tirto.id - “Kami perempuan lebih dekat dengan alam,” ucap Hermina Mawa dengan nada tegas. Wanita yang akrab disapa Mama Mince ini, merupakan anggota masyarakat adat Redu dari Desa Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Mama Mince sedang menceritakan perjuangan masyarakat adat Redu, terutama para perempuan alias mama-mama warga Rendu, yang berjuang di garis depan melawan upaya pencaplokan tanah adat (ulayat) untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Lambo. Menurut dia, pembangunan proyek negara itu mengancam alam yang terhampar di Rendubutowe dan akan mempengaruhi kehidupan masyarakat adat Rendu.
“Kami masih tetap hidup dengan tanah yang ada. Bahkan turun temurun kami masih minum dengan air bersih,” kata Mama Mince di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), Jakarta Selatan, Jumat (15/3/2024).
Dia menuturkan, perempuan yang paling merasakan dampak pembangunan ini karena paling dekat dengan alam. Perempuan masyarakat adat Rendu, kata Mama Mince, menyiapkan bahan makanan seperti jagung dan beras untuk asupan keluarga. Tanah adat mereka yang terancam digarap untuk pembangunan Waduk Lambo adalah sumber penghidupan warga.
“Hidup kami hanya dengan tanah, kami tidak hidup dengan yang lain, kami tidak bisa,” ujar Mama Mince.
Serupa dengan Mama Mince, Momonus, perwakilan masyarakat adat Dayak Iban di Semunying Jaya, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, juga sudah makan asam garam mempertahankan tanah adat dari caplokan korporasi. Sebuah perusahaan sawit hadir pada tahun 2004 di kampung halaman Momonus tanpa disertai sosialisasi. Mereka sekonyong-konyong menggarap ladang warga dan membakar hutan.
“Perusahaan masuk tidak sosialisasi jadi terjadi gusur-menggusur hak [adat] sehingga kami melakukan pengamanan,” tutur Momonus.
Tak disangka, upaya perlawanan Momonus dan masyarakat adat Dayak Iban lain justru berujung bui. Perusahaan sawit lewat kepolisian menggelandang Momonus, saat itu masih sebagai Kepala Desa Semunying Jaya, ke Polres Bengkayang. Dia tidur di sel selama sembilan hari dengan delik aduan perampasan dan pengancaman.
“Setelah itu saya jadi tahanan kota di Bengkayang, saya 20 hari enggak boleh keluar kota,” tutur Momonus.
Menurut Momonus, yang dilakukannya merupakan upaya membela masyarakat adat dan mempertahankan hak atas tanah adat Dayak Iban yang direbut korporasi. Hingga kini, kata dia, meski perusahaan sawit itu sempat disegel pemerintah namun aktivitas korporasi itu masih terus berlanjut dan meresahkan warga.
“Negara sih memang merdeka, tapi masyarakat adat belum merdeka [di tanah sendiri],” tegas dia.
Bangkit dari tempat duduknya, Faris Bobero, berbicara sambil tak kuasa menahan emosi. Air matanya tumpah ketika menceritakan pedihnya menjadi orang Tobelo yang kerap dicecar stigma negatif. Pria asal Ternate, Maluku Utara, tersebut merupakan masyarakat adat O’Hoberera Manyawa atau suku Tobelo di luar hutan.
Faris merupakan aktivis cum jurnalis yang rajin menyuarakan perjuangan orang Tobelo dan meluruskan stigma negatif yang kerap diarahkan pada mereka. Misalnya, cap primitif dan tuna budaya yang diterima komunitas adat Tobelo Dalam atau O’Hongana Manyawa yang tinggal di hutan Halmahera.
“Ada program tuna budaya oleh Kemensos tahun 2011 untuk Tobelo. Kami dianggap tak berbudaya oleh program pemerintah,” kata Faris dengan nada tinggi.
Belum lagi, Faris geram dengan media massa yang turut ‘membunuh’ citra orang Tobelo. Tanpa riset mendalam dan verifikasi langsung, dengan mudahnya media membingkai komunitas adat Tobelo Dalam sebagai suku yang tertinggal dan dicap sebagai pembunuh.
Hal ini berkaitan dengan kasus yang menuding Bokum dan Nuhu, anggota Tobelo Dalam, sebagai dalang pembunuhan di perbatasan hutan Desa Doten dan Waci pada 2014. Bokum bebas dari penjara pada 2022, sementara Nuhu, meninggal di tahanan 2019 lalu.
“Wilayah kami diambil oleh industri ekstraktif dan dibunuh pula oleh media,” tegas Faris.
Kini, masyarakat adat Tobelo Dalam kian terancam karena modernisasi pemerintah dan hadirnya korporasi tambang nikel di tempat mereka tinggal. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut Tobelo Dalam sebagai salah satu masyarakat adat yang terancam punah.
Masyarakat adat di Indonesia terus terancam dan dalam titik kritis karena kekosongan payung hukum yang seharusnya menjamin hak-hak hidup mereka. Sayangnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang sudah langganan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI, justru belum juga menemui titik terang.
RUU Masyarakat Adat Tersendat
RUU Masyarakat Adat sudah diupayakan AMAN dan masyarakat sipil lain untuk masuk dalam pembahasan di DPR RI sejak 2009. Pada 2012, RUU Masyarakat Adat sempat berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Namun, hingga 2014 atau akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, RUU ini gagal disahkan menjadi Undang-Undang.
Di periode pertama Presiden Jokowi, ada secercah harapan RUU Masyarakat Adat akan dibahas secara serius dan digolkan. Pasalnya, AMAN membuat kontrak sosial dengan Jokowi untuk mendorong UU Masyarakat Adat dan masuk dalam program Nawacita. Sempat dibahas di DPR dan ada konsultasi publik, tetapi hingga 2019 lagi-lagi tidak ada kejelasan nasib RUU Masyarakat Adat ini.
RUU Masyarakat Adat disebut menjadi inisiasi DPR dan masuk Prolegnas prioritas dalam periode kedua pemerintahan Jokowi. Tahun lalu, RUU Masyarakat Adat kembali dibahas di Baleg karena masuk Prolegnas 2023. Namun hingga kini, belum ada pembahasan lebih lanjut terkait RUU Masyarakat Adat.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, menyatakan mustahil pimpinan DPR tidak mengetahui nasib dan urgensi RUU Masyarakat Adat saat ini. Sayangnya, tidak terlihat kemauan politik dari DPR dan pemerintah sehingga RUU Masyarakat Adat menjadi macet.
Menurut catatan AMAN, periode 10 tahun ke belakang, terjadi perampasan wilayah adat sebesar 8,5 juta hektare dengan 678 orang masyarakat adat mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Padahal, konstitusi mengamanatkan negara untuk melindungi dan mengakui eksistensi masyarakat adat dan hak-hak mereka. Seperti pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat (2), UU Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 67, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2021.
“Fakta tersebut tidak dipandang serius oleh negara, malah diperumit dengan persyaratan yang pada faktanya berimbas minimnya perlindungan dan pengakuan terhadap kami,” kata Rukka ditemui Tirto di Rumah AMAN, Jakarta Selatan, Jumat (15/3/2024).
Akibat sikap DPR dan pemerintah yang ogah-ogahan membahas RUU Masyarakat Adat, akhirnya AMAN bersama 8 perwakilan masyarakat adat, melayangkan gugatan melawan hukum kepada keduanya lewat PTUN Jakarta pada Oktober 2023. Sebelumnya, AMAN sudah mengirimkan surat kepada DPR dan Presiden agar RUU Masyarakat Adat segera dirampungkan, namun tidak digubris.
Hal ini bertujuan agar DPR dan Presiden melaksanakan kewajibannya memberikan pengakuan dan perlindungan nyata terhadap masyarakat adat. Gugatan yang terdaftar dengan Nomor Perkara 542/G/TF/2023/PTUN.JKT tersebut sudah sampai pada agenda mendengar keterangan saksi dan atau keterangan ahli dari pihak para Penggugat serta penambahan bukti surat dari para pihak pada 14 Maret 2024 lalu.
“Jadi mestinya Presiden kan masih punya waktu nih sampai bulan Oktober kan. DPR juga mestinya ini menjadi menjadi apa, menjadi genderang bagi gendang telinga mereka, ini harusnya udah berdenyut-denyut [di telinga mereka],” tegas Rukka.
Saat ini, pengakuan atas masyarakat adat bersifat parsial dan tercecer di peraturan sektoral. Misalnya, Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan masyarakat Hukum Adat. Aturan ini dapat mendorong pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah (Perda) adat.
“Maka itu butuhnya yang langsung payung besar. Yang memang perintah Undang-Undang Dasar,” tegas Rukka.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat, sampai Januari 2024, peta wilayah adat teregistrasi BRWA ada 1.333 wilayah dengan luas 26,9 juta hektare dan tersebar di 32 provinsi serta 155 kabupaten/kota. Kendati demikian, status pengakuan wilayah adat baru mencapai 14 persen dari total luasan yang ada. Ada seluas 23,1 juta hektare belum diakui negara yang menunjukkan buruknya keberpihakan kepada masyarakat adat.
Dihubungi terpisah, Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya, memandang absennya regulasi yang memayungi dan melindungi masyarakat adat membuat kehidupan mereka semakin terancam akibat investasi dan pembangunan. Salah satunya, proses pembangunan IKN Nusantara yang menyasar wilayah masyarakat adat di Kalimantan Timur.
“Hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah dan DPR tidak mempunyai kemauan politik dalam mendorong dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Padahal kita tahu, telah berkali-kali RUU MA masuk Prolegnas,” ujar Benny kepada reporter Tirto, Jumat (15/3/2024).
Catatan KPA sepanjang tahun 2023, konflik agraria akibat penggusuran dan perampasan tanah terluas kedua justru terjadi di wilayah masyarakat adat. Di mana total luas konflik mencapai 638.188 hektare atau setara 42 persen terjadi di wilayah masyarakat adat
Respons DPR dan Pemerintah
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi, menyatakan bahwa tugas Baleg dalam membahas RUU Masyarakat Adat sebagai inisiasi DPR sudah rampung. Dia tidak mau Baleg disalahkan atas macetnya nasib RUU Masyarakat Adat yang buram rimbanya.
“Namun secara kelembagaan belum menjadi inisiatif DPR itu bukan salah kami [Baleg] ya, tentu ada proses politik yang diikuti. Fraksi-fraksi sudah menyampaikan persetujuannya di rapat Baleg waktu itu. Kami [Baleg] juga nggak tahu di mana [sudah sampai mana] RUU masyarakat adat itu hari ini,” jelas Awiek, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Jumat (15/3/2024).
Senada, Anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus, mengaku sudah lama tidak ada pembahasan soal RUU Masyarakat Adat. Dia sendiri belum tahu sudah sampai mana nasib RUU Masyarakat Adat di Senayan. Namun, Guspardi mengklaim akan mendorong agar RUU ini kembali dibahas.
“Tentu tidak hanya pihak DPR saja karena harus ada kesepakatan dengan pemerintah dan DPR jadi tidak bisa sebelah tangan. Jadi harus ada komitmen dua pihak,” ujar Guspardi kepada reporter Tirto, Jumat (15/3/2024).
Di sisi lain, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, Usep Setiawan mengklaim tidak ada kendala yang sifatnya substansi dari pembahasan RUU ini dari sisi pemerintah.
Terakhir, kata dia, Baleg DPR sudah menyetujui untuk membawa RUU ini ke dalam sidang paripurna agar bisa ditetapkan sebagai RUU yang akan dibahas bersama pemerintah.
Kantor Staf Presiden menghargai upaya AMAN dan organisasi masyarakat sipil dalam mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Secara pribadi, kata Usep, dia berharap RUU ini bisa disahkan sebelum masa pemerintahan ini berakhir pada Oktober 2024.
“Saya pribadi berharap agar DPR dan Pemerintah bisa bersinergi untuk melakukan percepatan pembahasan RUU Masyarakat Adat yang diperlukan untuk memperkuat eksistensi dan hak-hak masyarakat adat di Nusantara,” kata Usep kepada reporter Tirto, Jumat (15/3/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri