Menuju konten utama

RUU Masyarakat Adat Mandek, AMAN: 1 Juta Warga Tak Punya Hak Pilih

Akibat RUU Masyarakat Hukum Adat tidak kunjung disahkan, AMAN memperkirakan satu juta warga belum memiliki hak pilih di pemilu. Selain itu, banyak masyarakat adat kehilangan hak atas lahan.

RUU Masyarakat Adat Mandek, AMAN: 1 Juta Warga Tak Punya Hak Pilih
Warga suku adat Kajang Ammatoa membawa makanan dari hasil bumi saat akan melakukan ritual 'Andingingi' di Kawasan Hutan Adat Kajang Ammatoa, Kabuapten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/11). Ritual 'andingingi' atau acara makan bersama tersebut bertujuan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah serta menjadi ajang silahturahmi antar warga di daerah tersebut. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/pras/17

tirto.id - Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Urusan Politik, Erasmus Cahyadi mendesak pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat segera dilakukan. Pemerintah dan DPR diminta mempercepat proses pembahasan RUU tersebut.

“Penetapan UU ini sebenarnya tidak hanya berguna bagi masyarakat, tapi juga bagi pemerintah dan investor,” kata Erasmus di Jakarta Pusat, pada Rabu (23/1/2019).

Erasmus menjelaskan pengesahan RUU itu akan membuat masyarakat adat mendapat kejelasan dalam urusan administrasi serta memperoleh hak-hak mereka yang belum dipenuhi oleh negara.

Sementara bagi pemerintah, kata Erasmus, pengesahan RUU itu akan mempermudah penanganan urusan administrasi terkait masyarakat adat. Dia menambahkan investor pun bisa menghindari konflik dengan masyarakat adat jika ketentuan dalam RUU tersebut berlaku.

Menurut Erasmus, karena RUU itu tidak kunjung disahkan, masyarakat adat menghadapi persoalan administratif yang dampaknya berkepanjangan. Salah satunya, banyak warga masyarakat adat belum bisa mendapatkan hak pilih di pemilihan umum.

“Sampai sekarang, pemerintah juga belum menemukan cara mengakomodir semua masyarakat adat untuk [mendapat] hak pilih. Kami mencatat ada satu juta [warga] masyarakat adat yang punya hak untuk memilih tapi terkendala dalam kepemilikan KTP [Kartu Tanda Penduduk],” kata Erasmus.

Dampak lainnya, kata dia, hingga kini belum ada pengakuan secara hukum terhadap masyarakat adat atas lahan mereka. Persoalan ini membuat konflik antara masyarakat adat dengan korporasi sering terjadi.

“Yang paling besar [dampaknya] sebenarnya pengakuan terhadap tanah. Banyak peraturan perundang-undangan di sektor alam yang absen [tidak mengatur hak atas tanah] dan cenderung mengabaikan [hak] masyarakat adat [atas tanah],” kata dia.

Erasmus mencatat pembahasan RUU Masyarakat Adat telah melewati 2 periode pemerintahan, yakni era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo. Namun, ia menganggap saat ini justru terjadi kemunduran.

“Zaman SBY itu sudah masuk pansus [panitia khusus di DPR], dan waktu itu sudah pembahasan di pansus,” kata Erasmus.

“Tapi, ternyata wakil pemerintah yang menghadiri rapat-rapat pembahasan itu bukan pejabat yang berwenang membuat keputusan, akhirnya tidak jadi ditetapkan pada masa SBY,” tambah dia.

Sedangkan pada era Jokowi, pembahasan RUU itu mengalami kemunduran. Sebab, kata Erasmus, DPR periode 2014-2019 tak membentuk pansus. Selain itu, dia menilai pemerintah bersikap pasif.

Padahal, RUU Masyarakat Hukum Adat sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas sehingga seharusnya bisa segera disahkan.

“RUU [masyarakat adat] itu mesti cepat disahkan, ditetapkan jadi UU,” ujar Erasmus.

Baca juga artikel terkait RUU MASYARAKAT ADAT atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Addi M Idhom