Menuju konten utama

Golden Visa Diperlukan, tapi Waspadai Potensi Dampak Negatifnya

Jika tak dijalankan dengan ketat, pemberian golden visa justru bakal memunculkan beberapa efek negatif.

Golden Visa Diperlukan, tapi Waspadai Potensi Dampak Negatifnya
Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan Golden Visa kepada Pelatih Sepak Bola Tim Nasional Indonesia Shin Tae-yong (keempat kiri) disaksikan oleh Menkum HAM Yasonna Laoly (kedua kiri), Dirjen Imigrasi Kemenkumham Silmy Karim (ketiga kiri), Sekretaris Kabinet Pramono Anung (kelima kiri) dalam acara peluncuran Golden Visa di Jakarta, Kamis (25/7/2024). Presiden mengatakan layanan Golden Visa diharapkan dapat memberi kemudahan bagi warga negara asing (WNA) dalam berinvestasi dan berkarya di Indonesia yang menargetkan investor dan pebisnis internasional, talenta global, dan wisatawan mancanegara yang memenuhi kriteria. ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/rwa.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi meluncurkan fasilitas golden visa Indonesia. Golden Visa merupakan bentuk baru dari visa rumah kedua (second home visa) yang ditargetkan untuk investor dan pebisnis internasional, talenta global, dan wisatawan mancanegara yang memenuhi kriteria.

“Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, golden visa Indonesia hari ini saya luncurkan dan saya mengundang warga dunia untuk datang berinvestasi dan berkarya di negara kita Indonesia,” ujar Jokowi dalam sambutannya di Hotel Raffles, Jakarta, Kamis, (25/7/2024).

Dengan persyaratan jumlah investasi tertentu, pemegang golden visa nantinya dapat memiliki izin tinggal di Indonesia selama lima hingga 10 tahun. Klasifikasi visa ini diperuntukkan bagi orang asing berkualitas yang akan bermanfaat pada perkembangan ekonomi negara, salah satunya adalah investor, baik korporasi maupun perorangan.

Dasar hukum aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82 Tahun 2023 yang diundangkan pada 30 Agustus 2023.

Untuk dapat tinggal di Indonesia selama lima tahun, investor asing perorangan yang akan mendirikan perusahaan di Indonesia diharuskan berinvestasi sebesar US$2,5 juta (sekitar Rp38 miliar). Sedangkan untuk masa tinggal 10 tahun, nilai investasi yang disyaratkan adalah sebesar US$5 juta (sekitar Rp76 miliar).

Sementara itu, investor korporasi yang membentuk perusahaan di Indonesia dan menanamkan investasi sebesar US$25 juta atau sekitar Rp380 miliar akan memperoleh golden visa dengan masa tinggal lima tahun bagi direksi dan komisarisnya. Lalu, untuk nilai investasi sebesar US$50 juta akan diizinkan tinggal selama sepuluh tahun.

Ketentuan berbeda diberlakukan untuk investor asing perorangan yang tidak bermaksud mendirikan perusahaan di Indonesia. Untuk golden visa lima tahun, pemohon diwajibkan menempatkan dana senilai US$350 ribu (sekitar Rp5,3 miliar) yang dapat digunakan untuk membeli obligasi pemerintah RI, saham perusahaan publik, atau penempatan tabungan/deposito. Sedangkan untuk golden visa 10 tahun, dana yang harus ditempatkan sebesar US$700 ribu (sekitar Rp10,6 miliar).

Jokowi menyebut bahwa peluncuran golden visa Indonesia bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi warga negara asing dalam berinvestasi dan berkarya di Indonesia. Dia pun berharap fasilitas tersebut dapat menarik lebih banyak investor dan talenta global yang berkualitas ke Indonesia.

“Semua itu akan memberi multiplier effect besar buat negara, mulai dari capital gain, kesempatan kerja, transfer teknologi, peningkatan kualitas SDM, dan lain-lain,” ungkap Jokowi.

Untuk saat ini, dikabarkan sudah ada sekitar 300 orang yang mendaftar golden visa tersebut. Para pemohon golden visa tersebut diperkirakan bakal memberikan kontribusi terhadap investasi Indonesia hingga Rp2 triliun. Oleh karena itu, golden visa diharapkan bakal memberikan keuntungan ekonomi dan pendapatan negara.

Pakar Strategy Pariwisata Nasional, Taufan Rahmadi, mengamini bahwa golden visa akan meningkatkan daya tarik Indonesia di mata investor asing. Dengan memberikan izin tinggal jangka panjang bagi investor yang menanamkan modal di Indonesia, negara ini dapat menarik lebih banyak investasi asing yang nantinya akan memperkuat ekonomi di destinasi.

“Selain itu, investor yang mendapatkan Golden Visa cenderung akan menghabiskan lebih banyak waktu di Indonesia sehingga meningkatkan pengeluaran mereka di sektor pariwisata dan hospitality,” ujar Taufan dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Jumat (26/7/2024).

Kebijakan tersebut juga berpotensi meningkatkan kualitas infrastruktur dan fasilitas pariwisata. Dengan adanya investasi yang lebih besar, pemerintah dapat mengharapkan peningkatan dalam kualitas pelayanan dan fasilitas yang ditawarkan kepada wisatawan.

“Ini termasuk pembangunan hotel, restoran, tempat wisata, dan infrastruktur pendukung lainnya yang lebih modern dan ramah wisatawan,” ujar Taufan.

Di samping itu, golden visa bisa menjadi salah satu solusi untuk memperkuat sektor pariwisata pascapandemi. Sebab, dalam beberapa tahun terakhir, sektor pariwisata Indonesia mengalami tantangan besar akibat Pandemi COVID-19.

Dengan adanya golden visa, pemulihan ekonomi diharapkan bisa lebih cepat dan berkelanjutan. Pasalnya, investor asing yang mendapatkan golden visa akan berkontribusi pada pemulihan ekonomi di berbagai sektor, termasuk pariwisata.

“Namun, penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini diimplementasikan dengan transparan dan berkeadilan,” jelas Taufan.

Dampak Negatif yang Mengintip

Di samping sederet harapan dan dampak positif di atas kertas tersebut, golden visa rupanya juga tidak lepas dari beberapa implikasi negatif. Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menyebut bahwa kebijakan golden visa sebenarnya merupakan pisau bermata dua.

“Membuka pintu lebar-lebar bagi orang asing, ada risiko keamanan dan kedaulatan yang perlu diwaspadai nih oleh pemerintah,” ujarnya, Jumat (26/7/2024).

Menurut Eliza, hal negatif bisa muncul jika golden visa diberikan tanpa pengawasan yang ketat. Ia bisa menjadi jalur mudah bagi dana-dana gelap untuk masuk dan dicuci di dalam negeri. Lebih jauh lagi, bahkan ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa menciptakan negara dalam negara, yakni saat komunitas warga asing hidup dalam gelembung kemewahan mereka sendiri yang terpisah dari realitas masyarakat lokal.

Ini bisa memicu konflik sosial di masyarakat,” imbuhnya.

Kebijakan golden visa, lanjut Eliza, juga berpotensi menciptakan dilema etis. Itu timbul dari pertanyaan haruskah negara memberikan kemudahan untuk masuk ke wilayahnya demi keuntungan ekonomi. Lantas, bagaimana dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, ketika orang-orang kaya bisa dengan mudah mendapatkan hak istimewa. Padahal, warga lokal harus melalui proses birokrasi yang panjang dan rumit.

Kebijakan golden visa menuntut kita untuk berpikir jauh ke depan dan hati-hati,” ujar Eliza.

Menurutnya, golden visa bukan cuma sekadar soal angka-angka di neraca perdagangan atau grafik pertumbuhan ekonomi. Ia juga berkaitan dengan pilihan tentang masa depan seperti apa yang kita inginkan untuk generasi mendatang. Sebab, kemudahan yang dinikmati oleh pemegang golden visa ini juga bisa memunculkan persaingan tenaga kerja di dalam negeri.

Di mana kondisi di dalam negeri pun penyerapan lapangan kerjanya kurang optimal,” pungkas dia.

Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengatakan bahwa salah satu dampak golden visa yang dikhawatirkan adalah potensi meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi. Pasalnya, kebijakan ini memberi keuntungan khusus kepada investor asing dan orang kaya dan hal itu dapat memperburuk ketimpangan.

Kebijakan ini juga bisa menimbulkan risiko terkait keamanan dan sosial jika tidak diatur dengan ketat, seperti potensi penggunaan visa untuk kegiatan ilegal atau penghindaran pajak. Potensi penyalahgunaan dan korupsi juga perlu diwaspadai, terutama jika proses pengajuan visa tidak diawasi dengan ketat,” jelas Media, Jumat (26/7/2024).

Menurut Media, beberapa negara Eropa yang punya kebijakan golden visa kini mulai menutup kebijikan tersebut. Penutupan perlahan itu disebabkan oleh banyaknya aplikasi dan kekhawatiran tentang kenaikan harga properti karena investor asing.

Negara-negara Eropa, seperti Irlandia, Portugal, dan Inggris, telah menghentikan program visa emasnya. Sementara itu, ada pula negara seperti Yunani yang meningkatkan persyaratan keuangan secara signifikan bagi pemohon golden visa.

[Tentu] adanya investor asing yang membeli properti bisa menyebabkan lonjakan harga. Ini membuat hunian menjadi kurang terjangkau bagi penduduk lokal dan berpotensi menciptakan krisis perumahan,” ujar Media.

Sadar akan beberapa efek negatif yang berpotensi timbul, Jokowi dalam peluncuran golden visa Indonesia sempat meminta agar implementasi di lapangan harus benar-benar selektif. Jangan sampai justru meloloskan orang-orang yang membahayakan keamanan negara dan meloloskan orang-orang yang tidak memberi manfaat secara nasional.

“Tapi ingat, [golden visa] hanya untuk good quality travelerssehingga harus benar-benar selektif, benar-benar diseleksi, harus benar-benar dilihat kontribusinya,” tutur Jokowi.

Sejalan dengan itu, Taufan Rahmadi juga mendorong pemerintah memastikan bahwa proses pemberian golden visa dilakukan secara ketat dan selektif. Tentu tujuannya untuk memastikan bahwa hanya investor yang benar-benar berkualitas dan memiliki niat baik yang mendapatkan fasilitas ini.

“Selain itu, perlu adanya pengawasan yang ketat untuk mencegah potensi penyalahgunaan kebijakan ini,” kata dia.

Secara keseluruhan, menurut Taufan, golden visa adalah kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global, khususnya dalam hal menarik investor dan wisatawan asing. Dengan implementasi yang baik, kebijakan ini dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan pariwisata yang berkelanjutan di Indonesia.

Baca juga artikel terkait GOLDEN VISA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi