tirto.id - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY, mengungkapkan bahwa para pemegang golden visa dimungkinkan mendapat hak atas tanah di Indonesia.
Hak itu meliputi Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Hak Guna Usaha, dan hak lainnya seperti yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai bahwa fasilitas kepemilikan properti tersebut justru berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Sebab, pemberian fasilitas itu akan membuat hak masyarakat untuk mendapatkan properti semakin sempit.
“Dengan uang yang begitu besar, saya rasa tidak ada masalah dengan keuangan pemegang golden visa ini. Mereka akan semakin jumawa membeli properti di Tanah Air, terutama di Bali yang sudah lama jadi incaran WNA,” jelas Huda, Selasa (30/7/2024).
Para pemegang golden visa di Indonesia juga akan membuat ketimpangan kepemilikan aset atau properti di Tanah Air makin jomplang.
Golden visa juga bukan faktor pendorong masuknya investasi yang signifikan. Masih ada faktor-faktor lainnya yang lebih efektif untuk mendorong investasi, antara lain perbaikan infrastruktur, peningkatan kualitas SDM, hingga kesiapan teknologi.
“Investor tidak akan melihat keberadaan golden visa sebagai salah satu (alasan) kenapa mereka harus invest di Indonesia. Mungkin mereka yang sudah invest di Indonesia akan menggunakan golden visa. Namun, tidak demikian bagi mereka yang belum invest,” jelas Huda.
Pun demikian dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan kinerja industri pariwisata lewat golden visa. Bagi para pelancong asing yang hanya ingin berwisata di Indonesia, biasanya telah memiliki visa tersendiri.
Di sisi lain, golden visa tidak akan dilirik karena syaratnya lebih rumit dan ketat. Belum lagi, visa liburan biasa juga lebih murah dan mudah untuk diakses.
“Jadi, saya rasa tidak signifikan untuk pariwisata. Maka dari itu, penerapan golden visa harus memenuhi kaidah hak-hak yang bisa diberikan negara kepada pemegang golden visa,” tegas Huda.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai bahwa pemerintah semestinya sangat hati-hati dalam memberikan hak atas tanah kepada para pemegang golden visa. Pada saat yang sama, hak atas tanah juga seharusnya diberikan dengan periode waktu yang sangat terbatas.
“Bukan hanya syarat ketat dari investasi yang dibawa, tapi juga harus lihat dampak ke masyarakat sekitar. Dan harus betul-betul sifatnya temporer dan jangka pendek, ditambah lagi persyaratan diperketat. Karena di banyak negara, hak atas tanah itu sangat hati-hati dan tidak diberikan kepada orang asing,” tegasnya.
Faisal menyadari bahwa golden visa memang dimaksudkan untuk menjaring investasi asing agar lebih banyak datang ke Indonesia. Namun, dia juga mengingatkan bahwa pemerintah tidak boleh hanya melihat seberapa banyak pendanaan yang masuk pada tahap awal saja.
Lebih penting dari itu, pemerintah harus bisa memastikan modal yang dibawa oleh para pemegang visa emas harus ditanamkan pada sektor-sektor prioritas nasional. Ini penting untuk memastikan investasi yang masuk membawa efek berganda (multiplier effect) bagi perekonomian Indonesia.
“Jadi, tidak hanya bisa melihat berapa triliun uang yang masuk pada investasi tahap awal, tapi melihat juga dampaknya, baik dampak positif maupun negatif. Dan juga seberapa yang stay di tanah air dan seberapa yang kembali ke negara asal,” jelas Faisal.
Pada saat yang sama, pemerintah juga harus memastikan bahwa investasi yang masuk bukan berasal dari aktivitas ilegal seperti cuci uang (money laundering) maupun penghindaran pajak (tax avoidance). Hal ini patut diperhatikan karena Indonesia bukan termasuk negara tax heaven yang bisa menerima uang apa pun, termasuk dari aktivitas ilegal.
“Apalagi, di internasional kita punya kerja sama Automatic Exchange of Information (AEoI/ kerjasama internasional di bidang pertukaran Informasi) di mana kita bekerja sama untuk memberantas penghindaran pajak yang banyak dilakukan para pemilik modal besar untuk menghindari pajak di negara-negara mereka beroperasi atau mereka tinggal,” tutup Faisal.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi