tirto.id - Pemerintah belakangan getol menggoda para investor dengan obral sejumlah insentif yang tertuang dalam berbagai kebijakan. Kemudahan-kemudahan ini tentu diniatkan agar para pemodal berminat berinvestasi ke Indonesia ketimbang negara-negara lain.
Tentu tak jadi soal mencari investor untuk menyuntikan dana dari kantong mereka, selama membantu roda perekonomian dalam negeri dan berdampak langsung terhadap rakyat.
Masalahnya, beberapa kebijakan “gula-gula” buat memikat investor justru dinilai masih abai, bahkan cenderung menepikan nasib rakyat kecil atau masyarakat adat.
Pemerintah dinilai lebih mementingkan bagaimana cara membujuk para pemodal berinvestasi, alih-alih membenahi hak-hak masyarakat yang masih bermasalah.
Teranyar, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyatakan para pemegang golden visa dimungkinkan mendapat hak atas tanah di Indonesia. Kebijakan ini berpotensi menimbulkan kesenjangan dan konflik agraria terhadap masyarakat lokal jika dijalankan serampangan.
Menteri AHY menyatakan, hak yang berpotensi dipunyai warga negara asing tersebut antara lain Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, HGU, dan hak atas tanah lainnya seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Tentu, alasannya untuk menarik para konglomerat asing mendirikan perusahaan atau berinvestasi di dalam negeri.
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Putu Rusta Adijaya, menyatakan meskipun aturan administrasi untuk para investor pemilik golden visa terbilang rampung, pemerintah tidak boleh lupa jika ada rencana mendirikan perusahaan maka otomatis memerlukan lahan. Sementara, lahan yang tersedia saat ini banyak ditempati masyarakat adat dan masyarakat lokal yang turun temurun menempati tempat tersebut dan punya hak kepemilikan.
“Kalau masyarakat tak setuju dibangunnya perusahaan, misalnya karena perusahaan yang akan dibangun bergerak di sektor ekstraktif yang menimbulkan banyak eksternalitas negatif, serta tidak adanya pelibatan masyarakat dalam proses investasi dan pembangunan itu, nanti menimbulkan konflik sosial,” kata Rusta kepada Tirto, Selasa (30/7/2024).
Rusta menilai, dari perspektif kebebasan ekonomi, kebijakan golden visa memiliki potensi mengurangi hak kepemilikan (property rights) rakyat kecil dan masyarakat adat. Padahal, dalam perspektif kebebasan ekonomi sudah dinyatakan bahwa melindungi masyarakat dan harta benda yang diperoleh secara sah adalah elemen kebebasan ekonomi dan masyarakat sipil.
Masalah konflik sosial akan timbul kalau keamanan hak milik dan penegakan hukum yang efektif tidak disediakan dan dijamin oleh pemerintah. Konflik sosial yang dikhawatirkan, kata Rusta, adanya ketimpangan karena orang kaya saja yang diberikan fasilitas dan produktif namun tidak memberikan apa-apa ke masyarakat kecil.
“Selain itu, potensi pencucian uang (money laundering) juga akan muncul kalau pemerintah tidak punya framework kebijakan untuk due diligence melihat latar belakang investor asing dan asal mengiyakan saja karena uangnya cukup,” ujar Rusta.
Kebijakan golden visa dan syaratnya bagi investor diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2023. Dilengkapi dua regulasi turunan yang diteken pada 30 Agustus 2023 lalu, yakni Peraturan Menteri Hukum dan HAM 22/2023 tentang Visa dan Izin Tinggal dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/2023.
Sesuai aturan golden visa perseorangan, investor asing bisa tinggal selama 5 tahun dengan syarat mendirikan perusahaan dengan berinvestasi 2,5 juta dolar AS (sekitar Rp38 miliar). Sementara untuk tinggal 10 tahun, nilai investasi yang diperlukan mencapai 5 juta dolar AS (sekitar Rp76 miliar).
Sementara investor korporasi yang membentuk perusahaan di Indonesia disyaratkan minimal menanam investasi 25 juta dolar AS untuk golden visa 5 tahun. Untuk izin tinggal 10 tahun, investasi harus menyentuh angka 50 juta dolar AS.
Sebelumnya, Menteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengklaim semua lahan yang dibutuhkan investor pemegang golden visa untuk usaha clean and clear. Meski begitu, ATR/BPN tetap akan mengawasi penggunaan lahan-lahan tersebut agar digunakan sesuai dengan kebutuhan.
"Dengan aturan tersebut, diharapkan dapat menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia," kata AHY dalam keterangan resmi, Senin (29/7/2024).
Menurut Rusta, investor memang menanti bingkai kebijakan yang adil, transparan, dan jelas. Pemerintah harus mampu menjamin supremasi hukum di mana kebijakan mengakomodasi keamanan hak milik masyarakat lokal dan masyarakat adat serta peradilan tidak memihak satu kelompok saja.
Masalahnya, meski sudah memanjakan para investor dengan sederet insentif, pemerintah masih menangani konflik agraria dan pertanahan dengan cara-cara yang represif terhadap rakyat. Rusta memandang hal ini sebagai kegagalan pemerintah menjamin keamanan hak milik rakyat.
“Penegakan hukum masih memihak kelompok kepentingan yang kuat atau powerful interest groups. Hal-hal ini kan tidak memberikan dampak positif apa-apa, dan yang ada adalah rasa dicurangi masyarakat oleh pemerintah,” ucap Rusta.
Contoh kasus seperti penjelasan Rusta di atas tampak jelas dalam proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Kebijakan hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) serta hak pakai di IKN berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat adat dan rakyat kecil di kawasan ibu kota baru itu.
Pasalnya, pemerintah memberikan HGU dan HGB bagi para investor di IKN hingga ratusan tahun. Sementara masyarakat adat dan warga lokal di sekitar IKN masih bertungkus lumus memperjuangkan ruang hidupnya yang terdampak pembangunan proyek strategis nasional (PSN) itu.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur (Kaltim), Fatur Roziqin Fen, menceritakan salah satu bentuk contoh kasusnya. Fatur menuturkan, awal Juli 2024, pihaknya menerima informasi yang menyakitkan hati bahwa Polda Kaltim meningkatkan status laporan terhadap warga yang berkonflik dengan perusahaan kayu di kawasan IKN.
Perusahaan ini, kata dia, terafiliasi dengan salah satu kerabat pejabat negara. Perusahaan tersebut melaporkan belasan warga Desa Telemow, Sepaku, dengan tudingan menyerobot lahan HGB milik korporasi kayu yang sebetulnya berada di kawasan warga.
“Polda Kaltim telah meningkatkan status laporan tersebut menjadi penyidikan. Artinya telah ditetapkan tersangka, setidaknya ada dua warga Telemow yang menerima surat tembusan yang ditujukan ke Kejaksaan,” ujar Fatur kepada Tirto, Selasa.
Insentif bagi para investor di kawasan IKN memang terbilang fantastis. Perpres Nomor 75/2024 menegaskan, investor bisa menikmati satu siklus pertama HGU selama 95 tahun. Setelah lima tahun siklus pertama, pelaku usaha bisa mendapatkan siklus kedua, 95 tahun berikutnya. Dengan demikian, pelaku usaha atau investor memperoleh HGU paling lama 190 tahun.
Untuk HGB dan hak pakai, durasi siklus pertama 80 tahun dan siklus kedua juga 80 tahun. Keduanya jika ditotal mencapai paling lama 160 tahun. Tak hanya itu, pemerintah menambah insentif para pelaku usaha pelopor di IKN dengan tarif pemanfaatan lahan yang dimulai dari Rp0 alias gratis.
Pelaku usaha pelopor dimaksud adalah investor yang membangun dalam jangka waktu lima tahun sejak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU No 3/2022 tentang IKN diberlakukan.
Menteri AHY menyatakan berbagai insentif di IKN memang diniatkan untuk menarik investor. Selain itu, HGU dan HGB serta hak pakai yang panjang akan menjamin kepastian hukum bagi para pelaku usaha.
Fatur menilai dalam implementasinya ketentuan di atas akan menjadi hambatan bagi pemerintahan selanjutnya mengambil atau melakukan tindakan korektif terhadap HGU yang diberikan di IKN. Selain itu, jangka waktu panjang terhadap hak atas tanah yang lain tidak sesuai dengan ketentuan UU Pokok Agraria.
“Istilah siklus dalam pemberian hak atas tanah sebagaimana disebut sebagai siklus pertama kemudian siklus kedua, tidak dikenal dalam UU Pokok Agraria,” ucap Fatur.
Tidak
Berpihak padaRakyat Kecil
Kepala Departemen Kampanye dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya, memandang berbagai kebijakan pemerintah terhadap investor kerap menimbulkan persoalan bagi masyarakat kecil dan masyarakat adat.
Misalnya soal golden visa, jelas dia, mengacu UU Pokok Agraria 1960, hanya warga negara Indonesia yang punya hak milik atas tanah, sementara warga negara asing (WNA) hanya diberikan hak pakai dan hak sewa.
Sementara dalam UU Rumah Susun, WNA diberikan hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS). Namun UU Rusun menyatakan bahwa kepemilikan WNA atas satuan rusun tetap merujuk kepada pada ketentuan hak-hak atas tanah dalam UU PA 1960.
“Secara hukum, kebijakan ini sangat bermasalah. Sebab PP Nomor 18/2021 yang dijadikan acuan kebijakan merupakan produk turunan UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat,” kata Benny kepada Tirto, Selasa.
Benny menilai kebijakan semacam ini bakal meningkatkan ketimpangan penguasaan tanah sekaligus menggerus rasa keadilan di tengah masyarakat.
Catatan Akhir Tahun KPA 2023 menyebutkan, selama kurang lebih sembilan tahun terakhir (2015-2023) sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria di berbagai wilayah akibat penggusuran dan perampasan tanah untuk kepentingan pembangunan dan investasi.
“Di tengah banyak petani, masyarakat adat, nelayan, dan masyarakat miskin lainnya yang masih bersusah payah mendapatkan hak atas tanah mereka, pemerintah justru memberikan privilese bagi warga asing dengan dalih berkontribusi terhadap bangsa ini,” ujar Benny.
Sementara itu, Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai pemberian kebijakan insentif untuk investasi secara berlebihan dan tidak wajar akan menguntungkan pihak lain serta merugikan keuangan negara. Ramainya kebijakan obral insentif untuk para investor dinilai akibat pemerintah panik tidak bisa mendapatkan investasi seperti target yang diharapkan.
“Oleh karena itu, mereka berupaya menarik investasi dengan memberikan insentif tidak masuk akal. Sekali lagi, insentif tidak masuk akal bisa menjadi kerugian keuangan negara,” ujar Anthony kepada Tirto.
Dihubungi reporter Tirto, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, menjamin pihaknya akan terus memberikan rasa keadilan untuk masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam setiap kebijakan pemerintah. Harison menyatakan hal ini seperti tertuang dalam keterangan Menteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono beberapa waktu lalu.
Menurutnya, Kementerian ATR/BPN berkomitmen mengakselerasi pendaftaran 3,2 juta hektare bidang tanah ulayat bagi sekitar 3.000 masyarakat adat yang tersebar di 16 provinsi di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Menurut Menteri AHY, eksistensi masyarakat adat merupakan isu yang penting karena bukan hanya berbicara isu keadilan dan kesejahteraan, namun berkaitan erat dengan politik, hukum, dan sosial.
“Pemerintah selalu hadir untuk menjamin agar Masyarakat Hukum Adat juga dilindungi, dijamin hak-haknya," katanya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi