tirto.id - Lembaga nirlaba pemantau tata kelola hutan dan lahan, Madani Berkelanjutan mengkritik minimnya perhatian dua pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019 terhadap masyarakat adat.
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Teguh Surya menilai visi misi pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak berbeda jauh, yakni sama-sama memberi perhatian minim terhadap masyarakat adat.
“Kalau dibedah, [visi misi] Prabowo-Sandiaga, memang tidak memberikan perhatian secara eksplisit [isu masayarakat adat]. Tetapi dia ada satu fokus tentang kearifan lokal, yang konteksnya enggak jelas,” kata Teguh di Jakarta Pusat pada Rabu (23/1/2019).
“Sementara [dalam visi misi] Jokowi ada [isu masyarakat adat], tapi satu persen. Jadi enggak berbeda jauh [dengan Prabowo],” Teguh menambahkan.
Analisis Madani berkelanjutan menyimpulkan dokumen visi misi Prabowo-Sandiaga sama sekali tidak memuat pembahasan tentang persoalan yang dihadapi masyarakat adat.
Sementara dalam berkas visi misi Jokowi-Ma'ruf yang dianalisis Madani Berkelanjutan memang ada setidaknya 2 poin terkait masyarakat adat. Poin pertama soal perlindungan hak masyarakat adat dari segi hukum, ekonomi hingga pemanfaatan sumber daya alam. Sedangkan yang kedua, meningkatkan pendidikan konservasi lingkungan yang melibatkan masyarakat adat.
Akan tetapi, poin terkait dengan masalah masyarakat adat jauh lebih banyak dibahas pada Nawacita I, dokumen visi misi Jokowi di Pemilu 2014. Nawacita I tercatat memuat 6 poin program.
Meskipun demikian, sebagian janji Jokowi dalam Nawacita I justru dinilai tak terealisasi, terutama soal penuntasan pembahasan RUU Masyarakat Adat.
Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Urusan Politik, Erasmus Cahyadi malah menilai ada kemunduran dalam proses pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat di era Jokowi. Dia mengatakan pembahasan RUU itu semula hampir rampung di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Zaman SBY itu [RUU Masyarakat Adat] sudah masuk pansus [panitia khusus di DPR], dan waktu itu kan sudah pembahasan di pansus,” kata Erasmus pada hari ini.
“Tapi, ternyata wakil pemerintah yang menghadiri rapat-rapat pembahasan itu, itu bukan pejabat yang berwenang memiliki keputusan, akhirnya tidak jadi ditetapkan pada masa SBY,” tambah dia.
Sementara pada era Jokowi, Erasmus menilai pembahasan RUU Masyarakat Adat mandek. Sebab, kata dia, untuk melakukan pembahasan, DPR perlu menunggu putusan tim bentukan pemerintah yang sampai saat ini belum ada. Padahal, RUU itu sudah masuk dalam Prolegnas prioritas.
“RUU itu mesti cepat disahkan, ditetapkan jadi UU,” kata Erasmus.
Menurut Erasmus, pengesahan RUU itu penting untuk memberikan kepastian hukum dalam penuntasan banyak persoalan yang dialami masyarakat adat, termasuk soal administrasi kependudukan dan hak atas tanah.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Addi M Idhom