tirto.id - Nasib Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat terkatung-katung. Aturan itu tak juga naik jadi UU meski telah digodok selama dua periode pemerintahan, era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono hingga Joko Widodo-Jusuf Kalla.
RUU Masyarakat Hukum Adat pertama kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) DPR RI pada 2013. Saat itu DPR membentuk Pansus RUU Masyarakat Hukum Adat dengan ketua pansus Himmatul Aliyah.
Kemudian RUU Masyarakat Hukum Adat kembali masuk prolegnas pada 2014 dengan status luncuran. Tahun ini RUU tersebut kembali masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019.
Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Subagyo, draf RUU Masyarakat Hukum Adat sebetulnya telah selesai disusun DPR tahun lalu. Draf RUU tersebut telah disampaikan melalui surat Nomor LG/03105/DRPRI/2018 kepada Presiden RI.
“Di Baleg sudah selesai administrasinya, tapi di pemerintahan belum,” kata Firman kepada reporter Tirto, Kamis (24/1/2019).
Surat DPR kemudian direspons Presiden Joko Widodo pada 9 Maret 2018 dengan mengeluarkan Surat Perintah Presiden (Supres) melalui Kementerian Sekretariat Negara No.B-186/M.Sesneg/D-1/HK.00.03/03/2018. Supres itu mengatur tentang pembentukan tim pemerintah yang akan membahas RUU bersama DPR RI.
Tim terdiri dari enam kementerian: Kementerian Dalam negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa/Pembangunan Daerah Tertinggal, serta Kementerian Hukum dan HAM. Tim pemerintah ini dikoordinir oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo.
Sekretaris Jenderal Kemendagri, Hadi Prabowo, mengklaim tim pemerintah sudah menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan menyerahkannya kepada Sekretariat Negara.
“Hari ini kami sampaikan lagi [usulan DIM ke Mensesneg], ada pasal yang disesuaikan, ada pasal yang dihapus, dan lainnya. Namanya juga DIM tentu ada hal-hal yang perlu disempurnakan,” kata Hadi seperti dikutip dari laman resmi Kemendagri.
Hadi mengatakan RUU Masyarakat Hukum Adat dalam pembahasan di tingkat pemerintah. Pembahasan RUU dilakukan bersama lima kementerian lainnya.
“Nanti kalau tahap pertama, tahap kedua sudah selesai, nanti akan kami sampaikan,” kata ujarnya.
Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat yang berlarut-larut dikritik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menyayangkan pembahasan RUU tersebut belum ada kemajuan. Selain itu, DIM yang kerap kali disinggung pemerintah pun tidak pernah diumumkan ke publik, atau tiada transparansi.
“Secara resmi Mendagri bilang demikian. Intinya tidak ada yang pernah bisa secara jelas menunjukkan DIM ada atau tidak,” kata Rukka kepada reporter Tirto.
Rukka mengkritik sikap pemerintah yang tidak melibatkan masyarakat adat dalam pembahasan RUU tersebut. Ia juga mengkritik sikap kementerian-kementerian dalam tim pemerintah yang saling melempar pembahasan ini.
“KLHK bilang Oktober [2018] sudah selesai, yang lain bilang apa, beda-beda, dan enggak selesai sampai sekarang.”
Hak Atas Lahan dan Stateless
Penyelesaian RUU tentang Masyarakat Hukum Adat penting untuk memberikan kejelasan hak masyarakat adat sebagai warga negara yang patut dilindungi. Selama ini mereka kerap ada di pusaran konflik. Berdasarkan data Vote for Forest, pada 2018 terjadi 326 konflik sumber daya alam yang melibatkan sekitar 176 ribu jiwa masyarakat adat.
“Yang paling besar itu kan sebenarnya pengakuan terhadap tanah. Itu yang belum ada karena banyak sekali peraturan perundang-undangan dalam sektor alam yang absen dan ada kecenderungan untuk ignoring masyarakat adat,” kata Deputi II Sekjen AMAN, Erasmus Cahyadi, di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2019).
Selain persoalan hak atas lahan, banyak masyarakat adat yang belum tercatat kewarganegaraannya atau stateless. Hal itu mengakibatkan mereka tidak bisa mengikuti Pemilu 2019.
“Kami mencatat ada satu juta masyarakat adat itu yang punya hak untuk memilih tapi terkendala dalam kepemilikan KTP dan sebagainya,” ujar Erasmus.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh, tidak menyangkal banyak masyarakat adat yang belum tercatat kewarganegaraannya. Namun Zudan justru menyalahkan mereka sendiri yang tidak aktif merekam data untuk KTP elektronik.
“Masyarakat [adat] kurang proaktif mendatangi kecamatan dan dinas dukcapil,” kata Zudan kepada reporter Tirto.
Meski demikian, Erasmus tetap mendesak agar pemerintah segera mengesahkan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat. Undang-undang tersebut diharapkan bisa mempercepat proses administrasi kependudukan masyarakat adat dan memberi jaminan atas hak-hak mereka.
“Penetapan Undang-undang ini sebenarnya tidak hanya berguna bagi masyarakat, tapi juga berguna bagi pemerintah, dan berguna bagi investor. Terutama tiga pihak itu,” jelas Erasmus.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Gilang Ramadhan