Menuju konten utama

KPK & Kejagung Tak Usah Berebutan Usut Dugaan Korupsi di LPEI

Langkah Menkeu Sri Mulyani melaporkan adanya dugaan korupsi di LPEI ke Kejagung membuktikan pemerintah tak lagi mempercayai KPK.

KPK & Kejagung Tak Usah Berebutan Usut Dugaan Korupsi di LPEI
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin (kiri) menerima surat laporan dugaan korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (18/3/2024). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU

tirto.id - Hubungan antara Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedikit panas. Penyebabnya, yaitu langkah Kementerian Keuangan yang mempercayakan Kejagung mengusut perkara dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

Padahal, KPK diketahui sejak 2023 telah memulai penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di LPEI.

Memanasnya hubungan Kejaksaan dan KPK berawal dari Kemenkeu yang menyerahkan data empat perusahaan ekspor yang terindikasi mengalami kredit macet atas pembiayaan LPEI pada Senin (18/4/2024).

Keempat perusahaan itu adalah RII, SMS, SPV, dan PRS. Adapun total kerugian negara dari empat perusahaan itu mencapai Rp2,50 triliun.

"Terhadap perusahaan tersebut langsung diserahkan ke JAM Pidsus untuk ditindaklanjuti oleh penyidik," ungkap Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (18/3/2024).

Burhanuddin mengatakan, penyerahan data empat perusahaan tersebut adalah tahap pertama. Kemenkeu, kata dia, akan kembali menyerahkan daftar enam perusahaan terindikasi fraud (kecurangan) setelah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selesai melakukan audit.

Jika dilihat dari nominal pinjaman yang diberikan LPEI kepada enam perusahaan tersebut, kata Burhanuddin, kerugian negara yang ditimbulkan oleh fraud tersebut mencapai Rp3 triliun dan Rp85 miliar.

"Laporan kredit LPEI ini terdeteksi pada tahun 2019 dan sampai saat ini para debitur perusahaan tersebut statusnya belum ditentukan. Perusahaan-perusahaan debitur tersebut bergerak pada bidang kelapa sawit, batubara, perkapalan dan nikel," ujar Burhanuddin.

Melihat langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyerahkan data terkait dugaan korupsi di LPEI ke Kejagung, KPK di hari berikutnya justru mengumumkan telah menggelar penyidikan dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit LPEI.

"Pada tanggal 19 Maret 2024 ini KPK meningkatkan proses penyelidikan dari dugaan penyimpangan atau dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit dari LPEI ini menjadi berstatus penyidikan," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/3/2024).

Ghufron menjelaskan bahwa KPK sudah menangani kasus tersebut lebih dulu sejak 10 Mei 2023. Maka sesuai dengan Pasal 50 Undang-Undang KPK, Ghufron meminta agar kepolisian dan kejaksaan tidak lagi ikut campur menangani suatu perkara korupsi apabila perkara itu sudah dilakukan penyidikan lebih dulu oleh KPK.

"Dalam hal KPK sudah melakukan penyidikan, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan," ujar Ghufron.

Namun, ketika penyidikan suatu perkara korupsi sudah didahului oleh kepolisian dan kejaksaan, maka kedua penegak hukum itu wajib memberitahukan KPK paling lambat 14 hari setelah dimulainya penyidikan.

Reaksi Kejagung 'Diusik' KPK

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, justru mempersilakan KPK melakukan koordinasi bersama penyidik JAM Pidsus Kejagung mengenai penanganan perkara tersebut.

Sebab, kasus dugaan fraud di LPEI memiliki banyak objek perkara. Sehingga, belum tentu apa yang ditangani KPK dengan Kejagung mengalami tumpang tindih.

"Silakan teman-teman KPK kalau mau koordinasi, kasus yang dimaksud yang mana. Kami terbuka dan tidak mau ada tumpang tindih penanganan perkara di antara Aparat Penegak Hukum sesuai dengan MoU yang sudah kita sepakati," ungkap Ketut dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (20/3/2024).

Ketut menjelaskan penanganan perkara dugaan korupsi yang terjadi LPEI sudah dilakukannya pada 2021. JAM Pidsus sendiri, kata Ketut sudah menangani tiga perkara di LPEI dengan objek hukum berbeda. Saat ini, satu di antaranya sudah inkrah dan sudah ada perhitungan kerugian negara dari BPKP.

"Sedangkan yang kemarin [diberikan datanya oleh Sri Mulyani] masih dipelajari dan ditelaah," ucap Ketut.

Ketut menjelaskan, terdapat tiga bagian yang diaudit dan akan ditindaklanjuti aparat penegak hukum dari hasil tim gabungan Kemenkeu, BPKP, dan JAM Datun Kejagung. Penyerahan kepada JAM Pidsus pun baru tahap pertama dengan objek hukum empat perusahaan.

Tidak hanya itu, kata Ketut, kasus LPEI bahkan juga ditangani Bareskrim Polri dalam objek hukum tindak pidana umum. Oleh karenanya, dia mempertanyakan penghentian yang mana dimaksudkan jajaran KPK.

"Jadi kami perlu koordinasi dalam penanganan perkara ini. Mekanismenya sudah ada," ujar Ketut.

Menkeu laporkan dugaan korupsi di LPEI ke Kejagung

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin (kiri) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) memberikan keterangan pers terkait laporan Menkeu mengenai dugaan tindak pidana korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (18/3/2024). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU

Upaya Take Over KPK Patut Dicurigai

Akademisi Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herdiansyah Hamzah, mengatakan memang benar dalam ketentuan UU KPK, jika KPK sudah mulai melakukan penyidikan atau penyidikan dilakukan secara bersama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) yang lain, maka KPK yang berwenang menangani perkara tersebut.

Tapi bagaimanapun, kata dia, langkah KPK untuk melakukan take over terhadap perkara LPEI dari Kejagung patut dicurigai. Apalagi perkara ini sudah masuk di KPK sejak 2023. Lalu, kenapa KPK baru meributkan masalah ini.

“Jadi tidak salah APH lain mengambil inisiatif akibat lambannya penanganan perkara,” ujar Herdiansyah kepada Tirto, Rabu (20/3/2024).

Dia melihat perkara LPEI ini bisa saja kemungkinan tidak tunggal, alias banyak ikan dalam satu kolam. Oleh karenanya, menurutnya tidak masalah jika APH lain masuk menangani perkara terkait LPEI ini.

Apalagi selama ini kejaksaan juga bagian dari tim terpadu dalam pengawasan LPEI bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat kemenkeu. Bahkan kepolisian juga bisa masuk dalam tindak pidana umum.

“Jadi KPK tidak perlu buru-buru merasa jadi lembaga tunggal yang berhak menangani perkara LPEI ini,” ujarnya.

Dia menduga, take over dilakukan KPK justru untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga anti rasuah tersebut. Terlebih, kredibilitas KPK saat ini turun akibat perilaku buruk pimpinan KPK hingga bawahannya.

“Jangan salah publik kalau menilai KPK punya motif dibalik take over perkara ini. Menjaga integritas lembaga saja gagal, gimana mau menangani perkara lain. Begitu respons publik,” terangnya.

Bukti Pemerintah Tak Lagi Percaya ke KPK

Di sisi lain, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, justru mengapresiasi Menkeu Sri Mulyani yang melaporkan dugaan penyimpangan di LPEI kepada Kejaksaan Agung. Menurutnya, ini menjadi bukti bahwa saat ini pemerintah tak lagi percaya dengan kinerja KPK.

“Dan kenapa harus ke Kejaksaan Agung? Nampaknya Kejaksaan Agung sudah mulai mendapatkan kepercayaan dari masyarakat maupun pemerintah itu sendiri,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (20/3/2024).

Menurut dia, kepercayaan pemerintah terhadap Kejaksaan Agung tidak lepas dari kasus-kasus besar yang sudah berhasil ditangani. Mulai dari kasus Jiwasraya yang berhasil dibongkar, ASABRI, minyak goreng langka hingga kasus korupsi pada perkebunan sawit.

“Jadi ini mau tidak mau sebagai tanda kutip memberikan pujian terhadap Jaksa Agung. Tapi di sisi lain juga tidak menganggap lagi KPK,” ujar Boyamin.

Kondisinya, kata Bonyamin, memang sulit bagi KPK mendapatkan kepercayaan kembali dari publik. Ini tidak lepas dari berbagai kasus pelanggaran etik dilakukan pimpinan KPK hingga pegawai mereka.

Oleh karena itu, dia berharap Kejaksaan Agung mampu menangani kasus dugaan korupsi tersebut. Di samping KPK juga nanti akan mengejar ketertinggalannya di kemudian hari.

“Jadi berat bagi KPK saat saat ini. Jadi walaupun pemerintah tidak percaya lagi, mohon maaf, ini bagian dari proses pembenahan dari KPK itu sendiri,” imbuh Boyamin.

Unjuk rasa penolakan praperadilan Firli Bahuri

Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) berunjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (19/12/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/Ak/rwa.

Perlunya Sinergi, Bukan Saling Rebut

Daripada saling berebut, Kejagung dan KPK memang sebaiknya saling bersinergi mengatasi korupsi yang ada di LPEI.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menyayangkan sikap saling rebut penanganan tersebut.

“Kalau misalkan bersinergi itu bagus bisa dilakukan, kalau tidak bisa dilakukan semua kembalikan kepada aturan,” ujar Zaenur kepada Tirto, Rabu (20/3/2024).

Sejatinya, kata Zaenur kalau mau bersinergi KPK dan Kejaksaan Agung bisa duduk bareng melihat keseluruhan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di LPEI.

Mereka bahkan bisa berbagi peran. Ketika berbagi peran, KPK bisa melakukan supervisi karena salah satu kewenangan dari KPK itu adalah supervisi.

“Jadi mungkin yang bisa dilakukan menurut saya pertama adalah duduk bareng mungkin dari Deputi Penindakan KPK dengan JAM Pidsus misalnya atau bahkan pimpinan KPK dengan Kejaksaan,” ujar dia.

Setelah duduk bareng, maka baru bisa melakukan pendalaman terhadap kasus. Kemudian, melihat apakah kasus tersebut besar dan banyak sehingga membutuhkan banyak sumber daya. Jika itu yang terjadi, maka Kejagung dan KPK bisa berbagi peran.

“Ini bisa membagi berdasarkan tahun misalnya atau berdasarkan dugaan pelaku dan seterusnya,” ujar Zaenur.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dwi Aditya Putra & Ayu Mumpuni
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto