tirto.id - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menilai pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno masih mengesampingkan persoalan yang dialami banyak komunitas adat di Indonesia saat ini.
Dia berpendapat demikian karena kedua pasangan calon (paslon) tidak membahas masalah hak-hak masyarakat adat dalam Debat Pilpres 2019 tahap pertama.
Padahal, persoalan yang dialami banyak masyarakat adat berkaitan langsung dengan tema debat pada 17 Januari 2019 lalu tersebut, yakni tema hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.
Rukka menjelaskan masyarakat adat juga perlu mengetahui sejauh mana paslon menaruh perhatian terhadap pemenuhan hak-hak mereka.
“[Kami] tidak menginginkan perlakuan istimewa, tetapi [kami berharap] penghormatan, pengakuan, perlindungan terhadap masyarakat adat menjadi agenda utama presiden terpilih,” kata Rukka di kawasan Setia Budi, Jakarta Selatan, Minggu (20/1/2019).
Selama ini, kata dia, banyak komunitas masyarakat adat masih menghadapi masalah terkait dengan sengketa tanah hingga diskriminasi karena keyakinan mereka.
Rukka mencontohkan persoalan hak pilih warga komunitas adat masih belum terselesaikan. Salah satu sebabnya adalah faktor agama mereka yang tidak diakui. Dia memperkirakan ada satu juta warga komunitas adat belum mendapatkan hak pilih di pemilihan umum karena faktor administrasi kependudukan.
Sementara di kasus-kasus sengketa tanah adat, kata Rukka, konflik masih sering terjadi antara sesama warga maupun masyarakat dengan aparat dan korporasi.
Seharusnya, dia menambahkan, pembahasan mengenai hak-hak masyarakat adat di Debat Pilpres 2019 bisa memperjelas visi misi capres-cawapres dalam pemenuhan hak warga yang selama ini mengalami diskriminasi.
“[Topik utama debat Pilpres kemarin justru] Neoliberalisme. Semuanya ngomong kebijakan ekonomi. Bahkan reforma agraria pun ekonomi. Pembebasan lahan untuk pembangunan,” kata Rukka.
Menanggapi kritik ini, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengakui debat Pilpres 2019 perlu membahas masalah yang lebih substansial dan bermanfaat.
Namun, kata Wahyu, kesalahan utama tidak semata-mata di KPU sebagai penyelenggara debat. Sebab, capres-cawapres sebenarnya berpeluang menguraikan masalah yang menyentuh persoalan substansial.
“Kita juga harus bijaksana, yang dikritik itu KPU atau performa Paslon. Ini dua hal yang berbeda. Kalau misalnya paslon dipandang belum mampu menjelaskan isu utama, itu kan bukan salah KPU,” kata Wahyu.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom