Menuju konten utama

Kenapa Akhir Masa Pemerintahan Presiden Jokowi Makin Antikritik?

Kritik itu memang untuk pengingat atas kekurangan, jika sudah baik tentu bukan kritik tetapi pujian.

Kenapa Akhir Masa Pemerintahan Presiden Jokowi Makin Antikritik?
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan kepada wartawan di IKN, Kalimantan Timur, Kamis (29/2/2024). ANTARA/HO-BPMI Setpres

tirto.id - Rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir pada Oktober 2024. Menjelang lengsernya presiden asal Solo yang menjabat hampir satu dekade tersebut, sejumlah pihak menilai muncul gejala antikritik yang semakin tebal dari pemerintahan Jokowi. Pemerintah dinilai semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi dan tidak mendengar aspirasi masyarakat.

Gejala antikritik ini disebut makin kentara ketika Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, meminta para pengkritik pemerintah angkat kaki atau pindah dari Indonesia. Potongan video pidato Luhut itu viral di media sosial dan memancing banyak komentar.

“Kita semua harus bangga jadi orang Indonesia. Kita kritik bangsa kita, tapi kritik yang membangun. Jangan kritik merasa semua jelek, semua jelek, kalau jelek pindah saja kau dari Indonesia ini,” kata Luhut.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai akhir pemerintahan Presiden Jokowi semakin mirip dengan rezim Orde Baru. Menurut Kunto, apa yang disampaikan Luhut bukan gejala antikritik, melainkan sikap antikritik itu sendiri.

“Pak Luhut kan memang dari dulu begitu ya karakter atau tabiat antikritiknya, kelihatan sejak awal pemerintahan. Tapi Pak Jokowi ini yang memprihatinkan, karena di awal dia bilang rindu didemo, tapi sudah 1-2 tahun pemerintahannya dia enggak mau ketemu Aksi Kamisan, dia enggak mau ketemu [unjuk rasa] petani Kendeng,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Rabu (20/3/2024).

Di awal-awal Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dirinya memang sempat menyatakan rindu menerima unjuk rasa atau demonstrasi rakyat. Dia bahkan siap memberikan konsumsi bagi peserta aksi yang mendemo kepemimpinannya. Sayangnya, kata Kunto, ucapan itu berubah menjadi pemanis bibir belaka ketika Jokowi sudah menjadi presiden.

“Itu hanya pemanis di bibir belaka, karakter aslinya memang Pak Jokowi enggak bisa dikritik dan makin terbuka tabiatnya di akhir pemerintahan,” tutur Kunto.

Kunto berpendapat, di ujung pemerintahan ini, Presiden Jokowi memang lebih egoistis. Presiden dinilai tidak merasa punya beban dengan ikut cawe-cawe dalam politik elektoral. Selain itu, Jokowi begitu berambisi meninggalkan legasi berupa megaproyek IKN Nusantara yang sebetulnya terlihat dipaksakan dan masih menyisakan masalah dalam pengerjaanya sampai kini.

“Kalau menurut saya ya ini model kecenderungan untuk terpeleset ke otoritarianisme. Memang sudah diprediksi oleh banyak pengamat dari luar negeri misalnya atau ilmuwan dari luar ketika konsolidasi politik pascapemilu 2019 bergabungnya Gerindra dan Pak Prabowo ke Jokowi itu,” ujar Kunto.

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyatakan ucapan Luhut memang menunjukkan gejala antikritik di tubuh pemerintah Presiden Jokowi. Kritik yang datang bukannya diterima malah menjadi semacam ancaman bagi Jokowi dan menteri-menterinya.

“Sebenarnya tanda dari otoritarianisme pemerintahan. Jadi Jokowi semakin bertentangan dengan semangat kemerdekaan, yang menjamin kehidupan kebangsaan yang bebas, yang menjamin perikemanusiaan dan perikeadilan, yang menjamin hak atas kebaikan berpendapat dan berekspresi,” ujar Isnur kepada reporter Tirto, Rabu (20/3/2024).

Sikap antikritik disebut Isnur sangat bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi negara. Ucapan Luhut, kata Isnur, sejalan dengan sikap-sikap pemerintah di sejumlah daerah di mana gejala antidemonstrasi begitu kental dengan adanya tindakan represif.

“Catatan YLBHI itu sangat banyak [warga] yang meninggal saat berhubungan dengan demonstrasi. Ini terjadi juga di masyarakat bawah, masyarakat-masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya, mempertahankan tanahnya, mempertahankan lingkungan hidupnya, itu banyak yang dipenjara, dikriminalisasi, bahkan ditembak,” kata Isnur.

Dia mencontohkan kasus penembakan peserta unjuk rasa di Seruyan, Kalimantan Tengah, yang menyebabkan satu aparat kepolisian menjadi tersangka. Peserta aksi bernama Gijik meninggal karena terkena tembakan peluru aparat, dan seorang peserta lain mengalami luka parah akibat tembakan.

Pengabaian HAM di Internasional

Gejala antikritik dan pengabaian terhadap adanya noktah hitam pelanggaran HAM di Indonesia juga terlihat di panggung global. Amnesty International Indonesia menilai Pemerintah Indonesia memberikan respons yang tidak memadai bahkan cenderung mengerdilkan fakta-fakta akan kondisi HAM di Indonesia saat mendapatkan kritik dan pertanyaan dari Komite Hak Asasi Manusia PBB.

Agenda itu bertempat di Palais Wilson pada 11-12 Maret 2024, dilakukan sidang Tinjauan Penerapan Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik (ICCPR) oleh Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Agenda itu mendengarkan respons delegasi Pemerintah Indonesia atas pertanyaan dan rekomendasi Komite HAM PBB mengenai situasi dan kondisi HAM di Indonesia.

“Apa yang disampaikan [pemerintah] tidak sesuai fakta situasi HAM di Indonesia dan jawaban yang disampaikan itu-itu saja atau dengan kata lain, tidak ada perubahan,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena.

Menurut Wirya, ada beberapa hal terkait situasi HAM di Indonesia yang ditanyakan Komite HAM PBB dalam sidang tersebut, di antaranya menyangkut isu pembunuhan di luar hukum, situasi di Papua, dan pengusutan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.

“Ada beberapa jawaban dari delegasi Indonesia yang justru membuat kami terheran-heran. Beberapa hal yang disampaikan pada review periode sebelumnya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) pada tahun ini. Dan itu pun tidak dijawab oleh anggota delegasi Indonesia,” lanjut Wirya.

Wirya yang hadir menghadiri Sidang Komite HAM PBB itu berpendapat, terkait isu pembunuhan di luar hukum, penyiksaan maupun perlakuan tidak manusiawi lainnya, pemerintah Indonesia mengklaim memiliki kebijakan yang tidak mentolerir impunitas.

Pemerintah berdalih bahwa jumlah kasus pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan relatif lebih sedikit ketimbang yang dilakukan kelompok sipil bersenjata. Padahal, Amnesty International Indonesia mencatat, dari Januari 2018 hingga Mei 2023, ada sekitar 65 kasus pembunuhan di luar hukum dengan 106 korban jiwa.

“Itu bukanlah jawaban yang layak disampaikan oleh negara, yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk melindungi warganya,” tegas Wirya.

Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rozy Brilian, menyatakan pemerintah Jokowi saat ini minim sekali membuka partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang. Misalnya, ketika UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, Jokowi malah menerbitkan Perpu yang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Artinya sebetulnya mekanisme atau ruang-ruang pengujian akuntabilitas itu sudah tertutup di era Presiden Jokowi. Saluran-saluran mencari keadilan dirampas, di satu sisi ruang-ruang partisipasi itu tidak pernah dibuka secara maksimal,” kata Rozy kepada reporter Tirto, Rabu (20/3/2024).

Presiden Jokowi juga menanggapi kritik para sivitas akademika dengan angin-anginan. Padahal, kritik ini berupaya mengingatkan presiden untuk mengarahkan kembali nilai-nilai demokrasi Indonesia saat ini yang carut-marut.

“Dan tanda-tandanya bukan hanya soal demokrasi yang lebih sempit dalam skop kebebasan berpendapat saja, tapi juga bicara soal korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masif saat ini,” ujar Rozy.

Dihubungi terpisah, Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, berpendapat akhir pemerintahan Jokowi akan dipenuhi kritik oleh masyarakat sipil. Andaipun ada klaim suka cita di akhir masa jabatan, kata dia, itu hanya muncul di permukaan saja.

“Situasi yang ada, jelas rezim Jokowi menekan kelompok kritis agar tidak bersuara. Itulah sebab Luhut ikut mendukung gerakan antikritik itu,” kata Dedi mengomentari ucapan Luhut.

Dedi menilai, besar kemungkinan Luhut memang melihat ada kemungkinan negara ini dalam masalah. Dedi menyebut hal ini terbukti dari sikap Luhut yang overeaktif, dan menihilkan hak publik untuk menyampaikan kritik.

“Kritik itu memang untuk pengingat atas kekurangan, jika sudah baik tentu bukan kritik tetapi pujian, dan negara tidak patut menuntut pujian,” tegas Dedi.

Respons Pemerintah

Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, enggan merespons pernyataan soal pemerintahan Presiden Jokowi yang semakin antikritik di ujung periode jabatannya. Kepada reporter Tirto, Ari mengarahkan untuk menanyakan langsung ucapan Luhut melalui Juru bicaranya, Jodi Mahardi.

Jodi Mahardi menyampaikan, ucapan Luhut dalam konteks pentingnya kritik membangun untuk bangsa Indonesia. Menurut dia, tidak ada maksud Luhut mengecilkan kritik dari rakyat.

“Pak Luhut memang menekankan pentingnya kritik yang konstruktif, yang berarti kritik yang disampaikan bukan hanya sekadar mengeluh atau mencari kelemahan, melainkan juga memberikan masukan dan solusi yang bisa membantu kita semua dalam membangun bangsa ini menjadi lebih baik,” kata Jodi dalam keterangannya, diterima Tirto, Rabu (20/3/2024).

Jodi menilai ini ajakan Luhut untuk warga menyampaikan kritik sambil memikirkan cara berkontribusi pada negara. Lebih lanjut, Luhut disebut tengah mengingatkan bahwa sebagai bagian dari masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk membawa perubahan positif dan konstruktif.

“Dalam setiap kritik dan saran, marilah kita sama-sama berupaya untuk mencari solusi yang bisa membantu memajukan negara kita,” tutur Jodi.

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz