tirto.id - “THR akan dibayarkan paling cepat 10 hari sebelum Hari Raya Idulfitri.”
Kalimat penyejuk itu, menjadi angin segar bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menginformasikan bahwa pencairan THR bagi abdi negara dilakukan lebih awal di hari kerja atau tepatnya H-10 Lebaran.
Pencairan lebih awal itu, tentu bukan tanpa maksud. Bendahara Negara ingin pencairan THR secara penuh di tahun ini bakal meningkatkan daya beli. Lebih khusus, dia menginginkan PNS bisa membelanjakan tunjangan tersebut untuk produk-produk dalam negeri.
“Kami harapkan akan meningkatkan daya beli. Untuk mendorong ekonomi lokal supaya ini benar-benar bermanfaat,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, di Kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (15/3/2024).
Untuk tahun ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) setidaknya mengalokasikan anggaran sebesar Rp48,7 triliun untuk THR. Anggaran untuk kebutuhan pembayaran THR tahun ini tercatat lebih besar dibandingkan pada 2023.
Tahun lalu, anggaran serupa dialokasikan Rp38,8 triliun meliputi komponen gaji pokok dan tunjangan kinerja 50 persen. Sementara tahun ini diberikan secara full 100 persen.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat pemberian THR yang lebih awal untuk ASN, TNI, dan Polri menjadi sebuah pesan implisit dari pemerintah bahwasanya akan ada tambahan likuiditas yang didapatkan oleh pegawai pemerintah.
“Kenapa kemudian pemerintah kerap kali mengirimkan pesan terkait penyaluran THR terutama jauh hari, harapannya pesan implisit ini ditangkap oleh pelaku usaha ataupun industri dengan mempersiapkan kapasitas produksi mereka," kata Yusuf kepada Tirto, Jumat (15/3/2024).
Sederhananya, kata dia, ketika para pegawai pemerintah mendapatkan THR, maka besar peluang kemudian dana tersebut akan dikonsumsi. Konsumsi tersebut tentu akan bervariasi untuk berbagai kebutuhan barang ataupun jasa.
“Sehingga pelaku usaha diharapkan menyesuaikan produksi mereka dan harga jual mereka dari pesan implisit pembagian THR yang dilakukan oleh pemerintah," ujar dia.
Kebutuhan Belanja dan Konsumsi
Di sisi lain, lanjut Yusuf, kenapa kemudian THR ini diminta untuk diberikan dengan jangka waktu H-10 Lebaran atau lebih cepat untuk mengantisipasi dana tersebut bisa dibelanjakan atau dikonsumsi. Sebab, berdasarkan analisa Google, bahwa tingkat pembelanjaan masyarakat di bulan suci Ramadhan lebih tinggi dibandingkan dengan periode promo tanggal ganda (promo 1.1, 2.2, dst).
Tak hanya itu, laporan terbaru InMobi dan Glance berjudul The Marketer’s Guide to Ramadhan, menyebutkan bahwa mayoritas penduduk (58 persen) Indonesia berencana menghabiskan lebih dari Rp3 juta, dengan tiga dari lima orang menyiapkan anggaran di kisaran Rp3-5 juta.
Peningkatan tersebut didorong oleh faktor pemulihan ekonomi, keberagaman saluran belanja dan semarak perayaan Ramadhan yang cukup tinggi tahun ini.
Uniknya, survei tersebut menganalisa kebanyakan masyarakat mulai membelanjakan anggaran Ramadhan justru jauh-jauh hari. Belanja Ramadhan tahun ini dimulai pada akhir Februari 2024. Polanya akan meningkat sepanjang Maret sebelum mencapai puncaknya pada pertengahan April
Peningkatan pola konsumsi selama Ramadhan juga dapat terlihat dari tren aliran uang di masyarakat. Bank Indonesia (BI) mencatat pada momentum Ramadhan tahun lalu (2023), jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) mencapai Rp8.350,4 triliun pada April 2023.
Uang tersebut tumbuh 5,5 persen secara year on year (yoy), setelah bulan sebelumnya juga tumbuh 6,2 persen (yoy). Perkembangan M2 tersebut dianalisa imbas dari kenaikan penyaluran kredit kredit produktif maupun konsumtif.
Permasalahannya, lanjut Yusuf, jika THR diberikan mendekati Lebaran, beberapa aktivitas perekonomian ada yang libur untuk sementara waktu. Akibatnya perputaran uang tidak terjadi secara maksimal.
“Sehingga tentu ini kemudian bisa mengurangi peluang dari dibelanjakannya uang THR yang diberikan,” kata dia.
Lemahnya Pengawasan THR di Sektor Swasta
Lebih jauh, jika melihat masalah kejelasan THR bagi abdi negara, tentu tidak bisa disamakan dengan pekerja ada di sektor swasta. Tunjangan diberikan selama setahun sekali itu, kerap menemui berbagai permasalahan. Mulai dari dicicil hingga diberikan saat mepet Lebaran.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat permasalahan THR terjadi di sektor swasta terjadi akibat kurangnya pengawasan dari pemerintah. Kondisi ini, tentu berbeda dengan THR ASN, TNI, Polri setiap tahunnya diberikan sesuai dengan waktunya.
“Kekuatan pemerintah melalui pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan untuk menjamin THR sektor swasta itu tepat waktu masih lemah," kata Bhima kepada Tirto, Jumat (15/4/2024).
Pemerintah, kata Bhima, kadang menyerahkan mekanisme THR begitu saja kepada kebijakan setiap perusahaan-perusahaan sektor swasta. Semestinya, kondisi itu tidak bisa dibiarkan secara terus menerus.
“Ini tidak bisa dibiarkan seperti ini. THR merupakan kewajiban bagi perusahaan," imbuh dia.
Atas dasar itu, kata Bhima, selain membuka posko pengaduan THR pemerintah bisa melakukan tindakan tegas kepada perusahaan apabila sudah jelas terlambat. Apalagi perusahaan tersebut nyatanya mampu secara keuangan.
“Maka perlu ada sanksi. Sanksi tegas bahkan bisa sampai pidana misalnya bagi si pemilik usaha yang sengaja mangkir dari pembayaran THR tepat waktu," kata Bhima.
Bhima menambahkan, “Jadi jangan sampai ada lagi sebenarnya kasus THR terlambat dibayar. Karena itu adalah hak kepada pekerja.”
Terlebih, kata Bhima, dampak THR sangat positif bagi perekonomian domestik. Karena setidaknya, para pekerja di sektor swasta bisa menggunakan THR untuk membeli beras, menyiapkan mudik Lebaran, dan pada akhirnya uang akan cepat mengalir ke daerah.
“Apalagi kalau buruh atau pekerja ini dia tidak mungkin menyimpan THR. Karena begitu mendapatkan THR langsung dibelanjakan. Jadi efek perputaran ekonominya pun juga cukup besar," kata dia.
Imbauan Kemenaker Mengenai THR
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, sebelumnya mengingatkan pembayaran THR paling lambat dilaksanakan sepekan jelang pelaksanaan Hari Raya Idulfitri. Dia meminta perusahaan tak terlambat karena berkaitan dengan hajat hidup karyawan perusahaan.
“Pembayaran THR paling akhir satu minggu atau tujuh hari sebelum hari H, meskipun sudah lazim surat edaran tetap akan kita berikan kepada gubernur ini masih dalam proses administrasi dan segera kita sampaikan," kata Ida di Istana Negara, Rabu (13/3/2024).
Selain itu, Ida juga melarang perusahaan untuk mencicil pembayaran tunjangan hari raya (THR) kepada karyawannya di masa Idulfitri 1445 Hijriah.
“Enggak boleh, enggak boleh," imbuh dia.
Ida menegaskan membayar THR telah menjadi kewajiban dan pengetahuan umum bagi setiap perusahaan. Dia tidak lagi menerima alasan bagi perusahaan yang enggan, menunda atau mencicil pembayaran THR.
“Sampai sekarang tidak ya, karena semua pengusaha juga tahu itu kewajiban yang mesti dilaksanakan para pengusaha,” kata dia.
Oleh karena itu, pihaknya akan kembali membuka posko pengaduan yang membuka ruang kepada setiap karyawan yang tidak mendapat THR. Ia mengaku akan menyiapkan sanksi tegas kepada setiap perusahaan yang enggan atau menunda pembayaran THR.
“Kami tadi sampaikan akan buka posko THR, Senin atau Selasa surat akan kami edarkan dan kami akan membuka posko THR,” kata dia.
Untuk diketahui, pada 2023 setidaknya ada 1.540 aduan terkait THR yang disampaikan kepada Kementerian maupun Dinas Ketenagakerjaan yang di provinsi maupun kabupaten/kota terkait masalah THR. Dia berharap pada tahun ini terjadi perbaikan dalam proses pembayaran THR.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, menekankan bahwa Pasal 5 ayat (4) Permenaker 6/2016 tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, mengatur pengusaha wajib membayar THR paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Jangka waktu pembayaran paling lambat tujuh hari tersebut, kata dia, dimaksudkan sebagai batas akhir pembayaran THR. Sehingga lebih dari tujuh hari pun (misalnya 10 hari sebelum hari raya keagamaan) tentu sangat diperbolehkan.
"Jadi jangka waktu paling lambat tujuh hari tersebut dianggap cukup," kata Anwar kepada Tirto, Jumat (15/3/2024).
Menurut Anwar, pada umumnya belanja kebutuhan untuk persiapan perayaan hari raya keagamaan dilakukan tujuh hari sebelum jatuh tempo hari raya keagamaan.
"Sesuai dengan regulasi, Permenaker 6/2016, informasi mengenai THR sudah dimengerti sebelumnya, karenanya perusahaan tentunya sudah mengalokasikan untuk THR pada RKAP-nya," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz