tirto.id - Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) tinggal menunggu waktu disahkan setelah pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sepakat membawa hasil bahasan RUU ke sidang paripurna DPR.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mengatakan RUU DKJ mengarahkan Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global. Ia mengapresiasi dan mengucapkan rasa terima kasih dan apresiasi yang tinggi terhadap pendapat mini fraksi-fraksi yang pada umumnya sepakat terhadap RUU DKJ.
Dalam rapat pleno tersebut, dari sembilan fraksi yang hadir, 8 fraksi menyepakati RUU DKJ dibawa ke sidang paripurna, dan hanya satu yang menolak. Bagi yang berbeda pandangan, pihaknya menghargai keputusan tersebut.
“Sesuai prinsip demokrasi, saya kira kalau ada yang kurang sepakat juga kita perlu hargai. Tapi kami melihat bahwa secara majority sudah ada kesepakatan untuk rapat ini menyetujui tentang RUU yang sudah dibahas dengan sangat kerja keras,” kata Tito pada Rapat Pleno Raker Pengambilan Keputusan Hasil Pembahasan RUU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta di Ruang Rapat Baleg DPR RI, Jakarta, Senin (18/3/2024).
Mendagri menambahkan, berbagai materi penting yang berkaitan dengan pasal-pasal di dalam RUU DKJ telah disepakati. Poin-poin tersebut di antaranya mulai dari ketentuan umum, kedudukan Jakarta sebagai daerah dengan otonomi satu tingkat, pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pengaturan aset, ketentuan peralihan, hingga penutup. Pihaknya sekali lagi mengapresiasi kerja keras bersama dalam proses pembuatan RUU DKJ tersebut.
“Demikian yang dapat kami sampaikan pada rapat kerja tingkat I Badan Legislasi DPR RI dan sikap pemerintah setuju, dan berharap kesempatan yang telah diperoleh ini bisa diteruskan untuk diambil keputusan dalam pengambilan keputusan tingkat II atau rapat paripurna DPR RI,” kata eks Kapolri itu.
Akan tetapi, dalam rapat tersebut muncul perdebatan ketika Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi, meminta agar Jakarta dibuat menjadi ibu kota legislasi.
“Di Jakarta ini kita juga mengatur tentang kekhususan dan Jakarta masih ada kaitannya dengan IKN, saya sempat berpikir begini tadi, kalau sekalian dibikin kekhususan bisa enggak misalkan di DKJ itu termasuk juga kekhususan menjadi ibu kota legislasi, parlemen," kata pria yang karib disapa Awiek dalam rapat.
Awiek menilai gagasan legislatif itu wajar karena bisa berlaku 100 tahun. Ia menilai, status Jakarta sebagai kota legislasi bisa membuat pusat kegiatan legislasi di Jakarta.
“Kami usulan legislatif gitu, kemaren kan sempat didiskusikan, karena kan di sini enggak ada batas waktu, sekalian saja untuk legislasinya, legislatifnya di DKJ,” kata Awiek.
Hal tersebut langsung direspons oleh Sekjen Kemendagri, Suhadjar Diantoro. Suhadjar meminta agar DPR tetap pindah ke Nusantara bersama eksekutif.
“Izinkan pemerintah berbeda pendapat, dalam hal ini kami menurut pemerintah jangan biarkan kami saja di sana, kita itu harus bersama dalam konteks negara kesatuan,” kata Suhadjar dalam rapat.
Awiek pun menegaskan gagasan yang disampaikan tetap menyatakan aktivitas parlemen di Nusantara. Akan tetapi, kegiatan berfokus di Jakarta.
“Tidak membiarkan pemerintah di situ, jadi aktivitas dikeparlemenan ada juga di situ, tapi fokusnya, pusatnya di sini, di DKJ gitu," kata Awiek.
Suhadjar pun kembali menekankan sikap pemerintah berharap agar DPR ikut ke Nusantara. “Pemerintah tetap berkeinginan bahwa kita akan pindah penuh samuanya ke sana. Memang konsepnya bertahap," kata Suhadjar.
Gagasan Baleg DPR Dipertanyakan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengkritik sikap DPR yang enggan pindah ke IKN. Ia memahami gagasan DPR ingin Jakarta menjadi kota legislatif. Hal ini sah saja dilakukan karena ada beberapa negara yang melakukan, salah satunya Afrika Selatan.
Akan tetapi, kata Lucius, gagasan tersebut sudah telat. “Keterlambatan menyampaikan wacana itu menunjukkan bahwa DPR sendiri tak punya konsep yang jelas terkait dengan usulan pemisahan ibu kota negara dan Jakarta menjadi ibu kota legislatif,” kata Lucius, Selasa (19/3/2024).
Lucius melihat usulan Awiek mewakili DPR adalah ekspresi dari kegundahan atau kemalasan DPR untuk ikut beranjak pindah ke IKN, sembari tetap mau enak-enak saja di Jakarta seperti sekarang ini. Ia justru meyakini bahwa kemunculan IKN bukan niat dari legislatif.
“Ya kelihatan memang kalau ide IKN itu bukan sesuatu yang menjadi niat tulus dari sebagian anggota di DPR maupun parpol. IKN ini memang proyek pemerintah yang melalui dukungan parpol koalisi akhirnya dengan mudah mendapat restu,” kata Lucius.
“Mungkin saja anggota DPR sendiri agak malas untuk ikut pindah mengingat IKN masih merupakan daerah baru dan sepi,” lanjut Lucius.
Akan tetapi, Lucius menilai wakil rakyat tidak boleh terkesan pilih-pilih, apalagi pemindahan ibu kota disahkan lewat Undang-Undang IKN. Oleh karena itu, DPR seharusnya menunjukkan sikap mendukung, apalagi semangat IKN adalah menghindari Jawa sentris di Indonesia.
“Sebagai wakil rakyat mestinya DPR semangat untuk menunjukkan filosofi perpindahan ibu kota yang ingin menunjukkan Indonesia sentris dan bukan Jawa sentris lagi atau Jakarta sentris," kata Lucius.
Sementara itu, analis politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai sikap Awiek adalah bukti bahwa pengesahan UU IKN bukan atas dasar diskusi individu, tetapi malah suara fraksi. Hal itu pun dinilai lazim dengan sistem politik saat ini.
“Yang kemarin mengesahkan [UU IKN] bukan suara individu, kan, suara fraksi, kan gitu, dan sangat mungkin suara fraksinya tidak terlalu demokratis sehingga tidak mendengarkan keberatan-keberatan individual ini," kata Kunto, Selasa (19/3/2024).
Kunto melihat, para anggota DPR ini sadar bahwa kepindahan ke Nusantara semakin terlihat. Hal ini tidak lepas pembangunan 2025 sudah berjalan untuk DPR sehingga potensi pindah semakin nyata di tahun 2027-2028.
Faktor lain yang perlu diatensi adalah ada potensi DPR masih ogah untuk pindah. Mereka ingin pindah ketika semua sudah tersedia. Hal itu pun wajar karena fasilitas yang diterima anggota DPR selama ini.
“Jadi itu kayaknya pesan politik dari anggota DPR. Ya bayangkan selama ini selalu diberi karpet merah ke mana-mana sehingga ya itu jadi wajar ketika jadi mentalitas anggota DPR,” kata Kunto.
Kunto juga membaca bahwa DPR tidak ingin menjadi pelaku yang membabat hutan. Mereka ingin agar ASN dari berbagai institusi lainnya yang membabat dan mereka menikmati saat semua selesai dibangun.
“Sehingga ketika semuanya sudah rapih tersusun baru, mereka pindah gitu. Kayaknya lebih ke sana sih, bukan pada tidak diharapkan atau diharapkan. Ini lebih kepentingan egoistik saja daripada kepentingan politis,” kata Kunto.
Oleh karena itu, Kunto menilai wajar gagasan Jakarta jadi ibu kota parlemen dimasukkan. Alhasil dua faktor utama itulah yang menjadi dasar DPR mencari cara tidak ke Nusantara.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz