Menuju konten utama

Apa Itu RUU Masyarakat Adat dan Kenapa Belum Disahkan?

RUU Masyarakat Hukum Adat telah melewati dua periode pemerintahan era SBY dan Jokowi. Hingga kini belum disahkan. Mengapa bisa begitu?

Apa Itu RUU Masyarakat Adat dan Kenapa Belum Disahkan?
Calon wakil presiden Muhaimin Iskandar saat Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). Youtube/KPU RI

tirto.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat disinggung Muhaimin Iskandar atau Cak Imin selaku calon wakil presiden (cawapres) nomor urut satu dalam Debat Cawapres Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 di JCC, Senayan, Jakarta, Minggu (21/1/2024) malam.

Hal itu disampaikan oleh Cak Imin saat menyampaikan pernyataan penutup pada segmen keenam atau segmen terakhir pada Debat Cawapres 2024 kedua tersebut.

Cak Imin berujar bahwa dia dan pasangannya, Anies Baswedan, jika mendapatkan mandat akan mewujudkan sejumlah hal yang sudah mereka janjikan, salah satunya mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat.

“Kita sahkan RUU Masyarakat Adat secepat-cepatnya. Dana untuk masyarakat desa kita tingkatkan 5 miliar per tahun. Kita juga akan teruskan subsidi BBM untuk masyarakat miskin,” ujar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia era Kabinet SBY itu.

Lantas, apa itu RUU Masyarakat Adat dan kenapa belum disahkan? Berikut ini penjelasannya.

Apa itu RUU Masyarakat Adat?

RUU Masyarakat Hukum Adat--kerap disebut RUU Masyarakat Adat--merupakan rancangan undang-undang yang telah dibahas sejak jaman SBY. Dikutip dari laman Komnas HAM, keberadaan RUU ini penting untuk perlindungan, pemenuhan dan penghormatan masyarakat adat di Indonesia.

Berdasarkan pernyataan salah satu Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, tujuan dari RUU Masyarakat Adat untuk menjembatani masyarakat adat dengan negara.

Menurutnya, segala pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan kepada masyarakat adat harus dijalankan oleh negara dengan peraturan yang jelas, lengkap, dan relevan.

“Ada banyak kebijakan yang mengatur tentang masyarakat adat, tetapi tidak jelas, tidak lengkap dan tidak relevan. Maka perlu adanya harmonisasi kebijakan-kebijakan tersebut agar tidak menjadi penghambat dalam merealisasikan HAM,” kata Sandrayati.

Menurut definisinya, sebagaimana dijelaskan dalam RUU tersebut, Masyarakat Hukum Adat (Masyarakat Adat) adalah sekelompok orang yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu.

“[Masyarakat Adat] memiliki asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum,” bunyi Pasal 1 Ayat 1 dalam RUU tersebut.

Kenapa RUU Masyarakat Adat Belum Disahkan?

Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat telah melewati dua periode pemerintahan, yakni era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Namun, hingga kini RUU tersebut belum disahkan.

Dikutip dari laman Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), RUU Masyarakat Hukum Adat sudah tiga kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI sejak 2024. Tahun 2023 kembali masuk registrasi No urut 22.

Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya, RUU Masyarakat Adat telah selesai dibahas Baleg DPR pada 4 September 2020 lalu. Namun, RUU tersebut tidak pernah masuk dalam pembahasan tingkat II atau paripurna untuk pengesahannya.

Seperti disampaikan Willy Aditya kepada laman Hukum Online pada Agustus 2021, narasi yang muncul dalam pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat di DPR RI bukan soal politik identitas, tetapi lebih pada pembangunan.

Terdapat kekhawatiran bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat dapat menjadi penghambat bagi pembangunan serta aktivitas bisnis perusahaan besar, seperti di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan sektor lainnya.

“Narasinya itu, MHA [Masyarakat Hukum Adat] versus pembangunan atau korporasi besar,” kata Politisi Partai Nasdem tersebut saat itu.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2024 atau tulisan lainnya dari Ibnu Azis

tirto.id - Politik
Penulis: Ibnu Azis
Editor: Yantina Debora