Menuju konten utama

Blusukan ala Jokowi Tak Dengar Aspirasi & Kental Muatan Politis?

Blusukan Presiden Jokowi dinilai sekadar mengejar reputasi yang bercitra publik semata yang sifatnya tidak permanen.

Blusukan ala Jokowi Tak Dengar Aspirasi & Kental Muatan Politis?
Presiden Jokowi tiba-tiba hadir di sebuah gerbong KRL jurusan jakarta-bogor saat jam pulang kerja, Rabu (6/3/19). Foto/Istimewa

tirto.id - “Pak Jokowi, tolong kami,” teriak para ibu-ibu menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika berkunjung ke Pasar Gelugur, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara, Jumat (15/3/2024) pekan lalu.

Suasana riuh berubah kalut ketika poster aspirasi seorang warga yang menyuarakan tuntutannya, direbut paksa oleh seorang pria berkemeja merah. Poster yang dibentangkan berisikan protes dari masyarakat yang bertuliskan 'Kami Mau Sehat. Tidak Dicemari PT. PPSP'.

Kejadian tersebut viral di media sosial. Dalam video terlihat para ibu-ibu langsung membela pemilik poster yang dirampas. Mereka adalah warga Pulo Padang, Kabupaten Labuhan Batu, yang menyuarakan aspirasinya terkait aktivitas perusahaan sawit yang mencemari lingkungan dan ruang hidup warga.

Pria yang merampas poster tersebut diduga salah satu jajaran pengamanan Jokowi. Alih-alih menerima dan mendengarkan aspirasi warga, Jokowi malah terkesan acuh atas kejadian tersebut. Padahal, peristiwa perampasan poster itu tidak jauh dari tempat Jokowi berdiri menyapa warga.

Kunjungan Jokowi Kental Muatan Politis

Tak ayal protes datang menuding Jokowi tak menjalankan tugasnya dengan baik sebagai kepala negara yang melakukan blusukan. Alih-alih mendengarkan suara rakyat, agenda Jokowi turun ke masyarakat seakan berubah menjadi karpet merah untuk menggenjot citra diri dan mengerek kepentingan politis semata.

Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menilai aktivitas blusukan Jokowi sejak awal sudah kental muatan politisnya dibanding berfokus membenahi masalah rakyat. Sebab, perampasan poster dan pembungkaman aspirasi ketika Jokowi blusukan bukan hanya terjadi kali ini saja.

“Banyak hal kejadian kemudian para pengawal Presiden kemudian termasuk juga kita mengenal kelompok buzzer, melakukan tekanan dan kontra pada kritik dan aspirasi masyarakat,” kata Dedi kepada Tirto, Senin (18/3/2024).

Dedi menjelaskan, blusukan Jokowi sekadar mengejar reputasi yang bercitra publik semata yang sifatnya tidak permanen. Terlihat dari agenda-agenda Jokowi di tengah masyarakat cenderung populis dan seharusnya tidak perlu dilakukan langsung oleh seorang Presiden.

“Terbukti misalnya, pada bagi-bagi sertifikat tanah. Itu sebenarnya kan bukan tugas yang harus dilakukan oleh Presiden dan itu pekerjaan yang sangat remeh sekali,” ujar Dedi.

Penyerahan sertipikat tanah untuk rakyat Jawa Timur

Presiden Joko Widodo menghitung sertipikat tanah warga saat penyerahan sertipikat tanah untuk rakyat Jawa Timur di Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (27/12/2023). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/Spt.

Seperti agenda Jokowi yang didampingi Iriana Joko Widodo membagikan sertifikat hak atas tanah di Alun-alun Wonosobo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Senin (22/1/2024) lalu. Sertifikat tersebut merupakan bagian dari program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) untuk masyarakat di tiga wilayah, yakni Kabupaten Wonosobo, Purworejo, dan Kebumen.

“Karena proses pengukuran dan lainnya ada di desa bukan di Presiden, maka satu contoh ini saja menggambarkan bahwa Jokowi lebih haus pada pujian dibandingkan mengelola atau memimpin negara dengan seksama,” tutur Dedi.

Para pendengung dinilai ikut melindungi Jokowi dari kritik dan aspirasi warga yang menuntut keadilan. Bahkan, dalam catatan IPO, kepuasan publik pada kinerja keseluruhan Jokowi cenderung rendah. Hal ini tentu kontras dengan hasil sejumlah survei yang menyatakan bahwa kepuasan publik pada kepemimpinan Jokowi mencapai kisaran 70 persen.

“Dengan catatan, catatan ya, saat itu pertanyaannya soal kondisi ekonomi kelas bawah, penegakan hukum, termasuk kondisi politik semuanya rendah tidak ada yang lebih dari 47 persen. Kalau ada hasil kepuasan Presiden itu tinggi, itu tidak pada faktor kepuasan kinerja Presiden secara umum,” jelas Dedi.

Dedi menambahkan, skors tinggi atas kepuasaan publik pada kepemimpinan Jokowi hanya berdasarkan pada acuan program bansos yang gencar dikeluarkan. Bansos ini memang getol digelontorkan dan banyak membantu masyarakat, terutama saat masa pandemi COVID-19.

“Itu memang masa keemasan presiden dalam menerima kepuasan publik yang tinggi. Termasuk [bansos] mendekati pemilihan umum [2024] kepuasaan Jokowi mencapai 70 persen, tetapi penilaian kinerja Presiden ini kontradiktif pada kinerja penilaian pada aspek ekonomi, hukum, dan politik,” ungkap Dedi.

Masuk Pelanggaran HAM

Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rozy Brilian, mengecam keras dugaan tindakan represif yang dilakukan jajaran keamanan Presiden saat merebut poster aspirasi warga.

Dia menilai kejadian itu masuk dalam kategori tindakan eksesif yang tidak profesional, tidak berbasis akal. Rozy juga menuturkan hal itu jelas-jelas melanggar hak kebebasan berekspresi warga dalam menyampaikan aspirasi.

Insiden tersebut mempertegas presiden justru membangun kultur blusukan hanya sebagai cara pencitraan semata yang tidak membenahi masalah warga. Padahal dia menilai hakikat blusukan merupakan aktivitas seorang pemimpin negara mendengar keluh kesah dan aspirasi masyarakat agar memahami keadaan di lapangan.

“Masyarakat menyampaikan aspirasi cuma lewat poster yang isinya pun tidak ada kata umpatan, hinaan, cacian. Justru ditindak, diamankan, dirampas posternya. Ini tentu saja pelanggaran berbagai klasifikasi hak asasi manusia,” kata Rozy.

PRESIDEN KUNJUNGI PASAR TRADISIONAL

Presiden Joko Widodo menyapa pedagang ketika mengunjungi Pasar Sidoarjo, Lamongan, Jawa Timur, Senin (19/11/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj.

Rozy menuturkan, ini bukan pertama kali Jokowi atau jajarannya tidak mendengarkan aspirasi warga ketika kunjungan dan malah membungkam tuntutan mereka. Pada 2021 silam, kunjungan Jokowi ke Universitas Sebelas Maret (UNS), diwarnai dengan penangkapan mahasiswa oleh polisi.

Mereka dicokok aparat karena membentangkan poster kritik di pinggir jalan yang dilintasi rombongan Jokowi. Pada Agustus 2021, seorang peternak di Blitar juga diciduk polisi ketika Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Kota Blitar.

Peternak tersebut diamankan karena membentangkan poster saat mobil rombongan Jokowi hendak melintas menuju makam Bung Karno. Poster yang dibawa pria tersebut bertuliskan, ‘Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar’.

Kejadian serupa juga pernah terjadi pada akhir tahun 2019 di Tuban. Kala itu, tiga petani ditangkap polisi ketika Jokowi kunjungan kerja untuk meninjau kilang Petrokimia di Tuban, Jawa Timur. Mereka ditangkap karena berniat membentangkan spanduk protes menolak lahan mereka digusur untuk pembangunan kilang minyak.

“Presiden yang ngakunya demokratis lagi-lagi harus menunjukkan wajah aslinya bahwa dia adalah pemimpin yang mengarah pada otoritarian dan tidak mau mendengar aspirasi publik,” jelas Rozy.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyayangkan sikap Jokowi yang diam saat kekerasan dan pembungkaman ekspresi warga di depan matanya. Isnur berpendapat, sikap ini mencerminkan Jokowi buta mata dan buta hati serta tuli telinganya dalam mendengarkan aspirasi masyarakat.

Isnur menjelaskan, rezim pemerintahan saat ini sudah mengarah dalam kategori otoritarian. Maka tidak heran kekerasan dan pembungkaman atas kritik berjamuran di mana-mana.

“Kita curiga bahwa pembungkaman tersebut adalah bagian dari keamanan presiden. Jadi ini jelas bahwa Jokowi ke lapangan bukan menyerap aspirasi tapi malah mengkondisikan [warga] sesuai dengan kehendaknya. Ini bagian dari abuse of power,” tegas Isnur.

Paspamres Bantah Lakukan Kekerasan

Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) membantah melakukan upaya kekerasan dalam kasus ini. Asintel Paspampres Kolonel Herman Taryaman mengatakan, paspampres tidak melakukan kekerasan sebagaimana dalam video yang beredar. Dia mengatakan, pasukan yang mengambil paksa spanduk warga bukan bagian Paspampres.

“Apabila kita perhatikan dalam video yang beredar di media sosial (medsos) terkait adanya seseorang yang berbaju sipil warna merah lengan panjang merebut spanduk dari warga kami yakinkan itu bukan anggota paspampres,” katanya dalam keterangan, Senin (18/3/2024).

Jokowi blusukan di Pasar Kranggan

Presiden Joko Widodo blusukan di Pasar Kranggan Kota Yogyakarta, Rabu (25/7/2018). ANTARA /agus Salim

Dia menjelaskan, Paspampres yang bertugas menggunakan seragam resmi dengan tanda pin menempel di kerah baju. Saat pelaksanaan pengamanan VVIP Presiden Jokowi di Pasar Gelugur, Labuhan batu, Paspampres menggunakan baju resmi tactical lengan panjang warna biru untuk main grup dan baju resmi tactical lengan pendek warna merah marun untuk tim advance.

Di sisi lain, Herman menerangkan, paspampres bertugas sesuai UU 34 tahun 2004 tentang Pengamanan VVIP bahwa mereka melakukan pengamanan fisik jarak dekat kepada VVIP.

“Kami sampaikan sekali lagi bahwa tugas paspampres fokus terhadap pengamanan fisik jarak dekat terhadap VVIP,” tegas Herman.

Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana enggan berkomentar lebih jauh soal kejadian ini. Kepada Tirto, Ari mengirimkan keterangan serupa yang dirilis oleh Paspampres.

Baca juga artikel terkait JOKOWI BLUSUKAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Intan Umbari Prihatin