tirto.id - Bursa calon Ketua Umum Partai Golkar 2024-2029 mulai menjadi sorotan walaupun musyawarah nasional baru akan digelar sembilan bulan lagi. Beberapa nama sudah muncul mulai dari Airlangga Hartarto yang kini masih menjabat menjadi pemimpin partai beringin, Bambang Soesatyo, Agus Gumiwang hingga Bahlil Lahadalia.
"Ada Pak Airlangga sendiri, ada Pak Agus Gumiwang, ada Pak Bahlil, ada saya," kata Waketum Partai Golkar, Bambang Soesatyo di Komplek DPR/MPR RI, Jumat (8/3/2024).
Terbaru muncul nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan putranya, Gibran Rakabuming Raka. Kabar tersebut muncul seiring mantan Wali Kota Surakarta disebut akan merapat ke Golkar setelah beredar isu hubungan dengan PDIP tidak baik. Kedekatan Jokowi dengan Partai Golkar pun diamini Airlangga.
Jokowi pun dinilai berpotensi menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Tidak hanya Jokowi, Gibran juga berpotensi terpilih memimpin partai berlambang beringin itu.
"Di luar empat nama yang disebutkan Bamsoet, menurut saya, ada satu calon yang juga sangat potensial untuk menjadi Ketum Golkar ke depan yaitu Gibran Rakabuming Raka,” kata pengamat politik M. Qodari dikutip dari Antara.
Ada dua alasan Gibran berpotensi menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Pertama, posisi Gibran yang akan menjadi wakil presiden. Dia menjelaskan, nantinya Gibran sama seperti Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Golkar pada 2004 usai menjadi wapres.
Kedua, posisi Golkar yang saat ini mendorong anak muda untuk berkiprah di politik. Kehadiran Gibran sebagai anak muda berpotensi meningkatkan perolehan suara Golkar.
Prediksi tersebut pun diamini Sekjen Partai Golkar, Lodewijk FP Paulus. Karena dia menilai hadirnya Jokowi atau Gibran akan membuat Golkar semakin kuat. Namun, Lodewijk belum mau memastikan apakah nantinya Jokowi dan Gibran akan langsung mendapatkan posisi penting jika bergabung dengan Golkar. Pasalnya, Golkar memiliki aturan baku bagi setiap kader untuk menduduki posisi-posisi tertentu di kepengurusan partai.
Sementara itu, Ketua DPP Golkar, Dave Laksono, mengakui hingga saat ini partainya belum membahas terkait munculnya nama Jokowi dan Gibran. Dia mengakui partainya sedang fokus dengan hasil pemilu dan pelantikan presiden dan wakil presiden hingga pilkada serentak 2024.
Sinyal nama Jokowi atau Gibran yang akan menjadi ketua umum pun tidak mau dijawab Airlangga. Dia memilih diam saat ditemui di Istana Kepresidenan. Airlangga pun belum mau mengungkapkan apakah bakal maju lagi menjadi pemimpin di partai Golkar.
Sama seperti Airlangga, Menteri Perindustrian cum Ketua DPP Partai Golkar, Agus Gumiwang pun tidak ingin menjawab terkait apakah bakal maju menjadi ketum. Dia mengakui saat ini ingin fokus pada industri Indonesia.
Airlangga Masih Jadi Kandidat Terkuat
Analis politik dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, menilai Airlangga masih berpotensi menjadi ketua umum Partai Golkar. Alasannya, Airlangga berhasil membawa Golkar memenangkan Pileg seperti momen 2004 silam. Dia yakin para petinggi daerah Golkar akan melirik prestasi Airlangga.
"Artinya Airlangga menjadi ketua umum yang cukup punya power ketika terpilih lagi apalagi isunya juga secara aklamasi dan pilihan pilihan beberapa DPD tentu mempertimbangkan bahwa suara Golkar naik. Ini mungkin pertimbangan-pertimbangan yang dipilih kenapa ada potensi Airlangga," kata Arifki.
Arifki menilai nama lain seperti Agus dan Bamsoet bisa menjadi pertimbangan selama mereka merepresentasikan satu faksi tertentu di tubuh partai berlambang beringin. Sementara itu, jika ada Jokowi atau Gibran, posisi ketua umum akan menguntungkan bagi Golkar.
Hal ini akan membuat Golkar semakin kuat sebagai partai untuk mewakili pemerintahan di masa depan. Tetapi, pemilihan dua nama tersebut bisa memicu konflik antara Prabowo dengan Gibran.
"Ini tentu juga akan mengkhawatirkan apakah Golkar menjadi mitra koalisi resmi di luar Gerindra bagi Prabowo atau memang bargaining position politik karena lebih ketergantungan Prabowo terhadap Golkar di parlemen," kata Arifki.
Arifki menilai ada potensi dualisme politik saat Prabowo dan Jokowi melalui Gibran. Hal ini tentu akan menunjukkan pula di mana kepentingan Golkar di pemerintahan mendatang.
Dia pun mengingatkan Gerindra bukan berada di peringkat teratas dalam legislatif sehingga Gerindra butuh dukungan Golkar. Hal itu lantas berimbas dengan narasi kursi 5 menteri.
"Dengan Golkar minta kursi lebih awal menunjukkan bahwa golkar Ingin menunjukan bargaining ke penguasa selanjutnya. Apalagi di momentum di Bali kemarin juga ada isu aklamasi ketum selanjutnya. Maka, saya melihat bursa ketum ini. Figur orang Prabowo, Jokowi, atau memang Golkar yg mandiri dalam menentukan arah politik ke depan," kata Arifki.
Jokowi atau Gibran Tak Buat Untung Golkar
Analis politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, pun sependapat dengan Arifki. Dia menuturkan Airlangga merupakan tokoh yang paling berpeluang kembali menjabat.
Hal itu tidak lepas dari keberhasilan Airlangga dalam membawa perolehan suara legislatif Golkar yang bersaing dengan PDIP meski Menko Perekonomian itu gagal menjadi cawapres.
"Sekarang meskipun merelakan kursi cawapres kemarin ke untuk Gibran gitu tapi di parlemen Partai Golkar mengalami lonjakan yang luar biasa bahkan mendekati perolehan PDI perjuangan. Ini saya kira prestasi yang tidak mungkin dilihat sebelah mata oleh kader Partai Golkar di daerah," kata Dedi.
Sementara itu, dia menjelaskan, jika Jokowi atau Gibran menjadi ketua umum tidak membuat untung Golkar. Alasannya, partai beringin itu sudah dikenal dan memiliki tokoh yang luar biasa.
"Jokowi dan Gibran, saya kira tidak cukup baik bagi Golkar di masa depan. Kenapa? Karena Golkar sejauh ini sudah dikenal sebagai partai yang mandiri kemudian dia juga punya kapasitas tokoh-tokohnya juga luar biasa. Kemudian juga intelektualitas politiknya juga beragam sekali," kata Dedi.
Dedi mengatakan kehadiran Bamsoet, Airlangga, Bahlil maupun Agus Gumiwang adalah sedikit nama dari banyak kandidat potensial sebagai ketum partai berlambang pohon beringin itu. Ia mencontohkan Waketum Golkar, Ahmad Doli Kurnia sebagai kandidat yang juga layak maju sebagai ketum. Dedi pun menjelaskan keuntungan menjadi ketua umum hanya berpotensi untuk masuk bursa Pilpres 2024.
"Di Golkar tidak ada kewajiban harus menjadi Capres atau Cawapres, Golkar sejauh ini cerdik menentukan pilihan politik, tetapi karena Golkar sudah cukup lama tidak mengusung kader, maka 2029 seharusnya perlu ketua umum yang tidak saja mampu memenangkan di parlemen, juga di Pilpres. Bagi ketua umum terpilih, tentu diuntungkan sebagai peluang sebagai Capres atau Cawapres," kata Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin