yang kurang memadai. Eliza memantau, harga daging sapi di sentra-sentra produksi daging seperti Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah kompak mengalami kenaikan.
“Artinya dari sisi supply kurang, karena memang kebutuhan daging nasional itu kurang lebih 45 persennya dari impor,” ujar Eliza kepada reporter Tirto.
Menurut dia, kenaikan harga daging sapi kemungkinan cukup dirasakan peternak meskipun dampaknya tidak signifikan. Hal ini terlihat dari nilai tukar peternak yang naik tipis pada Februari 2024 menjadi 100,79, dari bulan sebelumnya di angka 100,49.
“Namun memang secara besaran keuntungan peternak lokal tidak besar, karena kuantitas yang dijual tidak banyak. Mengingat skala usaha peternak lokal yang mayoritas adalah skala kecil,” kata Eliza.
Sementara untuk kenaikan harga daging ayam, dia menyebut hal ini disebabkan pola budidaya tahunan. Sebab, saat ini memang sebagian besar peternak belum panen, dan diperkirakan akan memetik hasil di bulan April 2024. Ditambah, momentum Ramadhan yang menyebabkan harga daging ayam terkerek.
“Jadi [kenaikan harga] tidak serta-merta membuat peternak langsung sejahtera. Bahkan Nilai Tukar Peternak per Februari kemarin lebih rendah jika dibandingkan dengan November 2023 lalu,” ungkap Eliza.
Maka, niat baik Mentan Amran Sulaiman sebaiknya diiringi solusi untuk menekan harga daging sapi dan ayam yang meroket di bulan Ramadhan. Kenaikan harga tidak sekonyong-konyong membuat kantong peternak tebal. Sebaliknya, sejumlah data yang diungkap para pengamat pangan justru menunjukkan keadaan peternak kecil yang masih terseok-seok.
Jika tak dibenahi, bukan mustahil daging sapi dan ayam hanya akan dinikmati oleh kelompok kalangan atas di bulan Ramadhan. Terlebih, dengan lambatnya impor daging sapi yang menimbulkan kekhawatiran langkanya daging lembu di pasaran.
Eliza berpendapat, pemerintah sebaiknya memperbaiki manajemen stok dan distribusi. Pasalnya, setiap daerah punya harga yang berbeda-berbeda. Daging sapi misalnya tertinggi bisa menyentuh hingga Rp161 ribu per kilogram di Kalimantan Selatan dan Aceh. Di sisi lain, ada daerah yang harganya justru rendah, seperti Kepulauan Riau yang rata-rata dipatok Rp100 ribu per kilogram.
“Untuk menjaga stabilitas harga diperlukan infrastruktur cold storage yang memadai. Pada saat panen raya, peternak seringkali harus langsung menjual produknya agar cepat laku mengingat produknya mudah busuk. Akibatnya harga anjlok karena over supply,” jelas Eliza.
Sesat Pikir
Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, menilai kenaikan harga daging sapi dan ayam di bulan Ramadhan hal yang wajar. Dia menilai para peternak tidak punya THR (tunjangan hari raya) di setiap Lebaran jadi harga naik akan menjadi sedekah untuk mereka.
“Biarlah naik dikit. Sekarang stoknya cukup, produksi ayam cukup, telur kita cukup, tapi kalau naik dikit, tolong dipahami bahwa peternak kita, petani cabai kita, tidak punya THR, kami memohon kepada masyarakat kalau naik sedikit itulah mungkin sedekah untuk peternak kita,” ucap Amran usai Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Lebih lanjut, Amran menyebut, rencana kerja pemerintah (RKP) dan program kerja Kementerian Pertanian 2024 akan mengambil tajuk ‘Mempercepat Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan’. Pada 2024, produksi beras atau padi ditargetkan 32 juta ton, cabai 3 juta ton, jagung 16,6 juta ton, kedelai 0,3 juta ton, bawang putih 45,91 ribu ton, bawang merah 1,74 juta ton dan juga daging ayam 4 juta ton.
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menilai pernyataan Amran sebagai klaim prematur yang terlalu menyederhanakan masalah dan cenderung sesat pikir. Sebabnya, yang lebih banyak diuntungkan dari kenaikan harga daging sapi adalah importir dan pedagang besar perantara.
“[Kalau] Yang lebih banyak diuntungkan dari kenaikan harga daging ayam adalah perusahaan ayam terintegrasi dan pedagang besar perantara,” tutur Yusuf kepada reporter Tirto.
Kesalahan berpikir berikutnya, kata Yusuf, Mentan Amran malah mewajarkan kenaikan harga daging di bulan Ramadhan. Fenomena ini seharusnya sudah diprediksi karena terjadi tahunan. Seharusnya pemerintah sudah mitigasi kenaikan harga, sehingga dari tahun ke tahun gejolak harga pangan di bulan Ramadhan mampu ditangani.
“Maka gejolak harga pangan di Ramadhan tahun ini menunjukkan kegagalan perencanaan yang signifikan dari pembuat kebijakan,” kata Yusuf.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang