tirto.id - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan menolak dan menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
"Kami menolak dan mendesak kepada pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024," tulis AMAN dalam keterangan resmi yang diterima, Minggu (9/6/2024).
AMAN mencatat, memasuki masa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo semakin menunjukkan karakter pemerintahan yang otoritarian. Hal ini ditandai dengan terbentuknya berbagai hukum dan kebijakan yang anti demokrasi, melawan konstitusi, tidak menghormati hak asasi manusia (HAM), termasuk hak-hak masyarakat adat.
AMAN menilai izin mengelola pertambangan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam ketentuan UU tersebut dijelaskan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) diprioritaskan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan finansial.
Dengan demikian Badan Usaha Ormas Keagamaan, tidak termasuk dalam kategori badan usaha yang diprioritaskan untuk IUPK.
"Di tengah ketidakhandalan hukum pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak atas wilayah adat, pemberian wilayah izin usaha pertambangan prioritas kepada ormas keagamaan akan berdampak pada perampasan wilayah adat yang semakin luas atas nama pertambangan," tulis dalam keterangan.
Pada 2020, AMAN mencatat terdapat 1.919.708 hektare wilayah adat yang telah dirampas untuk perijinan di sektor pertambangan. Pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan sebagaimana diatur di dalam regulasi baru menempatkan wilayah-wilayah adat ke dalam situasi yang semakin terancam.
Masuknya Badan Usaha Ormas Keagamaan sebagai salah satu penerima WIUPK juga sekaligus akan semakin memperkuat ancaman kriminalisasi masyarakat adat, terlebih di dalam ketentuan revisi UU Mineral dan Batu Bara dan UU Cipta Kerja menyatakan bahwa setiap orang yang mengganggu atau merintangi izin usaha pertambangan dikenakan sanksi pidana paling lama 1 tahun atau denda 100 juta.
"Frasa ‘mengganggu atau merintangi’ potensial menjadi alat untuk mengkriminalisasi masyarakat adat, apalagi dalam banyak kasus perampasan wilayah adat yang diperuntukkan untuk kepentingan usaha pertambangan dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat," tulisnya.
Negara juga dinilai masih terhadap dengan masyarakat adat dengan menunda-nunda pengesahan UU Masyarakat Adat yang seharusnya menjadi payung hukum pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat adat.
Dengan legalitas ormas keagamaan yang saat ini bisa mengelola tambang, AMAN menilai berpotensi memicu konflik horizontal antara masyarakat adat dengan ormas keagaman sebagai akibat dari tumpang tindih IUPK yang dimiliki oleh ormas keagamaan dengan wilayah adat yang telah dimiliki, dikuasai, dan diatur oleh masyarakat adat secara turun temurun.
Dengan demikian yang terjadi pada regulasi yang mengatur izin pengelolaan tambang bagi ormas keagamaan, AMAN menyatakan sikap sebagai berikut:
- Menyatakan bahwa wilayah adat adalah satu wilayah kepunyaan masyarakat adat secara turun temurun, dan wilayah adat merupakan zona bebas dari usaha pertambangan dalam bentuk apa pun karena akan menghancurkan identitas dan masa depan kami sebagai masyarakat adat.
- Menolak dan mendesak kepada pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan.
- Mengajak ormas keagamaan dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk menolak peraturan kebijakan negara yang beresiko tinggi untuk memecah belah warga negara, menghancurkan lingkungan hidup, dan merampas ruang hidup masyarakat adat.
- Mendesak kepada pemerintah untuk mendorong penyelesaian konflik agraria di wilayah adat yang berkeadilan bagi masyarakat adat.
- Mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi masyarakat adat.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Irfan Teguh Pribadi